LIPUTAN KHUSUS

Sekolah Atau Berkerja?

Liputan Khusus | Minggu, 03 Januari 2016 - 11:20 WIB

Sekolah Atau Berkerja?
HIDUP DI JALANAN: Anak-anak jalanan sedang mengemis di simpang-simpang lampu merah Kota Pekanbaru. Mirisnya, mereka malah didampingi orangtua yang tidak peduli dengan sekolah atau tidaknya mereka. DEFIZAL/RIAU POS

Ribuan anak-anak di Riau putus sekolah, bahkan ada yang tidak sekolah sama sekali hingga usia belasan tahun. Alasannya, karena mereka harus berkerja, jauh dari sekolah atau karena sebab lainnya.

Tapi, tetap ada yang sekolah sambil berkerja. Sungguh, kepada siapa salah hendak dihala?

Baca Juga :Cerita Natasha Wilona soal Masih Akrab dengan Para Mantan

ENTAH apa yang terjadi dengan keluarga Sri (37). Setiap menjelang petang, ia selalu membawa anak-anaknya duduk di simpang lampu merah Jalan HR Soebrantas. Tepatnya di depan Pasar Pagi Arengka. Sebetulnya ini kisah lama. Sejak lama selalu saja anak-anak bermain di simpang ini. Kadaang sendiri, kadang bersama orangtuanya. Termasuk Nindi (8), yang hari itu bersama ibu dan beberapa adiknya yang lain. Dengan lincah gadis kecil ini berlari kesana kemari. Tangan kanannya terus menadah ke atas. Kepada setiap pengendara ia menghulurkan tangan kecilnya itu.

‘’Bagi, bang. Untuk makan. Bagilah bang,’’ katanya lirih.

‘’Nin, kita ke sebelah sana. Di sana lebih ramai,’’ teriak Rudi kepada Nindi setelah melihat Nindi tidak berhasil memujuk pengendara untuk memberinya uang. Memang, sejak satu jam sebelumnya, Nindi maupun Rudi belum mendapat uang sedikitpun.

Tidak ada beban di wajah Nindi, Rudi atau lainnya. Mereka terlihat senang. Meski rambut berantakan, baju kumal dan kaki tanpa sendal, mereka tetap bergurau. Uang dan uang. Itu yang ada dalam fikiran mereka. Setiap kali ada yang memberi uang, Nindi langsung tersenyum dan berlari mengejar calon pemberi yang lain. Tiada henti.

‘’Saya nggak sekolah. Pingin, tapi tak ada uang. Harus cari uang setiap hari. Begitu kata ibu,’’ kata Nindi kepada Riau Pos.   

Nindi terus berlari menuju simpang lain yang lampunya berwarna merah. Tangan dan kukunya yang menghitam terus menadah. Ia bahkan tak menghiraukan gerimis yang mulai datang petang itu. Ia masuk ke tengah-tengah jalan antara kendaraan. Menyisip ke sana kemari. Semua dihampiri sampai lampu hijau menyala kembali.

‘’Lumayan banyak. Ibu yang menghitung uangnya. Kadang sampai Rp50 ribu. Kadang Rp30 ribu. Tak banyak lagi. Itupun dikumpul untuk bayar sewa rumah,’’ kata Nindi saat kembali duduk di samping Riau Pos sambil menunggu lampu kembali merah. Nindi memang lebih sering mangkal di lampu merah arah Mal SKA. Sedangkan Rudi di lampu merah arah Panam. Menurut mereka, dua simpang ini paling ramai dan banyak yang memberi.

Sedangkan Sri yang sejak awal duduk di trotoar, terus menggendong anaknya yang paling kecil, sibuk dengan kertas-kertas di depannya. Entah kertas apa, yang jelas ia hanya duduk. Sesekali ia melihat anak-anaknya yang menyebar di sudut-sudut persimpangan itu. Sesekali pula ia menadahkan tangan kanannya kepada pengendara yang berhenti menunggu lampu merah di sampingnya. Sangat dekat. Lutunya nyaris bersentuhan dengan sepedamotor pengendara itu.

Ujung kain panjang warna merah bunga-bunga yang digunakan untuk menggendong anaknya, selalu menjadi pengelap keringat yang mengucur di keningnya. Ujung kain itu pula yang berulang kali digunakan untuk menghapus ingus yang kerap keluar di hidung anaknya. Sering pula untuk mengusir debu yang berhamburan di hadapannya. Tak peduli.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook