JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Anggota Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Sri Hidayati menuntut penuntasan kasus penghilangan paksa yang pernah terjadi di Indonesia. Ia berharap kepemimpinan nasional ke depan bisa menuntaskan berbagai kasus penghilangan paksa yang hingga kini belum terungkap.
“Sebab, kasus penghilangan paksa di bawah pemimpin yang tidak berlatar belakang HAM saja tidak selesai, apalagi bila ke depan negara dipimpin oleh pelaku dalam kasus tersebut,” ujar Sri dalam diskusi memperingati Hari Anti-Penghilangan Paksa Internasional di Sadjoe Cafe & Resto Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (30/8).
Sri menegaskan, tidak mungkin mereka membongkar diri sendiri, karena sama saja dengan bunuh diri. Oleh karena itu, dia menekankan bahwa keluarga korban kasus penghilangan paksa tidak akan diam dan akan terus melawan demi menuntut keadilan.
“Karena penyelesainnya masih jalan di tempat, saat ini sudah banyak Masyarakat yang masih memperjuangkan penuntasan kasus penghilangan paksa,” ujar Sri.
Dalam diskusi yang sama, Ketua PBHI Julius Ibrani juga menyinggung adanyanya narasi elite politik yang mengatakan bahwa isu penghilangan paksa sebagai masalah 5 tahunan, gampang dijawab.
Pertama, lanjutnya, soal isu penghilangan paksa, PBB pada tahun 1992 sudah mengeluarkan konvensi antipenghilangan orang secara paksa. Kedua, hari antipenghilangan paksa internasional 30 Agustus dan sudah ditetapkan oleh resolusi umum PBB pada 2010.
“Kemudian korban dan jejaring LSM HAM sudah bicara dan aksi Kamisan ke 785 kalinya. Bukan gara-gara hari ini, atau menjelang pemilu. Kami sudah bersuara sejak lama bersama korban,” tutur Julius.
Julius juga mengatakan, bangsa Indonesia saat ini menghadapi situasi sosial politik di mana elite politik yang membajak narasi pelanggaran HAM.(jpg)