Pembahasan mengenai burung pemangsa atau disebut dengan raptor sudah lama bergaung gemanya. Meskipun di kawasan Riau belum menjadi pembahasan yang spesifik, karena masih konsen dengan gajah dan harimau sumatera. Tidak bisa dipungkiri kedua satwa tersebut lebih banyak menyita perhatian pihak pengambil kebijakan dan masyarakat luas dibandingkan dengan isu raptor. Padahal upaya penyelamatan raptor tak kalah penting dilakukan demi menciptakan harmonisasi kehidupan antara raptor, manusia dan lingkungan.
Laporan, MASHURI KURNIAWAN, Pekanbaru
Pagi itu Senin (16/12) Himpunan Mahasiswa Biologi FMIPA Unri mengadakan workshop konservasi burung pemangsa dan habitatnya di Riau. Bekerjasama dengan banyak pihak seperti Kementerian Kehutanan bidang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi Hutan Lindung (PJLKKHL), Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Suaka Elang Bogor, Tim Kokoan pengamat burung dari Bali, Tim Burung Nusantara pengamat burung dari Bogor, Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH) Riau.
Mengingat pentingnya keberadaan habitat burung pemangsa dan habitatnya demi rantai kehidupan, maka konservasi raptor ini perlu dilakukan, apalagi Riau memiliki Rupat, daerah lintasan raptor migran.
Seperti yang dituturkan Direktur PJLKKLH Bambang Suprianto burung pemangsa selain terdiri dari elang migran juga ada yang menetap. Mereka membutuhkan daya jelajah yang luas untuk hidup karena hal itu, lanjut Bambang diperlukan pentingnya untuk memperbaiki hutan di Riau sebagai habitat tempat tinggalnya. Namun sebelum kearah yang lebih spesifik, hal yang pertama dilakukan oleh pihak PJLKKLH terkait isu raptor ini adalah terus memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya kedudukan hewan pemangsa tersebut dalam rantai ekosistem melalui mahasiswa dan para pengambil keputusan. Serta memperketat penegakan hukum yang berlaku terhadap salah satu spesies yang dilindungi tersebut.
“Kita perlu dukungan publik dengan melakukan kolaborasi sehingga tujuan bersama untuk menyelamatkan raptor ini tercapai, tujuan ini tidak akan tercapai jika dilakukan dengan berjalan sendiri-sendiri,” imbuhnya.
Bentuk pengenalan terhadap raptor memang harus dilakukan langsung dengan observasi dilapangan, maka pengetahuan tentang raptor akan langsung mengena, dan kolaborasi yang melibatkan banyak pihak merupakan bentuk kerjasama yang ideal.
Pernyataan tersebut didukung oleh Kepala BBKSDA Riau Kemal Amas, bahwa elang sebagai salah satu hewan pemangsa di Riau ini belum di hitung jumlahnya oleh BBKSDA baik yang menetap maupun yang migran. Penelitian dan observasi terhadap satwa tersebut masih sangat minim. Ia menyebutkan konservasi terhadap raptor sangat penting karena itu salah satu kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki oleh Indonesia.
“Indonesia ini kaya dengan SDA, keragamananya sangat tinggi, ancaman kepunahan sangat besar padahal manfaat ekonomi sangat tinggi dari sumber tersebut, maka yang harus dilakukan saat ini memang mempertahankan penyangga kehidupan tersebut dengan konservasi,” ujarnya.
Terlepas dari habitatnya yang semakin menciut di wilayah Riau, permasalahan elang ini memang menarik untuk di bahas di Riau, menurut Direktur Suaka Elang Gunawan, karena kondisi elang di Riau ini tidak jauh berbeda dengan yang ada di Jawa, seperti illegal trading, juga banyak terjadi di Riau. Hasil penelusuran KSLH Riau menyebutkan di beberapa pasar tradisional yang ada di Pekanbaru elang dijual bebas di pasaran.
“Meskipun si penjual tidak mau memamerkan elang-elang tersebut seperti jualannya yang lain, namun para penjual itu menerima pemesanan khusus elang,” ungkap Ketua KSLH Riau heri Tarmizi.
Oleh sebab itulah, sosialisasi tentang konservasi raptor ini dinilai sangat penting, apalagi lanjut Gunawan di beberapa kalangan elang menjadi lambang prestise bagi pemiliknya. Hal-hal seperti itu harus diluruskan dengan memberikan informasi yang tepat tentang satwa ini. Apalagi setiap tahun diatas kepala masyarakat Riau beterbangan ribuan hewan pemangsa yang melakukan migrasi dari luar datang ke jawa melalui Rupat. Sayangnya banyak yang tidak menyadari siklus alam tersebut dan mengabaikan potensi besar yang dimiliki Rupat.
“Setiap tahun mereka melakukan kegiatan tersebut, layaknya tamu yang mengunjungi negara kita sudah sepantasnya jika kita membuat keberadaan mereka betah dengan memperbaiki habitatnya,” ujarnya.
Di Bali saat ini telah diinisiasi festival khusus yang diadakan pada waktu elang-elang tersebut melakukan migrasi. Iven tersebut memberikan informasi yang lengkap seputar satwa tersebut kepada masyarakat. Sementara itu dinegeri Jiran Malaka, festival serupa telah diadakan dengan konsep serupa bahkan lebih besar. Pertanyaan yang diajukan oleh Gunawan adalah mengapa dengan potensi rupatnya, kita tidak mengadakan acara serupa yang dikemas dengan konsep yang kebih kreatif?
“Padahal Rupat bisa menjadi daya tarik wisata yang ekslusif, ini bisa menaikkan branding Riau tidak hanya dimata nasional bahkan di mata dunia,” ucap Gunawan yang sehari-hari concern terhadap permasalahan elang di lembaga yang di asuhnya ini.
Hal ini didukung sekali oleh Dosen FMIPA Biologi Unri yang juga merupakan direktur Center for Tropical Peat Swamp Restoration and Conservation (CTPRC) Haris Gunawan, menurutnya dengan menyatukan berbagai informasi maka dapat menjadi kolaborasi yang hebat sehingga angan-angan ekowisata yang memperkenalkan potensi SDA Indonesia ke kancah internasional semakin besar.
Lokasi Rupat yang sangat dekat dengan Malaka adalah keuntungan tersendiri, selain itu Rupat juga sangat dekat dengan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu yang saat ini sudah dimulai sebagai tempat wisata minat khusus. Maka dengan dibukanya Rupat sebagai temnpat ekowisata dengan memperkenalkan habitat elangnya, pengunjung bisa langsung sekaligus meneliti dan mengagumi keanekaragaman hayati yang ada disana Cagar Biosfer.
“Dari sisi ekonomi ini akan sangat menguntungkan masyarakat sekitar, karena mereka bisa menjadikan tempat tinggalnya sebagai homestay bagi para pengunjung, ini akan menjelaskan secara tindakan kepada masyarakat bahwa konservasi tidak merugikan masyarakat tapi malah memberikan nilai lebih dari sisi perekonomian penduduk tempatan,” tegas Haris Gunawan.(*7)