LIPUTAN KHUSUS

Sekolah Atau Berkerja?

Liputan Khusus | Minggu, 03 Januari 2016 - 11:20 WIB

Sekolah Atau Berkerja?
HIDUP DI JALANAN: Anak-anak jalanan sedang mengemis di simpang-simpang lampu merah Kota Pekanbaru. Mirisnya, mereka malah didampingi orangtua yang tidak peduli dengan sekolah atau tidaknya mereka. DEFIZAL/RIAU POS

Beberapa waktu lalu, Riau Pos berkesempatan masuk ke Kampung Nerlang. Di sanalah bertemu Jenah. Waktu itu Jenah baru pulang dari hutuan bakau bersama neneknya. Pemalu, begitulah Jenah. Sangat pendiam. Tak banyak bicara, bahkan sulit sekali diajak bicara. Sudah pasti berbeda dengan Nindi dan Rudi yang tinggal di Pekanbaru. Meski sama-sama berkulit hitam, tapi karena sebab yang berbeda. Jenah berkulit hitam karena keturunan ditambah berjalan kaki kiloan meter setiap hari, sedangkan Nindi dan Rudi berkulit hitam karena sengatan matahari dan debu jalanan yang harus dirasakannya setiap hari.

Sama, Jenah juga tidak beralas kaki seperti Nindi. Itu karena kebiasaan. Semua orang di kampung Jenah tidak ada yang memakai sandal. Begitulah mereka. Wajar, jika tapak kaki hingga pergelangan kaki Jenah lebih hitan dari betisnya. Apalagi hari itu hujan baru mengguyur Kampung Nerlang. Tanah gambut setapak yang sebagiannya terendam lumpur, nempel dan mongering di kaki Jenah. Tetap saja lincah mengayuh sepeda tua yang dikendarainya.

Baca Juga :Cerita Natasha Wilona soal Masih Akrab dengan Para Mantan

Jenah belum lama tinggal di Kampung Nerlang. Sekitar dua tahun silam. Sebelumnya Jenah tinggal di kampung lain. Jauh dari Nerlang. Tidak hanya Jenah, banyak warga di kampung itu yang bernasib sama dengan Jenah. Sekolah dua local yang dibangun masyarakat di sana membuat Jenah dan ibunya pindah ke Nerlang. Tujuannya supaya bisa ikut sekolah. Tapi tetap tidak bisa maksimal. Jenah juga harus berkerja membantu orangtuanya.

Jenah memang sekolah, tapi tidak setiap hari. Sekolah itu memang buka seminggu sekali sebab guru yang mengjara tinggal jauh di kampung lain. Sekolah itu juga baru didirikan dua tahun silam. Artinya, Jenah mulai sekolah sejak usia 10 tahun. Sayangnya, sudah tiga bulan Jenah tidak sekolah. Ia harus keluar masuk hutan bakau dan menyeberangi selat untuk menjual kayu arang.

‘’Ini sudah tiga bulan tak sekolah. Tapi besok dia sekolah lagi. Dulu pernah seperti itu juga. Kadang sekolah kadang tidak. Macam mana lagi, kita harus berkerja,’’ kata Nenek Jenah.

Tidak hanya Jenah, banyak anak-anak Nerlang bernasib sama dengan Jenah. Tidak hanya di Nerlang, tapi di berbagai kampung yang menyebar di balik-balik hutan bakau di Kepulauan Meranti atau daerah-daerah pedalaman lain di Riau lainnya.  

Meski Jenah, Nindi atau lainnya tidak sekolah, apakah mereka termasuk ribuan anak putus sekolah yang ada di Riau? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Tapi, dipastikan 285.373 anak di Riau tidak sekolah. Sesuai data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Riau, sebab-sebab anak tidak atau putus sekolah tersebut sangatlah banyak. Dari 285.373 anak putu sekolah itu, usia 7-12 tahun sebanyak 50.969, usia 13-15 tahun mencapai 80.029 dan usia 16-18 tahun mencapai 154.375 anak. Tidak hanya karena masalah ekonomi, kesalahan perhatian orangtua, infrastruktur jalan atau karena sebab lainnya, juga menjadi sebab.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook