OLEH: DAHLAN ISKAN

Eka Eki

Nasional | Selasa, 02 Juni 2020 - 10:28 WIB

Eka Eki

EKA-Eki muncul di Amerika Serikat. Ini hari ke-6 --demo protes di lebih 40 kota di Amerika Serikat. Di hari ketiga tentara Amerika Serikat sudah diturunkan ke Minneapolis. Polisi dianggap tidak mampu meredakan demonstrasi itu. Dengan mengirim tentara Presiden Donald Trump bisa sekaligus menyudutkan pemerintahan Demokrat di kota itu.

Trump juga sudah menemukan siapa yang harus disalahkan: Antifa. Ini juga sekaligus bisa menyudutkan aliran kiri --yang ia konotasikan dengan lawan politiknya itu: Demokrat. Antifa singkatan antifasis. Awalnya lahir di Italia --sebelum perang dunia ke-2. Gerakan itu sebagai reaksi terhadap lahirnya fasisme. Dengan tokoh utama Mussolini.


Antifa merambat ke Jerman. Sebagai reaksi atas munculnya Adolf Hitler. Belakangan meloncat ke Amerika. Sebagai respons atas gerakan supremasi kulit putih --seperti Ku Klux Klan.  Dilarangnya KKK membuat Antifa seperti tidak relevan. Tapi ideologi KKK tidak mati. Secara sporadis masih muncul di sana-sini. Tanpa membawa bendera KKK. Pun di dalam hati sebagian orang masih terus tersimpan rasa keunggulan ras itu.

Antifa juga tidak benar-benar mati. Semendiang KKK, Antifa seperti lebih fokus ke antirasis --daripada antifasis. Rasanya Antifa menguat lagi tiga tahun terakhir. Seperti juga KKK, Antifa tidak percaya jalan perjuangan konstitusi. Mau mereka: langsung aksi. Lewat kekerasan. Begitulah, Eka dan Eki berinteraksi secara tersamar di Amerika. Ekstrim kanan mendapat perlawanan dari Eki. Atau sebaliknya.

Dan Trump kelihatannya akan memukul habis Eki. Sekalian mengharapkan efek karambolnya: tersudutnya Demokrat. Capres Demokrat Bernie Sanders dianggap sangat kiri --meski tidak sampai ekstrem kiri. Tidak tanggung-tanggung: Trump akan mengeluarkan dekrit baru lagi. Antifa akan dinyatakan sebagai kelompok teroris. Menurut Trump Antifa-lah yang berada di balik demo di berbagai kota di Amerika Serikat itu. Yang sudah berkembang ke pengrusakan dan penjarahan itu. Kata Trump: demo itu sudah tidak ada hubungannya lagi dengan tuntutan keadilan atas tewasnya George Floyd.

Trump menyebut polisi yang menyebabkan Floyd tewas sudah dipecat. Juga sudah ditangkap. Pun sudah dikenakan tuduhan pembunuhan. Trump tidak menyebut leletnya penangkapan polisi kulit putih itu. Dengan menuduh Antifa sebagai teroris maka Trump bisa punya legitimasi untuk mengerahkan tentara. Bahkan sebelum itu pun tentara sudah diterjunkan ke Minneapolis.

Sekaligus untuk menjatuhkan mata lain dari pedangnya: menyudutkan wali kota Minneapolis yang dari Partai Demokrat. Wali kota Minneapolis memang tidak bisa ngamuk-ngamuk. Apalagi sambil menangis-nangis. Masyarakat kulit hitamnya luar biasa besar. Ia juga tidak punya tentara. Ia harus menghadapi demo yang sulit diredam.

Di Hongkong, demo seperti itu sudah berlangsung satu tahun. Sampai ekonomi Hongkong nyaris ambyar. Tiongkok tidak berani menurunkan tentara. Seperti takut dikecam Amerika. Tiongkok seperti tidak menyangka, kelak, di bulan Mei 2020, Amerika pun harus menurunkan tentara. Untuk mengatasi demo yang baru tiga hari.

Kini Tiongkok sudah punya UU baru. Yang memungkinkan tentara diturunkan di Hongkong. Kita ingin tahu apakah Amerika Serikat masih akan mempersoalkan --kalau demo di Hongkong dihadapi oleh tentara. Memang polisi kulit putih itu, Derek Chauvin, akhirnya ditahan. Dengan tuduhan pembunuhan dan pembantaian.

Agak terlambat penanganan ini --protes besar telanjur marak di kota itu. Yang diikuti di setidaknya 40 kota besar di seluruh Amerika. Perkembangan ini tergolong baru: sampai jam malam diberlakukan di banyak kota. Dan yang menarik tidak semua pendemo itu kulit hitam. Banyak juga yang kulit putih. Lihatlah foto massa yang memblokade jalan besar di Minneapolis itu. Yang akan dilindas truk tanki itu. Yang dimuat media Amerika --yang diambil dari Reuter itu. Banyak sekali yang kulit putih.

Truk tersebut bisa dihentikan. Sopirnya dikeroyok. Kini sudah di tangan polisi. Ternyata polisi kulit putih yang menelikung Floyd itu kenal dengan Floyd. Mestinya. Pernah sama-sama bekerja di klub yang sama. Sebagai satpam. Yakni di sebuah klub malam khusus musik Latino. Floyd bekerja di hari-hari kerja. Chauvin bekerja di akhir pekan.

Floyd adalah bintang basket dan American football. Yakni saat masih di SMA di Texas. Ia baru pindah ke Minneapolis lima tahun lalu. Rupanya ia kerasan di kota yang baru ini. Ia memberi tahu teman-temannya: di Minneapolis sudah seperti di rumah sendiri. Minneapolis kota besar sekali. Lebih besar lagi karena tidak menjaga jarak dengan kota besar lainnya: St Paul --yang lebih indah.

Nasib Floyd sial banget malam itu. Belum terlalu malam. Baru pukul 20.00 lebih sedikit. Ia memarkir mobil tidak jauh dari sebuah toko di pojok jalan. Itulah toko yang populer di kompleks tersebut --sebagai jujukan untuk membeli rokok mentol.

Penjaga toko itu menelepon 911. Ia melaporkan: baru saja ada pembeli rokok mentol dengan uang palsu. Yakni uang lembaran 20 dolar --sesuai dengan harga rokok mentol di sana: sekitar Rp300.000.

"Apakah orangnya kulit hitam, kulit berwarna, Latin atau Asia?" tanya petugas 911.

"Ya...begitu," jawab petugas toko.

"Ya begitu bagaimana?" tanya petugas lagi. Sambil mengulangi pertanyaan detil warna kulit tadi.

"Iya. Afro American," jawab penjaga toko.

Beberapa saat kemudian datanglah pembeli yang lain. Juga membeli rokok mentol. Penjaga toko menceritakan apa yang baru terjadi. "Lihat ini uang palsunya. Nyata-nyata palsu," katanya. "Tintanya masih mbleber-mleber," tambahnya.

Saya sendiri tidak tahu apa ya bahasa Inggrisnya mbleber-mleber. Tapi itulah tafsir saya atas cerita penjaga toko kepada media di sana. Ketika polisi merespons pengaduan ke 911 itu ditemukanlah mobil berhenti tidak jauh dari toko. Isinya dua orang kulit hitam. Salah satunya Floyd.

Polisi minta Floyd pindah ke mobil polisi. Menolak. Lalu diborgol. Dibawa ke arah mobil polisi. Floyd tidak membawa apa-apa --apalagi senjata. Tidak jelas apa yang kemudian terjadi. Floyd ditelikung. Dijatuhkan ke tanah. Ditengkurapkan. Wajahnya menghadap ke bumi. Chauvin menekan leher Floyd dengan lututnya.

Floyd berteriak-teriak. "Tidak bisa bernapas, tidak bisa bernapas," Floyd mengiba.

Lalu memanggil nama ibunya yang jauh di Texas --tiga jam penerbangan dari Minneapolis. Teman Chauvin meminta agar posisi Floyd dibalik. Agar bisa bernapas. "Kalau ia bisa berteriak berarti bisa bernapas," jawab Chauvin.

Teman Floyd mem-video adegan itu. Tersebar luas. Viral. Dihitunglah berapa lama lutut Chauvin menekan leher Floyd: 8 menit lebih. Floyd tidak berteriak lagi. Diam. Chauvin minta temannya mengecek detak nadi Floyd.

"Tidak ada lagi," jawab temannya.

Barulah Floyd dilepaskan. Lunglai. Dibawa ke rumah sakit terdekat: sudah meninggal. Chauvin dan temannya hanya dibebas-tugaskan. Masyarakat pun demo. Membawa berbagai poster. Banyak yang bunyinya: "tidak bisa bernapas!".

Di hari ketiga --setelah demo menjadi rusuh-- barulah Chauvin ditahan. Dengan tuduhan tadi. Kini ganti Trump menuduh Antifa: teroris. Mungkin bisa ganti Antifa yang akan menuduh Trump: rasis! Kalau sempat.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook