(RIAUPOS.CO) - AKTIVITAS caving atau susur gua tergolong dalam salah atau olahraga ekstrem yang memerlukan kesiapan mental dan stamina untuk melakukanya. Lelah yang dirasa saat menjelajahi perut bumi ini akan terbayarkan dengan menikmati pemandangannya yang menakjubkan.
Tantangan dari caving tergantung dari gua yang dikunjungi, tetapi sering kali termasuk negosiasi lubang, kelebaran, dan air. Pemanjatan atau perangkakan sering dilakukan dan tali juga digunakan di banyak tempat.
Caving kadang kala dilakukan hanya untuk kenikmatan melakukan aktivitas tersebut atau untuk latihan fisik, tetap awal penjelajahan, atau ilmu fisika dan biologi juga memegang peranan penting. Sistem gua yang belum dijelajahi terdiri dari beberapa daerah di bumi dan banyak usaha dilakukan untuk mencari dan menjelajahi mereka.
Di wilayah yang telah dijelajahi (seperti banyak negara dunia pertama), kebanyakan gua telah dijelajahi, dan menemukan gua baru sering kali memerlukan penggalian gua atau penyelaman gua.
Di dalam gua, penelusuran perut bumi bisa dilakukan untuk menemukan fenomena alam yang menarik untuk diketahui. Fenomena tersebut adalah stalaktit yang merupakan batang kapur di atas gua yang meruncing ke bawah, dan stalagmit yang merupakan batuan kapur berbentuk runcing ke atas yang berada di lantai gua.
Stalaktit dan stalagmit ini berangsur-angsur akan terus tumbuh karena kandungan mineral-mineral yang terkandung di dalamnya semakin mengendap, sehingga permukaan perut bumi akan terus tumbuh dan berubah seolah-olah seperti makhluk hidup. Dalam aktivitas caving, bisa ditemukan keindahan alam berupa mulut gua yang eksotis, sungai bawah tanah, bahkan air terjun di dalam gua.
Fadri Ramadian, seorang caver, sebutan untuk pelaku susur gua menuturkan, ada banyak alasan bagi orang melakukan aktivitas ini. “Ada yang untuk olahraga, penelitian, lalu pendataan ataupun pemetaan untuk menggali menggali potensinya,” jelasnya kepada Riau Pos, Sabtu (5/4).
Alumni Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Sayang Akan Kelestarian Alam Indonesia (SAKAI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau (Unri) ini mulai aktif melakukan penelusuran gua sejak tahun 2015 lalu. Gua yang sudah didatanginya beragam, mulai dari yang berada di Riau, hingga tiga kali dia melakukan penjelajahan gua di Pulau Jawa.
Mengapa caving jadi salah atau aktivitas yang layak untuk ditekuni, pria yang akrab dipanggil Rama ini mengatakan berdasarkan pengalaman yang didapatnya adalah karena istimewanya keindahan yang ditemukan. Rangkaian ornamen yang terbentuk di gua adalah sesuatu yang berbeda ketimbang pemandangan yang ada di gunung dan laut. “Tidak semua orang bisa menikmatinya,” terangnya.
Karena itu pula, perlu persiapan yang khusus pula untuk melakukannya. “Dari segi perlengkapan dan keamanan lebih banyak disiapkan. Perlu latihan dan pembekalan,” ujarnya.
Dia mencontohkan, untuk melakukan susur gua paling tidak perlu beberapa persiapan. Di antaranya, pemahaman materi sekitar sepekan. Lalu pengenalan alat, instalasi alat, simpul, mengoperasikan alat, risiko penelusuran, dan seorang caver harus juga memahami Search and Rescue (SAR). “Karena gua ini bukan olahraga tontonan. Misalnya kalau naik gunung, ada kecelakaan semua orang bisa bantu evakuasi. Kala di gua, pribadi yang bisa karena lintasannya yang kadang kecil,” paparnya.
Selama dia ikuti, Mapala Sakai, organisasi tempat Rama bernaung katanya sudah melakukan penelusuran lebih dari 20 gua. Di antaranya di Cipang Kiri Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) sebanyak 12 gua, Tandun Rohul ada tujuh gua, Kabun Rohul ada tiga gua, Tanjung Belit Kampar Kiri dan di Desa Tanjung XIII Koto Kampar.
Dalam melakukan ekspedisi susur gua, Rama menyebut, dia dan teman-temannya biasanya berawal dari mendapatkan informasi dari warga. “Guanya sudah ditemukan, tapi belum dieksplorasi, “ jelasnya.
Saat melakukan susur gua pula, banyak pengalaman didapatkan. Tak jarang berupa pengalaman mistis. Dia mengenang tahun 2015 saat ke Gua Pertapa di Cipang Rohul. Di sana, warga berpesan agar tak berfoto karena memang tak diperbolehkan.
“Kata warga, orang kalau nuntut ilmu di situ. Di sana tidak boleh foto. Kami masuk berempat. Di dalam hidupkan kamera untuk foto dan memang tidak bisa. Tapi pas keluar jarak dua meter dari mulut gua kamera hidup sendiri dan jepret sendiri, “ ulasnya.
Lain lagi pengalamannya saat menyusuri gua di Bogor. Di sana, tim lokal yang mendampingi penyusuran sejak awal sudah mewanti-wanti bahwa pada salah satunya lintasan ada kamar putri. Di sana juga akan tercium bau harum dan bunyi gong. “Pas turun memang ada kejadian kayak gitu,” tuturnya.
Meski terkesan mesti memiliki banyak persiapan, aktivitas susur gua tetap dapat menjadi salah satu pilihan baik itu berwisata maupun menjadi tujuan pariwisata. “Bisa , jadi wisata minat khusus, “ kata dia.
Di Indonesia, gua menjadi tujuan pariwisata bukanlah barang baru. Mayoritas merupakan gua horizontal, atau datar seperti di di Ngalau Indah Sumatera Barat. “Untuk gua vertikal di Indonesia baru satu. Gua Jomblang di Gunung Kidu. Itu pun untuk bule, dibatasi kuota satu hari 30 orang, “ paparnya.
Untuk menjadikan gua sebagai tujuan destinasi pariwisata, perlu dipelajari pengelolaan agar tak mengganggu ekosistem yang ada di dalamnya. “Misalnya dengan masuk ke dalam saja sudah terganggu ekosistem di dalam. Karena kita bawa cahaya ke dalam yang gelap. Sementara ekosistemnya di dalam gelap. Hewan di gua biasanya buta, karena tidak biasa dengan cahaya, “ kata dia.
Gua secara umum terbagi dua yakni gua horizontal dan vertikal. Di antara dua ini, keindahan pemandangan di dalamnya pada dasarnya sama. Hanya saja yang membedakan adalah aksesnya. “Vertikal jalan masuknya lebih sulit, harus pakai alat khusus, “ terangnya.
Di Riau, terdapat gua yang sudah jadi tujuan pariwisata dan dikelola, yakni Gua Garuda di Desa Aliantan Rohul. Gua ini dikelola oleh masyarakat dan kelompok pecinta alam. Lainnya, gua yang memiliki potensi pariwisata ujarnya saat ini adalah di Desa Cipang Kiri, Rohul. Gua yang ada di sana, sudah memiliki ornamen stalaktit dan stalagmit yang indah. “Keindahan ornamennya sudah jadi semua, “ ucapnya.
Di sana saat ini yang patut jadi perhatian adalah, karena belum menjadi lokasi tujuan pariwisata yang dikelola, gua kerap jadi sasaran vandalisme masyarakat yang berkunjung ke sana. “Orang bebas masuk, dampaknya terjadi vandalisme. Beberapa gua di Cipang itu banyak coretannya. Gua yang sudah banyak orang mengunjungi tapi tidak dikelola sebaiknya memang jadi tempat wisata. Agar jelas ada pengelolaan dan ada aturannya,” jelasnya.
Bagi dirinya aktivitas caving, selain untuk menikmati dan mengagumi keindahan alam di perut bumi, penyusunan gua dapat menghasilkan output berupa pemetaan dan menemukan potensi. “Untuk mapala Sakai ada empat peta gua sekarang. Di Desa Tanjung Tanjung Gua Langkuik tujuh, ini potensinya jadi sumber air. Lalu di Tandun Rohul ada tiga gua. Piggan, Cawan dan Sigihan. Ini merupakan daerah resapan air. Apalagi di sini sudah dikelilingi sawit. Butuh resapan air biar tidak longsor. Jadi kalau dihancurkan resapan air tidak ada. Saat hujan banjir, saat panas kekeringan,” ucapnya.
Gua, kata dia lagi adalah kawasan kars, yang merupakan bahan baku utama pembuatan semen. Gua Cipang pernah akan ditambang karena kandungan karsnya tinggi namun urung terjadi. “Kami sempat ada aksi juga. Tahun 2018. Saat itu intinya akan jadi bahan baku pabrik semen terbesar se-Asia Tenggara. Kami edukasi warga. Efeknya kalau gua ditambang tidak ada daerah resapan air. 10-20 tahun ke depan dampaknya nanti nampak,” kata dia.
Meski merupakan olahraga yang didominasi pria, ada pula kaum hawa yang menjadi penghobi caving. Salah satunya Natasia Novianti. Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Riau yang tergabung dalam Komapala Winetou pertama kali menekuni susur gua sejak tahun 2019 lalu. “Tertarik karena keindahan yang ada di dalam itu tidak bisa kita dapatkan di luar, kita bisa lihat hanya di dalam gua. Ekosistemnya, ornamennya, stalaktit dan stalakmitnya, “ ujarnya mengisahkan.
Serupa dengan Rama, Tutut begitu Natasia karib disapa, sudah menempuh pelatihan dan memiliki sertifikasi susur gua. “Tahun 2019 itu ambilnya. Sudah ke Gua Bumiayu di Sukabumi (Jawa Barat, red),” ucapnya.
Anggapan orang banyak bahwa gua menyeramkan dan mistis kata dia tak sepenuhnya benar. “Tidak semistis itu. Saat kita telusuri, bagus pemandangannya. Orang banyak tidak tahu, mau masuk tidak berani,” terangnya.
Sejak pertama kali mencoba susur gua pada Gua Bedengung di Desa Tanjung XIII Koto Kampar, Tutut kini sudah 10 kali melakukan susur gua. Walau dia perempuan, aktivitas susur gua katanya bukanlah olahraga yang terlalu berat untuk dilakukan. “Sebenarnya kalau masuk gua tidak terlalu banyak perlengkapan yang dipersiapkan. Yang penting perlengkapan safety dan perlengkapan untuk turun kalau vertikal, jadi tidak terasa berat. Orang tua tahu, support. Persiapan khusus tidak ada. Enjoy saja kita melakukannya,” ujarnya.
Sebagai penghobi susur gua, Tutut masih memiliki satu cita-cita yakni sampai ke gua-gua yang ada di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. dikenal memiliki morfologi dengan bukit-bukit menyerupai bentuk menara (tower karst), lekuk-lekuk lembah (dolina, uvala), serta gua-gua yang di bawahnya mengalir sungai bawah tanah. “Cita-cita pengen ke Maros,” ujarnya.(das)
Laporan M ALI NURMAN, Pekanbaru