RIAUPOS.CO - SERAYA semburat cahaya matahari menembus diantara dedaunan, sejumlah orang mulai menjejakkan kakinya ke bumi menyusuri lebatnya hutan.
Mereka yang berseragam krem dengan gagah mulai melangkah untuk menjelajahi hutan Pulau Padang. Hutan lebat, ragam hewan, dan tantangan sudah siap menyambut mereka.
Tak kenal lelah, mereka yang biasa disebut ranger atau jagawana mulai berpatroli di Kawasan Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti seluas 20.599 hektar yang merupakan bagian dari kawasan Restorasi Ekosistem Riau (RER) seluas 150.693 hektare yang terletak di dua wilayah.
Salah satunya area seluas 130.095 hektare berada di tengah blok hutan yang membentang 344.573 hektar di Semenanjung Kampar. Mereka melindungi hutan dari berbagai ancaman, seperti kegiatan ilegal, pembakar lahan, dan pemburu gelap di wilayah tersebut.
Bukannya tanpa rintangan, kawasan ekosistem yang luas tersebut menyuguhkan medan yang penuh tantangan. Jalurnya yang dipenuhi semak dan hutan belukar bahkan harus mengarungi sungai dan kanal serta membelah rawa, mereka harus membawa peralatan patroli dan logistik di masing-masing punggung mereka.
Demi mengemban tugas menjaga hutan, salah satu paru-paru dunia agar aman dari ancaman kegiatan ilegal seperti pemburuan, perambahan dan pembalakan liar mereka tak mengenal rasa takut dan lelah.
Hutan di Pulau Padang, Kepulauan Meranti memang tidak seangker hutan lainnya. Namun kebuasannya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya orang yang pernah menjelajahnya saja lah yang bisa merasakan atmosfer di dalamnya.
Jika tidak hati-hati, maka beberapa kali kita bisa terjebak dalam kubangan gambut yang agak dalam. Jika hari malam tiba, suhu terasa sangat ekstrim dengan hawa dingin yang tidak karuan. Dalam setiap masa patroli, tak jarang mereka pun harus membongkar perangkap atau jerat satwa dari pemburu liar.
Selain itu pengamatan terhadap jejak, sarang, kotoran atau pun bertemu langsung dengan satwa-satwa yang menghuni kawasan ekosistem merupakan momen yang acap kali mereka jalani. Dalam berpatroli mereka semua jagawana mengikuti jadwal kerja yang sama, yaitu 20 hari kerja dan 10 hari libur per bulan.
Jagawana RER umumnya mulai bekerja sejak pukul 8 pagi kecuali bila mereka baru menyelesaikan giliran jaga malam. Mereka melakukan patroli rutin di seputar hutan untuk mencegah kegiatan ilegal. Atau mereka bisa berjaga di pos penjagaan dan bersiaga bila terjadi sesuatu.
Kadang, para jagawana yang mendapat giliran siang perlu menginap di hutan bila patroli mereka terlalu jauh untuk kembali ke pos jaga sebelum gelap. Tim RER telah melatih para jagawana untuk mengambil keputusan dengan cepat bila mereka melihat sesuatu yang tidak benar saat mereka berpatroli.
Jagawana adalah bagian tidak terpisahkan dari Kawasan RER karena kawasan ini merupakan wilayah penting dengan berbagai keanekaragaman hayati.
Di kawasan Restorasi Ekosistem Riau ini, jagawana turut membantu melindungi kawasan hutan, menjaga persediaan udara dan air bersih serta makanan berlimpah bagi masyarakat di sekitar hutan, sekaligus melindungi tanaman dan satwa yang tercatat tinggal di dalam kawasan restorasi.
Hari Jagawana Sedunia yang diperingati setiap tanggal 31 Juli menjadi momen untuk merefleksikan keberanian dan pengorbanan para jagawana yang telah melindungi hutan dan taman di seluruh dunia.
Surya Saputro, 42 tahun, Jagawana RER yang bertugas di Pulau Padang adalah salah satu dari 60 jagawana di RER. Dari 60 petugas tersebut, sebanyak 34 orang bekerja di Semenanjung Kampar sedangkan sisanya yaitu 26 di Pulau Padang. Mereka dibagi menjadi tujuh tim jagawana: empat di Semenanjung Kampar dan tiga di Pulau Padang.
Jagawana yang menjalani profesi dan menjadi tulang punggung pengelolaan keanekaragaman hayati global bukanlah pekerjaan yang gampang. Namun, sangat berharga ketika menyadari bahwa pekerjaan tersebut ditujukan untuk kelangsungan generasi berikutnya.
“Menjadi ranger adalah pekerjaan yang penting. Kami merawat dan melindungi hutan yang merupakan ‘paru-paru’ dunia. Kami bangga berada di sini,” kata Surya.
Cuaca terik dan hujan deras adalah hal biasa bagi para jagawana. Bermalam atau biasa mereka sebut manda di tengah hutan yang terisolasi karena jarak yang jauh ke pos juga lumrah dilakukan. Belum lagi, mereka harus sigap dan mengambil keputusan cepat apabila menemukan masalah atau sesuatu di luar dugaan.
“Contohnya, kalau ranger memantau adanya penangkapan ilegal, mereka harus menghentikan pelaku, menahannya, dan melaporkannya ke tim RER,” tutur Surya yang juga koordinator jagawana di Pulau Padang.
Dengan kondisi hutan yang masih sangat terjaga, keanekaragaman flora dan fauna di dalam area restorasi sangat kaya. Tahun 2018 lalu, Restorasi Ekosistem Riau menjadi rumah yang nyaman bagi total 759 spesies, 119 spesies pohon dan 69 spesies non-pohon. Sebagian flora dan fauna yang berada di kawasan RER tersebut merupakan jenis yang dilindungi, baik secara global maupun nasional.
Saat ini RER terus menunjukkan kemajuan dan secara sukses melindungi 150.693 hektare hutan lahan gambut, selain menjadi rumah bagi lebih dari ratusan spesies juga menyimpan paling tidak 688 juta ton karbon.
Tantangan yang juga dihadapi para jagawana adalah rasa rindu karena jauh dari keluarga. Durasi manda tergantung jarak lokasi patroli yang sudah diterapkan.
“Kami bisa sampai 20 hari di dalam hutan. Selama bertugas kami sulit menghubungi keluarga karena tidak ada sinyal. Maklum saja, kami kan di remote area jadi rasa rindunya harus ditampung dulu,” kelakar pria berkulit putih ini.
Surya telah bergabung dengan RER sebagai jagawana semenjak tahun 2014. Sebelumnya, ia bekerja sebagai petugas keamanan di APRIL sejak tahun 2010.
Kecintaannya pada alam dan satwa menuntunnya untuk menjadi jagawana. Alasan lain yang cukup kuat mendorongnya untuk beralih profesi sebagai jagawana adalah pelajaran yang ia ambil dari profesi ayahnya ketika ia masih kecil.
“Ayah saya sempat mengambil sumber daya alam tidak secara berkelanjutan di masa lampau, dari hutan yang saya jaga hari ini, saya ingin menebus kesalahan tersebut dengan memastikan bahwa setiap pohon di hutan ini terlindungi dan dapat tumbuh sekuat dan setinggi mungkin,” ungkapnya.
“Saya selalu merasa senang menghabiskan waktu di alam dengan air bersih dan udara segar di sekitar. Jadi, saya anggap itu adalah isyarat bagi saya untuk mengambil tanggungjawab yang lebih besar lagi sebagai garda depan yang tugas sehari-harinya selalu berkaitan dengan perlindungan hutan,” lanjutnya.
“Namun, secinta apapun saya kepada alam, keadaan tidak selalu berjalan mulus ketika Anda harus bekerja di alam liar.”
Surya mengungkapkan bahwa menjalani profesi impian tentu saja bukan tanpa resiko.
“Ada saat di mana kami, para jagawana, kehabisan persediaan makanan ketika berpatroli di dalam hutan yang bisa berhari-hari lamanya. Dalam situasi semacam itu, kami terpaksa menggunakan naluri bertahan hidup. Untungnya, banyak sekali sumber makanan alami di dalam hutan RER yang dapat kami manfaatkan untuk bertahan,” lanjutnya.
Contohnya saja rotan, dikenal sebagai bahan untuk mebel, buah rotan pun ternyata dapat dimakan. Tiap patroli, mereka akan menjelajahi jarak sejauh 20 kilometer, oleh karena itu para jagawana harus benar-benar sehat dan bugar untuk bertugas. Mereka juga harus dibekali dengan kotak P3K dan parang, untuk berjaga-jaga bila memang diperlukan.
“Kami tahu bahwa kawasan restorasi kami letaknya terpencil dan punya keanekaragaman hayati yang begitu besar, sehingga bisa jadi kami akan berjumpa dengan satwa liar. Kemungkinan perjumpaan ini merupakan tantangan terbesar kami,” ujarnya.
Akan tetapi, bagi para jagawan, berjumpa dengan satwa liar di lingkungan aslinya seperti ini merupakan salah satu hal terbaik dari pekerjaan mereka. Adapun kunci dalam menghadapi tantangan tersebut ialah dengan tetap fokus, dan jagawana didorong untuk beristirahat dan memulihkan fokus bila diperlukan.
Di sinilah Restorasi Ekosistem Riau memiliki peran yang sangat penting. Para jagawana RER yang berpatroli atau berjaga dapat mencegah dan meminimalisir potensi kerusakan alam atau pelanggaran di wilayah restorasi.
Restorasi Ekosistem Riau sendiri diinisiasi pada 2013 silam oleh APRIL Group, dengan komitmen hingga sebesar USD 100 juta untuk sepuluh tahun pertama operasinya. RER merupakan program restorasi jangka panjang untuk melindungi, mengkaji, merestorasi, dan mengelola hutan gambut beserta ekosistemnya yang telah terdegradasi.
Terdapat pembagian tugas dan shift dalam pekerjaan tersebut. Misalnya, di suatu daerah, ada enam jagawana yang ditugaskan dalam satu shift; empat diantaranya berpatroli dan dua lainnya standby di pos.
Selain itu, jagawana juga kerap bekerjasama dan melibatkan masyarakat lokal serta komunitas dalam melindungi area restorasi. Bagaimanapun juga, alam yang dijaga adalah milik bersama.
Terlepas dari segala tantangan yang dihadapi saat bertugas, para penjaga hutan ini memiliki kepuasan tersendiri dalam pekerjaan mereka. Pasalnya, mereka bisa menjadi lebih dekat dengan alam yang dicintai. “Kami bangga bisa berperan dalam melestarikan hutan demi kebaikan generasi kini dan generasi anak-anak kami kelak,” tutup Surya.
Sebelum RER beroperasi, kedua lanskap ini merupakan area yang cukup terdegradasi. Pembalakan liar, klaim lahan, perambahan hutan, praktik tebang-bakar, penebangan yang tidak lestari dan kegiatan komersial lainnya, membuat kondisinya cukup memprihatinkan.
Meski hanya mencakup sekitar 3 persen luas daratan bumi, lahan gambut merupakan salah satu ekosistem paling penting. Ekosistem ini menyediakan perlindungan bagi keanekaragaman hayati dunia, sumber air bersih, sekaligus penyimpan karbon untuk meminimalkan dampak perubahan iklim. Pulau Sumatera merupakan salah satu dari sedikit tempat di dunia ini yang kaya akan lahan gambut.
RER diciptakan sejalan dengan aksi-aksi mitigasi yang dirancang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia untuk mencapai Forest and Other Land Use (FoLU) Net Sink 2030.(gus)
Laporan Wira Saputra, Selatpanjang