JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon mengecam keras rencana pemberlakuan darurat sipil oleh Presiden Joko Widodo. Keputusan itu dianggap aneg dan berbahaya. Karena yang sedang dihadapi saat ini adalah krisis kesehatan, bukan kekacauan keamanan.
“Opsi menerapkan darurat sipil tentu saja mengherankan,” ujar Fadli kepada wartawan, Rabu (1/4).
Menurut Fadli, Indonesia telah memiliki UU Nomor 6/2018 tentang Karantina Kesehatan yang lebih baru, dan di dalamnya telah memuat berbagai klausul mengenai situasi darurat kesehatan sebagaimana yang tengah dihadapi saat ini.
UU Nomor 6/2018 bahkan ditandatangani oleh Presiden Jokowi dan DPR RI periode 2014-2019. Kenapa Presiden justru kembali lagi ke UU Nomor 23/1959 tentang darurat keamanan.
“UU itu yang sudah jadul? Selain jadul, UU lahir dalam situasi yang jauh berbeda dengan yang kini sedang kita hadapi,” katanya.
UU Nomor 6/2018 tentang Karantina Kesehatan itu adalah inisiatif pemerintahan Presiden Jokowi sendiri. Sehingga untuk apa Presiden Jokowi mengusulkan dan menerima undang-undang itu jika tak mau menerapkannya.
“Padahal situasi saat ini sangat memerlukannya,” ungkapnya.
Keputusan Presiden Jokowi untuk menerapkan status darurat sipil juga berbahaya. Karena akan memberi kewenangan lebih kepada aparat keamanan dengan mengesampingkan prosedur hukum standar.
Penguasa Darurat Sipil, sesuai ketentuan tersebut, misalnya, berhak mengadakan sensor terhadap penerbitan, tulisan, percetakan, dan lain-lain. Jadi, Presiden, sebagai Penguasa Darurat Sipil, mendapat kekuasaan ekstra yang sangat besar.
Padahal, yang dibutuhkan saat ini hanyalah Presiden cukup menggunakan kekuasaan sebagaimana telah diberikan oleh UU Nomor 6/2018 tentang Karantina Kesehata.
“Itu sudah lebih dari cukup untuk mengatasi krisis,” katanya.
Selain tidak sensitif dengan aspirasi para tenaga medis yang telah disampaikan dalam tiga pekan terakhir, dengan melempar isu darurat sipil Presiden juga tidak sensitif dengan aspirasi masyarakat sipil.
“Karena masyarakat punya trauma dengan UU No. 23/1959 tersebut terakhir kali digunakan oleh Presiden Megawati untuk memberlakukan status darurat militer di Aceh,” ungkapnya.
“Mari kita dudukkan kembali persoalan ini pada porsinya. Isu utama dalam mengatasi pandemi Covid-19 adalah menyelamatkan kesehatan masyarakat,” pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan, dalam menangani pandemik virus Korona atau Covid-19 di Indonesia, dibutuhkan physical distancing dengan skala lebih besar.
Adanya physical distancing ini juga harus selaras dengan kebijakan darurat sipil. Sehingga penanganan virus Korona di Indonesia bisa berjalan baik.
“Kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif. Bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil,” ujar Presiden Jokowi.
Oleh sebab itu Jokowi meminta untuk segera dibuatkan payung hukum. Sehingga pembatasan sosial atau physical distancing dengan skala besar bisa dilakukan dengan baik oleh pemerintah daerah.
Diketahui, darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Perppu tersebut mencabut Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957. Perppu ini ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 16 Desember 1959.
Dalam Perppu tersebut dijelaskan ‘keadaan darurat sipil’ adalah keadaan bahaya yang ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang untuk seluruh atau sebagian wilayah negara.
Aturan yang paling dikhawatirkan yakni isi pasal 17 Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang menetapkan keadaan bahaya.
Penguasa Darurat Sipil berhak:
1. Mengetahui,semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor telepon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan telepon atau radio.
2. Membatasi atau melarang pemakaian kode-kode, tulisan rahasia, percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar, tanda-tanda, juga pemakaian bahasa-bahasa lain dari pada bahasa Indonesia.
3. Menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya telepon, telegrap, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga mensita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman