Agustus Puncak Kemarau, Ini Dampaknya

Nasional | Senin, 01 Juli 2019 - 15:18 WIB

Agustus Puncak Kemarau, Ini Dampaknya
Agustus 2019, akan jadi puncak kemarau.(jpnn.com)

JAKARTA(RIAUPOS.CO) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan puncak musim kemarau tahun ini diprediksi pada Agustus mendatang. Cuaca panas juga berpotensi memperburuk kualitas udara di perkotaan. Musim kemarau tahun ini lebih kering dari 2018.

Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan menuturkan, musim kemarau 2019 dipengaruhi fenomena el nino. Meski, intensitasnya kecil.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

”Oleh karena itu, musim kemarau tahun 2019 akan terasa lebih kering dibandingkan 2018,” kata Dodo. Memasuki bulan Juli, hampir semua daerah di tanah air sudah mulai masuk musim kemarau.

Musim kemarau yang panas dan terik, lanjut dia, berpotensi meningkatkan polusi udara di perkotaan. Emisi gas yang dikeluarkan kendaraan bermotor maupun pabrik industri terperangkap di atmosfer. Kondisi tersebut membuat suhu di atmosfer lebih tinggi daripada suhu di permukaan bumi.

”Kondisi tersebut yang disebut sebagai inversi. Sehingga lapisan atmosfer susah untuk menguraikan polutan,” jelasnya. Tak ayal, cuaca saat ini menyebabkan polusi semakin meningkat. Yang tentunya membuat suhu udara di perkotaan semakin panas.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menuturkan, memasuki bulan Juni hingga September 2019, sebanyak 31 daerah dari 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah (Jateng) rawan kekeringan. Jumlah tersebut meliputi 1.259 desa dari 360 kecamatan yang ada di Jateng.

”Sampai hari ini kami sudah mengirim tangki air di desa yg mengalami kekeringan ke 10 kabupaten/kota. Di antaranya Semarang, Cilacap, Grobogan, Yemanggung, dan Blora,” jelasnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.

Sementara ini, lanjut politisi PDI Perjuangan itu, bantuan tersebut masih tercukupi dari masing-masing APBD daerah. Dan, bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia serta pengusaha setempat. "Khusus dari APBD Jateng menyediakan dana Rp 320 juta untuk 1.000 tangki air," terang Ganjar.

Guru Besar bidang Tanah Universitas Gadjah Mada Azwar Maas mengatakan, kekeringan bisa diantisipasi dengan konservasi air. Lebih efisien dalam menggunakan air, membuat sumur resapan, dan embung atau kolam untuk menampung dan menyimpan air saat musim hujan.

Yang lebih penting, kata Azwar, adalah menjaga ekosistem hutan yang alami. Hutan terdiri dari tanaman yang sangat heterogen. Tidak monokultur seperti tanaman yang ada di taman. Sebab, tanaman di hutan tumbuh secara alami. Mayoritas, memiliki akar tunggang yang kuat menancap ke dalam tanah untuk mencari air.

”Maka dari itu hutan tropis kaya dengan air. Sementara, tanaman di taman itu mereka cenderung mendapat suplai air. Justru itu yang harus kita kurangi. Menggunakan air secara bijak,” urai Azwar. (han)

Sumber: JPNN.com

Editor: Deslina

   









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook