PENDIDIKAN

Kurikulum Darurat Jangan Buang-Buang Anggaran

Nasional | Sabtu, 02 Mei 2020 - 18:30 WIB

Kurikulum Darurat Jangan Buang-Buang Anggaran
ILUSTRASI: Sejumlah anak belajar dari rumah di Kampung Mangkubumen, Kartasura, senin (23/03). Beberapa sekolah SMK di Solo menggelar USBN secara online dari rumah. (Arief Budiman/JAWA POS RADAR SOLO )

BAGIKAN



BACA JUGA


JAKARTA(RIAUPOS.CO)Rencana pemerintah membuat kurikulum darurat menuai sorotan. Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengatakan, jangan sampai pembuatan kurikulum darurat itu menjadi program buang-buang anggaran dan tidak memiliki efek yang jelas.

Indra menuturkan, sebenarnya yang menjadi masalah saat ini bukan kurikulumnya. Melainkan tenaga pendidik dalam merespons pembelajaran jarak jauh (PJJ) di tengah wabah Covid-19. Dia juga menyoroti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang sebatas mengeluarkan surat pelaksanaan PJJ atau pembelajaran dari rumah saja.


”Sampai saat ini belum terlihat pendampingan pemerintah. Misalnya, memberikan pelatihan kepada guru bagaimana menjalankan PJJ di tengah pandemi,” kata dia kemarin. Indra juga menjelaskan, pembuatan kurikulum tidak mudah. Apalagi sekarang, kala rapat-rapat atau pertemuan dilakukan dalam kondisi terbatas melalui streaming. Jika dipaksakan, kurikulum darurat mungkin baru jadi setelah pandemi mereda.

Menurut Indra, yang dibutuhkan saat ini adalah data. Misalnya, berapa banyak murid yang memiliki akses internet atau televisi di rumahnya. Termasuk juga data seberapa banyak guru yang memiliki akses jaringan dan bisa menjalankan PJJ secara online. Menurut Indra, sampai sekarang data tersebut tidak ada di pemerintah. Padahal, data itu penting untuk mengambil kebijakan PJJ seperti apa yang cocok diterapkan. Dengan bekal data tersebut, pemerintah bisa memberikan sejumlah intervensi. Misalnya, membantu penyediaan jaringan internet, bahkan gadget, untuk para guru.

Selain itu, dia meminta pemerintah memberikan pelatihan secara terorganisasi kepada guru bagaimana menjalankan PJJ yang optimal. Dengan begitu, murid dan orang tua tidak merasa terbebani. Selama ini, pelatihan dilaksanakan secara swadaya oleh sejumlah organisasi.

Sementara itu, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mendukung kurikulum darurat. Dia meminta kurikulum itu segera didesain. Sebab, kondisi orang tua, siswa, guru, dan sarana-prasarana penunjang pendidikan (sekolah) saat ini sangat serba terbatas. ”Bukan mengganti kurikulum yang sudah ada, tetapi sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran di sekolah yang adaptif terhadap kondisi krisis,” ujarnya.

Selain berguna di masa pandemi sekarang, lanjut dia, kurikulum darurat bisa digunakan di masa mendatang jika terjadi ancaman, apa pun bentuknya. Misalnya bencana alam atau nonalam. ”Kurikulum ini juga lebih berpihak kepada siswa dan guru dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang ada,” ungkap Heru.

Wasekjen FSGI Satriawan Salim mengingatkan janji Mendikbud Nadiem Makarim untuk mengurangi beban guru. Menurut dia, hal itu dapat dilakukan dalam kondisi saat ini dengan dibuatnya kurikulum darurat. Namun, kurikulum darurat harus mengakomodasi penyesuaian standar isi, proses, penilaian, dan kompetensi lulusan. ”Keempatnya mesti disesuaikan, dikurangi bebannya, dan disesuaikan dengan keadaan siswa dan guru. Pastinya akan mengurangi beban guru sekaligus siswa,” jelasnya.

Dia juga menyoroti ketimpangan sosial ekonomi antarorang tua siswa dan antardaerah. PJJ daring (online) efektif di daerah yang akses internetnya baik dan orang tua punya gawai pintar, bahkan laptop. Tapi, di daerah lain, mereka tak bisa mencicipi ”pembelajaran mewah” seperti itu. Jangankan akses internet, listrik saja masih dibatasi. Para guru terpaksa datang ke rumah-rumah siswa untuk mengajar walau berpotensi melanggar prinsip PSBB dan protokol kesehatan Covid-19. Satriawan meminta kondisi demikian diantisipasi pemerintah daerah. Dengan begitu, layanan pendidikan tetap diberikan kepada seluruh anak Indonesia, apa pun status ekonomi dan letak geografisnya.

FSGI juga meminta pemerintah memberikan perhatian kepada sekolah swasta, khususnya para guru honorer yang terdampak Covid-19. Dalam kondisi saat ini, banyak orang tua tak lagi mampu bayar SPP ke sekolah swasta karena faktor ekonomi. Meski ada dana BOS, yayasan sekolah swasta perlu anggaran untuk pos-pos lain. ”Sehingga sekolah sangat dilematis dalam penganggaran kali ini,” katanya. Di satu sisi, mereka harus tetap menggaji guru. Tetapi, di sisi lain, ada kebutuhan mendasar yang juga sangat bergantung dana BOS.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: Deslina









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook