JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Konflik di Wamena, Papua membuka mata kita bahwa negara tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Apalagi di wilayah timur sana. Lebih dari 30 orang meninggal dunia, sekitar 17 ribu pengungsi mengantre untuk eksodus. Dan hal paling miris adalah sorotan dunia atas dibakarnya seorang dokter yang telah mengabdi 15 tahun lamanya.
Kerusuhan yang terjadi membuat masyarakat cemas. TNI/Polri turun tangan. Gubernur Papua Lukas Enembe pun menyampaikan permohonan maaf. Sangat disayangkan kerusuhan yang pecah di Wamena menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka, menimbulkan kerugian materiil-immateriil, serta meninggalkan trauma.
Tragedi kemanusiaan semacam ini akan selalu memberikan dampak ke banyak aspek, salah satunya sosial ekonomi. Tapi, apa kata ekonom soal dampak kerusuhan Wamena terhadap pertumbuhan ekonomi?
Ekonom senior INDEF Faisal Basri menuturkan, sebelum bicara soal dampak kerusuhan Wamena terhadap pertumbuhan ekonomi, perlu dilihat terlebih dahulu kontribusi Papua terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pusat, pertumbuhan ekonomi Maluku dan Papua pada triwulan-II 2019 sebesar minus 13,12 persen year-on-year (YoY).
“Kontribusinya cuma 2,17 persen. Kalau Jawa yang bergejolak, dia kontribusinya 59,11 persen (pasti besar dampaknya),” kata Faisal, Senin (30/9). Namun, sambung Faisal, kecilnya andil tersebut bukan lantas berarti pemerintah boleh abai terhadap kondisi di Wamena.
Justru, kata Faisal, rendahnya PDRB Papua merupakan diagnosis awal bahwa ada miss-match dalam pembangunan yang dilakukan di sana. Berdasarkan data BPS Papua, PDB Papua triwulan-II 2019 hanya Rp 45,3 triliun (ADHB) atau mengalami kontraksi sebesar -23,98 persen (YoY).
Dari sisi produksi, kontraksi pertumbuhan disebabkan karena kategori pertambangan dan penggalian yang mengalami penurunan hingga -57,48 persen. Dari sisi pengeluaran, kontraksi pertumbuhan disebabkan oleh oleh Komponen Ekspor Luar Negeri yang mengalami penurunan sebesar -84,34 persen.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa infrastruktur yang dibangun pemerintah belum mampu mengerek pertumbuhan ekonomi di Papua? Padahal, tidak sedikit juga dana yang dikeluarkan pemerintah untuk itu.
Menurut Faisal, dana pembangunan yang lari ke Papua, meski nominalnya banyak dan fisiknya juga terlihat, tetapi bisa jadi ada miss-match. “Artinya, orang Papua butuh menu yang beda dari saya. Saya butuh menu yang berbeda dari orang Papua. Jadi, menunya harus cocok. Infastruktur apa yang harus dibangun di Jawa, apa yang harus dibangun di Papua, harus cocok,” kata mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu.
Namun, di samping strategi pembangunan yang seharusnya tepat itu, Faisal berharap pemerintah bisa lebih mengayomi Papua, seperti memberikan jaring perlindungan sosial khusus. Akademisi Universitas Indonesia (UI) melihat, sejauh ini pemerintah belum memikirkannya.
“Kan harusnya ada social safety net. Kok (pemerintah ini) nggak ada sense of urgency, sense of empathy, bentuknya apa,” tanya Faisal heran.
Terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memilih irit berkomentar ketika ditanya soal recovery di Wamena. “Kita lihat dulu saja, luasnya (kerusakan) seperti apa ya,” katanya, Senin (30/9).
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal