RIAUPOS.CO - Viralnya permainan lato-lato tak lepas dari andil media sosial (medsos), yakni Tiktok. Tapi permainan ini justru mengalihkan anak-anak dari kecanduan media sosial dan gawai (gadget) secara umum.
Dosen Fakultas Psikologi UIN Suska Riau, Deceu Berlian Purnama menyebutkan, memang diperlukan pengawasan dalam permainan ini. Akan tetapi jika dilarang, dinilainya kurang tepat.
“Diawasi saja dan diberikan edukasi. Boleh dibatasi, tapi tidak dilarang,” ujar Deceu kepada Riau Pos, Rabu (11/1).
Kendati tidak lengkap, permainan ini pada dasarnya bernilai edukasi. Ada sisi olahraga, interaksi sosial dan kelompok. Bahannya juga sudah relatif aman. Memang terdapat kerentanan dan kejadian. Hanya saja, itu terjadi karena memang yang menggunakan sangat banyak. Risiko apapun bisa terjadi.
Deceu Berlian Purnama
“Jadi diawasi saja, terutama anak usia balita,” ujarnya.
Anak usia 2-3 tahun misalnya tidak bisa memainkan ini. Sebab mereka belum bisa membedakan benda, bahkan boleh jadi mencoba memakannya. Anak balita usia 4-5 tahun juga harus benar-benar diawasi jika memainkannya. Permainan ini, menurut Deceu berkaitan juga dengan kemampuan intelegensi karena tak semua anak bisa terampil memainkannya. Ini melatih koordinasi mata, tangan dan keterampilan lainnya. Hanya saja tentunya tidak lengkap seperti olahraga, menari, atau beladiri.
“Tapi untuk melatih psikomotorik anak, ini bagus,” ujarnya.
Lagi-lagi ini berkaitan dengan latihan pergerakan anak dan keaktifan gerak mereka. Sebab, jika terpaku pada bermain gawai, maka gerak anak akan statis. Dampaknya juga tidak baik dalam jangka panjang. Akan tetapi, aktivitas fisik anak tentu saja tidak hanya tangan dan koordinasi gerakan mata. Harus diimbangi dengan gerakan lainnya. Makanya jika permainan lato-lato bisa dikombinasikan dengan gerakan anggota tubuh lainnya, akan semakin baik. Sebab, lato-lato itu ada gerakan yang memerlukan kecepatan, kekuatan, kecermatan, koordinasi jari, tangan, mata dan ada muatan estetika.
“Kalau dikompetisikan juga baik,” ujarnya.
Tapi tentunya lato-lato tidak cukup. Tetap saja anak-anak harus diajak melakukan gerakan fisik yang lainnya. Anak harus diarahkan menghabisi waktu luangnya dengan bijaksana. Selain bermuatan permainan, juga ada unsur olahraga dan seninya. Misalnya mendaki gunung, atau aktivitas luar ruangan lainnya.
“Harus selalu diingatkan dan proporsional juga menggunakan permainan ini,” ujarnya.
Selain mewaspadai balita, anak-anak juga hendaknya diingatkan untuk bisa bermain aman. Misalnya dipastikan tali pengikat kuat. Bermain di tempat yang aman, jauh dari kaca, mobil. Jauh juga dari fasilitas ibadah atau ruang belajar sehingga suaranya tidak mengganggu. Hendaknya tidak saling berdekatan. Hindari juga mereka yang berkacamata. Selain itu perlu juga diingatkan waktu bermain lato-lato ini di masa senggang. Tidak di waktu produktif, misalnya ketika waktu belajar, ibadah, waktu makan, dan lainnya. Durasinya juga harus diatur sedemikian rupa.
“Orang tua dan guru perlu membimbing dan mengawasi. Tidak perlu dilarang,” ujarnya.
Menurutnya, pendidik perlu melihat sisi positif dari permainan ini, tidak melulu sisi negatifnya. Sisi positifnya misalnya permainan tradisional anak-anak apapun, termasuk lato-lato akan mengurangi interaksi anak dengan permainan game online dan medsos atau aplikasi lain yang tidak sesuai. Dengan berbagai permainan fisik ini, terjadi juga interaksi sosial, memberikan jeda pada gawai dan menyeimbangkan fisik anak. Akan ada juga kebahagiaan dan kesenangan bagi anak. Negatifnya adalah suara yang bisa mengganggu dan kemungkinan cedera.
“Yang penting selalu ada pengawasan pada anak,” ujarnya.(muh)