Istilah generasi stroberi belakangan wara-wiri di sosial media. Generasi stroberi ini bukan berarti generasi yang menyukai buah stroberi ya. Penamaan generasi stroberi ini ditujukan pada generasi muda yang dianggap lunak seperti buah stroberi yang mudah hancur jika diinjak.
RIAUPOS.CO - Dikatakan oleh psikolog di Kota Pekanbaru, Irene Prakikih MPsi, istilah strawberry generation atau generasi stroberi pada awalnya muncul dari negara Taiwan. Istilah tersebut ditujukan untuk sebagian generasi muda kelahiran tahun 2000-an yang dinilai kelihatan fresh dari luar, namun rapuh di dalam.
Menurutnya, penggunaan istilah ini dinilai cukup relevan karena generasi stroberi cenderung dapat dengan mudah mengalami stres atau depresi bila mendapat tekanan. ‘’Mereka cukup kesulitan dalam menghadapi tekanan sosial atau kerja keras,’’ terangnya kepada Riau Pos.
Tak bisa dipungkiri bahwa fenomena ini terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini. Irene menilai, ada beberapa penyebab munculnya generasi stroberi. Di antaranya ialah cara orang tua mendidik anak-anaknya. ‘’Orang tua zaman sekarang cenderung memanjakan anaknya, karena mereka sudah berada dalam situasi yang lebih baik dari sebelumnya misalnya dari segi ekonomi,’’ lanjutnya.
Penyebab lainnya ialah orang tua yang kerap melakukan labeling atas perilaku anak. ‘’Misalnya labeling negatif. Hal ini dapat membentuk kepribadian anak hingga terbawa saat dewasa,’’ terangnya lagi.
Kebiasaan mendiagnosa diri sendiri dinilai Irene juga menjadi salah satu dari menyebab munculnya generasi stroberi ini. Seperti mencocokkan informasi yang ada di media sosial dengan apa yang terjadi pada dirinya. Sehingga cenderung dengan mudah merasa bahwa dirinya tertekan, stres, dan bahkan depresi.
“Tanpa perlu melakukan serangkaian pemeriksaan psikologi terlebih dahulu yang seharusnya dilakukan oleh ahlinya,’’ papar Irene yang bertugas di RS Awal Bros Pekanbaru ini.
Adapun penyebab lainnya ialah akibat banyak generasi sekarang yang cenderung lari dari kesulitan daripada menghadapi dan menyelesaikan masalah mereka.
Irene juga spill beberapa ciri dari generasi stroberi ini. Menurutnya, identifikasi generasi stroberi ini dapat dilihat dari beberapa ciri khusus. Karakteristik yang menjadi ciri generasi stroberi dikatakan Irene sebenarnya sudah mulai muncul di generasi yang lahir tahun 90-an. “Namun, menjadi fenomena strawbery generation karena sebagian besar generasi kelahiran 2000-an memiliki karakteristik tersebut,’’ lanjutnya.
Adapun ciri pertama ialah, cenderung ingin mencapai kesuksesan melalui cara yang mudah dan cepat. Kedua, cenderung bersikap pesimis dan berputus asa dalam menghadapi masalah. Ketiga, kecenderungan ingin bersantai sepanjang waktu sehingga menimbulkan rasa malas dalam beraktivitas ataupun meningkatkan kemampuan baru.
Sedangkan keempat, generasi stroberi biasanya cenderung mudah dipengaruhi oleh lingkungan karena kurang selektif dan kurang teguh dengan prinsip. Apakah ciri-ciri itu ada di diri generasi muda di sekitar kita? Lantas langkah apa yang harus diambil oleh orang tua dalam menghadapi generasi stroberi ini?
Ada Sisi Positifnya
Di tengah kelemahan generasi stroberi ini, Irene mengatakan bahwa generasi ini juga memiliki beberapa sisi positif. Keunggulan mereka di antaranya dalam bidang teknologi. Karena sudah terlahir di era dengan kecanggihan teknologi, membuat generasi stroberi lebih mudah beradaptasi dengan kemajuan teknologi ketimbang generasi di atasnya. Generasi stroberi memilki beberapa sisi positif seperti berani mengemukakan pendapat. Generasi ini cenderung berani mengungkapkan ide dan perasaan mereka kepada orang lain. ‘’Ya, mudah beradaptasi dengan teknologi. Generasi ini memiliki kemampuan dan pemahaman yang baik dalam hal teknologi,’’ aku Irene.
Tak hanya itu, generasi stroberi juga cenderung lebih berani mengemukakan pendapat atau speak up. Jika ada yang tak mereka setujui, mereka akan mengungkapkan langsung hal tersebut ketimbang menyimpannya. ‘’Generasi ini cenderung berani mengungkapkan ide dan perasaan mereka kepada orang lain,’’ terang Irene lagi. Generasi ini juga dinilai memiliki kreativitas yang tinggi. Jika hal-hal positif ini dikembangkan dan disalurkan dengan tepat, generasi stroberi bisa menjadi lebih tangguh dan memiliki nilai lebih di masa depan.
Hasil Pola Asuh Orang Tua
Irene melanjutnya bahwa pola asuh orang tua menjadi kunci untuk mencegah generasi stroberi ini. Orang tua juga harusnya bisa menunjukkan sikap-sikap tertentu jika menghadapi anak dengan kecenderungan generasi stroberi.
Psikolog ini mengatakan bahwa orang tua memberikan contoh yang baik terhadap anak. ‘’Dalam menghadapi fenomena ini, orang tua harus bersikap tegas atas konsekuensi yang dilakukan anak,’’ terangnya. Bukan hanya itu, ia menyarankan kepada orang tua untuk memberi ruang anak kepada anak dalam mengeksplorasi banyak hal. ‘’Tentunya dengan tetap mengedukasi terkait hal yang perlu diketahui,’’ lanjutnya.
Memanjakan anak secara berlebihan juga patut dihindari orang tua sedari dini. Memberikan anak semua yang ia mau dan tidak membiasakannya melakukan tugasnya sendiri akan menjadi bom waktu bagi orang tua di masa depan. Sikap ini akan menumbuhkan mental malas berjuang dan bekerja keras pada anak. Si anak tahu ada orang tuanya yang akan selalu memenuhi apapun yang ia mau. Sehingga ia menjadi malas dan tidak mau berusaha.
Orang tua juga harusnya menyediakan waktu khusus atau quality time bersama anaknya. Dengan quality time yang cukup, kedekatan antara anak dan orang tua bisa terjalin. Momen tersebut juga bisa menjadi momen orang tua memberikan contoh-contoh baik kepada anak.
Biasanya, orang tua yang sibuk bekerja cenderung tidak memiliki waktu bersama anak. Alih-alih mengajak anak main bersama, orang tua justru memberikan semua yang diinginkan anaknya untuk menebus waktu kebersamaannya dengan anak.
Padahal, itu justru membuat anak kekurangan kasih sayang dan merasa semua keperluannya bisa ia dapatkan dengan mudah. Karena itu, sedari kecil, perbanyaklah waktu dengan anak. Didik anak menjadi sosok mandiri dengan memberikan mereka tugas-tugas atau tanggung jawab kecil yang harus mereka selesaikan.
Bukan hanya memberikan reward atau hadiah, jika anak melakukan kesalahan, anak juga perlu diberikan punishment agar mereka belajar dari kesalahan tersebut dan berjuang untuk tidak mengulanginya kembali. Intinya, semua berada pada pola asuh orang tua. Untuk memangkas perpanjangan era generasi ini, orang tua harus memberikan pola asuh yang tepat pada anak.
Mudah Stres, Depresi, dan Menyerah
Dikatakan Irene, karena generasi stoberi ini sering kali self diagnose, biasanya kasus yang muncul adalah stres dan depresi. Karena mereka mudah mengakses info di internet tentang apa yang mereka rasakan. ‘’Misalnya saat mereka merasakan jantungnya berdebar-debar, kemudian mereka mencari di mesin pencarian. Muncullah sebuah nama penyakit. Hal inilah yang akhirnya memicu stres bahkan depresi pada generasi stroberi,’’ paparnya.
Padahal mereka belum tentu terdiagnosa oleh penyakit yang mereka cari dari internet tadi. Sehingga Irene menyarankan kepada orang tua yang anaknya mengalami stres atau kecemasan untuk segera mendatangi ahli.
‘’Konsul ke psikolog agar dapat penanganan yang tepat. Karena hal ini dapat mengganggu aktivitas yang lain,’’ terangnya.
Keberadaan teknologi nyatanya juga menjadi dua sisi mata uang. Di satu sisi memang membuat generasi stroberi menjadi lebih canggih, namun di sisi lain dapat menimbulkan kemalasan.
Dikarenakan teknologi ini memudahkan generasi stroberi ini, seperti fasilitas, akses informasi dan yang mendukung aktivitas hidup sehari-hari. Sehingga muncul perilaku yang cenderung bermalas-malasan. Karena semua aspek kehidupan sudah dibantu oleh teknologi.
Sementara generasi sebelumnya terbiasa melakukan aktivitas berupa gerakan. Mereka juga lebih terasah empatinya karena aktivitas sosial. Sedangkan generasi stroberi, karena kemudahan teknologi tadi, interaksi sosialnya tidak terasah. ‘’Karena itu, karakter generasi stroberi menjadi mudah putus asa apabila menghadapi tekanan. Mereka tidak terlatih untuk menghadapi hal tersebut,’’ ujarnya.***
Laporan SITI AZURA, Pekanbaru