Laju harga minyak dunia yang semakin tinggi dari waktu ke waktu tak akan dapat dihentikan. Meningkatnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) akibat ledakan jumlah penduduk dan menipisnya cadangan BBM fosil menjadi faktor tak terelakkan. Solusi bahan bakar nabati (BBN) menjadi sebuah keharusan. Selain dapat diperbarui, BBN juga ramah lingkungan, karena rendah karbon.
Laporan MUHAMMAD AMIN, Pekanbaru
Lambaian bunga dan butiran biji sorgum seirama ketika ditiup angin. Tinggi dan selalu melambai ketika ditiup angin di areal sedikit berbukit. Kawasan Desa Pasirputih, Siak Hulu, Kampar itu memang telah berubah dengan adanya tanaman baru sejak November 2012 lalu. Sorgum memang bukan tanaman endemik di Riau. Tanaman ini tumbuh endemik di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tengah mengembangkan sorgum ini di Riau, selain juga Cibinong (Bogor), Yogyakarta, Surabaya, dan Lampung. Sorgum di daerah ini dibawa dan dikembangkan dari Jepang, hasil kerja sama LIPI dengan Syswave Holding Company dari Okinawa, Jepang.
Jenisnya pun beda, yakni supersweet sorgum dengan varietas B6, B8, dan KOI. Dari 100 varietas yang diujicoba di Cibinong, Bogor, tiga varietas ini yang dianggap cocok untuk kondisi tanah di Indonesia.
“Ini khusus untuk bahan pembuatan bio etanol,” ujar Subbid Kerja Sama Komersial Pusat Inovasi LIPI, Syahrizal ST, kepada Riau Pos, Senin (17/9).
Di areal penanaman itu, sorgum asal Jepang ini ternyata bisa tumbuh cukup tinggi, mencapai 2,5 meter. Akan tetapi diakui Syahrizal, ini belum tinggi maksimal dan akan ditingkatkan lagi. Pemberian pupuk penyubur yang disesuaikan dengan kondisi tanah yang asam menjadi treatment untuk peningkatan produksi. Saat ini, lahan kerja sama Balitbang Riau dengan LIPI ini masih 1000 meter persegi. Namun ini akan ditingkatkan menjadi 1 hektare tahun 2013 ini.
Sorgum bisa dijadikan bahan makanan seperti di NTT. Hasil pengolahan nira dari batangnya setelah diperas bisa dijadikan silase untuk pembuatan nira sorgum. Sisa batangnya bisa dijadikan pakan ternak sapi dan akan diterapkan kerja sama Balitbang Riau dengan LIPI.
Tahun 2013 ini, Balitbang telah membuat pabrik pembuatan bio etanol di Pasirputih, Siak Hulu. Bersamaan dengan itu juga disiapkan peternakan skala laboratorium untuk sapi. Balitbang dan LIPI berencana menggalang kerja sama dengan swasta.
“Calon mitra sudah ada, tapi masih penjajakan,” ujarnya.
Pengganti BBM
Kesadaran tentang pentingnya penggunaan BBN sudah mencuat sejak tujuh tahun lalu. Pemerintah bahkan sudah mengeluarkan Inpres no 1 tahun 2006 agar instansi terkait mempersiapkan segala hal untuk substitusi BBM fosil ini. Berbagai upaya, uji coba, bahkan penanaman bahan baku BBN pun telah dilakukan. Di antara bahan baku BBN yang populer di awal Inpres ini lahir adalah CPO sawit, jarak pagar, sorgum, tebu, singkong, jagung hingga mikro alga.
Bahkan tahun 2008, sudah dimulai penanaman jarak pagar secara besar-besaran. Akan tetapi rencana ini gagal akibat nilai keekonomian yang tak setara dengan kondisi seharusnya. Para petani pun kecewa. Dengan naiknya harga BBM, maka prospek BBN pun kembali meningkat.
Kini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan sorgum dan mikro alga. Dua bahan baku pembuatan bio etanol ini, menurut LIPI memiliki nilai keekonomian yang bisa seimbang dengan BBM. LIPI sudah mengembangkan penanaman sorgum di lima daerah, yakni Cibinong (Jabar), Yogyakarta, Surabaya, Lampung dan Riau.
Menurut Kepala Pusat Inovasi LIPI, Prof Dr Ir Bambang Subiyanto, sorgum dan mikro alga akan mampu menjadi substitusi BBM dengan harga keekonomian yang bersaing.
“Kita targetkan nanti harganya bisa antara Rp6000 hingga Rp6500 perliter. Tapi ini masih dikaji lagi,” ujar Bambang.
Bambang menyebutkan, sebelumnya yang dilakukan petani dengan singkong, jarak pagar dan lainnya dalam pembuatan bio etanol belum memperhitungkan harga keekonomian jangka panjangnya. BBN dari jarak pagar bisa dijual seharga Rp9000 perliter. Begitu juga dengan singkong.
“Jarak itu untuk bio diesel dan kalah dengan harga bio diesel sawit yang hanya Rp6500 perliternya,” ujar Bambang.
Saat ini, bio diesel berbahan baku crude palm oil (CPO) sawit memang telah dijual di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (CPO). Harganya yang lebih rendah menjadikan bio diesel bahan lainnya mati. Beberapa industri kecil di tanah air pun sudah mati.
Bambang menyebutkan, Kementerian ESDM telah menargetkan tahun 2025, bahan bakar alternatif yang digunakan mencapai 25 persen. Angka ini bahkan lebih tinggi dibanding bahan bakar fosil yang hanya 23 persen. Sisanya, 32 persen dari batu bara, dan 20 persen dari gas. Dari 25 persen bahan bakar alternatif itu, sebanyak 8,9 persen ditargetkan dari bahan bakar nabati, yakni bio etanol dan bio solar. Sisanya dari energi matahari (solar cell), angin, air, panas bumi dan lainnya.
“Jadi prospek bio etanol dan bio solar ini sangat bagus. Saatnya sekarang nabati menggantikan fosil,” ujar Bambang.
Adapun LIPI merekomendasikan sorgum dan mikro alga karena telah diteliti dan digunakan di Jepang. Bio etanol ini bahkan sudah menjadi industri di Jepang dan dipakai di SPBU di sana. Bahkan kini LIPI menggandeng perusahaan asal Jepang, Syswave Holding Comp.
Sebagai catatan, sorgum asal Jepang ini berbeda dengan sorgum lokal yang biasa ditanam, bahkan sedang dikembangkan Kementerian BUMN di Sumbawa dan Jember seluas 100 hektare. Sorgum yang dikembangkan LIPI, khusus digunakan untuk bio etanol. Sedangkan yang dikembangkan BUMN untuk konsumsi.
“Sorgum yang kami kembangkan memang kurang tepat untuk konsumsi. Tapi ini lebih prospek untuk bio etanol karena produksinya bisa lebih banyak, mencapai 200 ton perhektare. Sedangkan produk lokal hanya 100 ton perhektare,” ujarnya.
Dalam satu tahun, sorgum dapat dipanen tiga kali dengan total 400 ton perhektare. Panen pertama 200 ton, panen kedua 150 ton dan ketiga 70 ton. Sorgum untuk tahap kedua tak perlu ditanam ulang, karena setelah dipotong, akan tumbuh sendiri dan siap panen dalam waktu dua setengah hingga tiga bulan. Begitu juga untuk panen ketiga.
Saat ini diakui Bambang, bahwa penanaman sorgum di Riau masih belum maksimal. Namun Riau dan Lampung tetap sangat prospek jika kondisi penanaman dan pemupukan dimaksimalkan. Ph yang rendah bisa ditambah kapur. Selain itu perlu tambahan pupuk npk dan pupuk kandang.
“Target kita 400 ton perhektare pertahun disesuaikan dengan kapasitas produksi dari pabrik yang sedang dibangun,” ujar Bambang.
Disebutkannya, setelah panen yang kedua nanti, pengolahan menjadi bio etanol akan dilakukan. Dalam skala laboratorium LIPI, produksi bio etanol sangat menjanjikan. Tapi untuk skala besar, tentunya diperlukan kerja sama dengan investor. Target kebun sorgum 1 hektare pada November 2013 ini masih bisa mengandalkan Balitbang Riau.
“Namun jika target 10 hektare tahun 2014 nanti terlaksana, maka perlu investor. Ini masih penjajakan,” ujar Bambang.
Dengan 10 hektare lahan, sekurangnya dapat menghasilkan 400 liter jus sorgum. Dari hasil pengolahan 400 liter jus sorgum itu, akan dapat dihasilkan sebanyak 80 liter bio etanol perhari. Belum lagi untuk pakan ternak. Adapun untuk swasta, diproyeksikan perlu lahan 1000 hingga 2000 hektare untuk dapat membuat sebanyak 5 kilo liter bio etanol perhari.
“Lahan di NTT bisa digunakan untuk skala sangat luas seperti ini,” ujarnya.
Pengembangan Mikro Alga
Selain mengembangkan sorgum, di Puribangtek (Pusat Riset, Pengembangan dan Teknologi) Balitbang Riau, Pasir putih, Siak Hulu, Kampar juga sedang dikembangkan mikro alga. Sudah ada puluhan peralatan yang dikembangkan Balitbang Riau-LIPI untuk mikro alga ini, berupa fotobioreaktor. Peralatan ini berupa beberapa tabung yang selalu dialirkan dengan memasukkan bibit mikro alga, asli dari perairan di kawasan Siak Hulu, Kampar. Dalam waktu dua pekan, air akan berubah hijau, pertanda mikro alga ini siap digunakan dan diolah.
“Target kita, selain untuk bio etanol, mikro alga ini juga bisa untuk bio diesel,” ujar Bambang.
Ditambahkan Peneliti LIPI, Jodi Arya Laksmono yang mengembangkan mikro alga di Pasirputih, Siak Hulu ini, mikro alga ini termasuk unik karena bisa dikategorikan hewan atau tumbuhan. Mikro alga dikategorikan hewan karena bernapas. Sedangkan kategori tumbuhan karena berkembang dengan proses fotosintesis di air. Mikro alga menyerap CO2, dan karenanya sangat bagus dalam mengolah limbah. Yang diperlukan hanya air, sekitar 500 liter air dalam satu kali proses dan sinar matahari. Mikro alga berkembang dengan cara berspora, serbuk sari. Setelah menghasilkan 10 juta sel permililiter, mikro alga ini dapat menghasilnya protein, asam lemak, juga antibiotik. Adapun jenis yang dikembangkan di Riau adalah chlorella sp.
“Aplikasinya sebenarnya banyak, bisa untuk pengolahan limbah, bio energi hingga antibiotik,” ujar Jodi.
Ada beberapa komponen yang bisa dihasilkan dari mikro alga. Di antaranya asam lemak untuk bahan baku biodiesel, starch (pati) sebagai sumber bahan baku bioetanol, dan protein serta vitamin yang dapat diolah untuk suplemen. Setelah dipanen, mikro alga ini diekstraksi, sehingga keluar minyaknya. Ada asam lemak dan pati, yang lalu dipisahkan, difermentasi, untuk dijadikan bio etanol atau bio diesel.
“Secara laboratorium sudah kita hasilkan bio etanol dan bio dieselnya,” ujar Jodi.
Dalam komposisinya, 1 liter mikro alga bisa menghasilkan 150 cc biodiesel. Sedangkan 1 liter mikro alga dapat menghasilkan 30 cc bioetanol. Pengolahannya menggunakan sistem continues centrifuse untuk pemisahan komponen mikro alga-nya. Untuk membuatnya menjadi bio diesel digunakan reaktor, dengan jangka waktu sehari. Adapun proses fermentasi menuju bio etanol menggunakan fermentor, dengan masa 3 hari pengolahan.
“Semuanya sudah kita siapkan di Puribangtek. Tinggal prosesnya,” ujar Jodi.
Riau Kembangkan Energi Alternatif
Kepala Balitbang Riau, Prof Dr Tengku Dahril MSc menyebutkan, saat ini Riau memang sedang giat mengembangkan energi terbarukan. Diakuinya, Riau masih memiliki banyak cadangan minyak. Namun pihaknya menyadari bahwa cadangan minyak dari fosil itu makin menipis dan terus menambah polusi. BBM dari fosil juga memberikan sumbangsih untuk pembentukan gas rumah kaca, yang akhirnya berperan dalam memicu atau mempercepat perubahan iklim.
Energi terbarukan yang sedang dikembangkan antara lain bio massa dari limbah sawit. Banyaknya limbah sawit, baik cangkangnya maupun limbah cairnya kini tak lagi masalah. Cangkangnya tengah dikembangkan menjadi bahan baku pembuatan baterai dan limbah cairnya yang diolah bersama mikro alga bisa dinetralisir dan menjadi sumber energi untuk bio etanol. Saat ini, Dinas Perkebunan Riau tengah menjajaki kerja sama dengan investor asal Korea untuk mengembangkan energi dari limbah sawit ini.
Selain itu, Balitbang Riau tengah mengembangkan energi air dari gelombang laut dan air pasang yang ada di Inhil, Pelalawan dan Rohil. Energi angin juga sudah diteliti dan diujicoba di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim, Siak. Balitbang juga sedang mengembangkan energi matahari dengan merancang pembuatan panel surya.
“Pembuatan panel surya sudah mulai dikaji karena kita punya potensi. Pulau Rupat ternyata memiliki pasir silika, bahan untuk membuat panel surya,” ujar Tengku Dahril.
Balitbang Riau juga tengah mengembangkan sorgum sebagai energi alternatif untuk membuat bio etanol. Tengku Dahril menyebutkan, sorgum sudah sejak lama dikembangkan di Okinawa, Jepang. Dari beberapa kali penanaman, ternyata sorgum jenis khusus ini bisa berkembang di Indonesia, dan Riau khususnya. Negeri ini memiliki keuntungan lebih karena lahan yang masih sangat luas dan musim tanam yang bisa sepanjang masa. Beda dengan Jepang yang ada musim salju dan tanaman tak bisa tumbuh.
“Di Okinawa itu bio etanol dari sorgum sudah dijual di SPBU. Nah, kita ke depannya juga berharap demikian,” ujar lulusan S2 dan S3 Nagasaki University, Jepang ini.
Pengembangan energi terbarukan di Riau, menurut Tengku Dahril, dilakukan karena pihaknya menyadari pentingnya menjaga lingkungan dari pencemaran akibat karbondioksida. Dengan mikro alga, misalnya, yang pengembangannya menyerap limbah, tentunya akan mengurangi berbagai limbah yang dihasilkan dari industri. Selain itu, mikro alga sendiri menghasilkan energi yang bersih.
Begitu juga pengembangan sorgum. Dengan menanam sorgum, tentunya serapan CO2 di udara akan sangat maksimal. Sorgum yang dihasilkan pun memberikan energi yang bersih dan minim gas buang beracun.
“Bahan bakar nabati ini dapat menyerap Co2 ketika ditanam, dan mengeluarkan sedikit Co2 ketika dibakar. Bandingkan dengan BBM dari fosil yang hanya mengeluarkan Co2, dan tak ada menyerap Co2,” ujarnya.
Sepeda Listrik
Untuk mengurangi emisi di Pekanbaru dan sekitarnya, Balitbang Riau juga sudah melaksanakan program green bicycle. Sejak tahun 2012, Balitbang Riau sudah merancang dan menerapkan program ini di kampus-kampus Pekanbaru, yakni Universitas Riau (Unri), Universitas Islam Riau (UIR), Universitas Muhammadiyah Riau (Umri), dan Politeknik Caltex Riau (PCR).
Pada masing-masing kampus itu sudah dibuat panel surya tempat sepeda listrik itu di-carge. Kepada masing-masing perguruan tinggi itu diberikan masing-masing tiga unit sepeda listrik sebagai stimulan awal. Masing-masing rektor juga sudah mendukung dan sudah menyosialisasikannya kepada mahasiswa.
“Kita juga sudah siapkan prototipe sepeda listrik. Mahasiswa juga yang merancang dan akan disiapkan untuk produksi massal. Pihak Pertamina Dumai juga sudah menyatakan siap untuk memproduksi massal. Kita sudah bicarakan ini,” ujar Tengku Dahril.
Tengku Dahril menyebutkan, tahun 2015, pihaknya sudah mencanangkan kampus di Riau, khususnya di Pekanbaru akan bebas dari knalpot kendaraan. Komitmen ini sudah dibicarakan dengan pihak universitas dan didukung civitas akademika. Untuk itu, pembuatan sepeda listrik massal memang tengah digesa.
Dengan makin tingginya kesadaran pihak kampus terhadap isu lingkungan, maka diharapkan wacana ini terus mendapat perhatian. Apalagi saat ini, larangan pelajar untuk menggunakan sepeda motor ke sekolah terus didengungkan. Pemakaian sepeda ke sekolah juga kembali jadi wacana penting.
“Nah dalam hal ini, kakak-kakak mereka sebagai mahasiswa bisa menjadi contoh,” ujar Tengku Dahril.***