Hutan tempat Harimau Sumatera hidup sekarang sudah menyempit. Perkebunan kelapa sawit tumbuh subur di kawasan yang seharusnya menjadi lokasi harimau. Tidak jarang kondisi itu menyebabkan harimau jadi target buruan masyarakat. Konflik inilah yang berakibat pada berkurangnya jumlah si raja hutan itu.
Laporan, MASHURI KURNIAWAN, Pekanbaru
Dengan menyempitnya habitat hewan di hutan tentulah berakibat pada berkurangnya makanan untuk mempertahankan hidup hewan ini. Hutan yang rusak secara otomatis menyebabkan makanan harimau seperti babi hutan, kera, rusa, juga berkurang. Harimau harus rela masuk perkampungan masyarakat. Dan konflik harimau-manusia tidak terelakkan lagi.
Padahal, sebagai predator utama pada rantai makanan, harimau sudah seharusnya dapat mempertahankan populasi dengan memangsa hewan liar yang ada di bawah rantau makanannya. Dengan demikian, terjadi keseimbangan dan vegetasi tetap terjaga dengan baik, di hutan alam hijau.
Humas WWF Program Riau, Syamsidar menyebutkan, hewan pemangsa ini hidupnya di alam bebas. Jadi, biarkanlah hidupnya terus berada di alam. ‘’Biarkan Hariamu Sumatera ini hidup. Karena mereka mempunyai peranan dalam ekosistem,’’ kata Syamsidar.
Harimau, kata dia, dapat mengontrol dan mengendalikan populasi-populasi yang ada di rantai bawah. Secara ekologis mereka sangat penting peranannya dalam ekosistim alam. Hewan ini jangan pernah di buru untuk kepentingan pribadi.
Dari penuturan Syamsidar, kondisi di lapangan saat ini sering sekali bermunculan permasalahan antar harimau dan manusia. Harimau ini memiliki daya jelajah yang tinggi. Kondisi sekarang jelajah mereka sudah terbangun perkebunan dan perkampungan masyarakat. Artinya, hutan sudah mulai habis di Riau.
Dari data WWF Program Riau mengungkapkan hasil kamera trap, dari kecocokan belang yang didapatkan diperkirakan sebanyak 36 ekor harimau yang masih bertahan hidup di Riau. Harimau Sumatera yang ada di empat tempat di Riau yaitu di antaranya Tesso Nilo, Kerumutan, Rimbang Baling dan di koridor yang menghubungkan kawasan konservasi Suaka Margasatwa Rimbang Baling dengan Bukit Tiga Puluh.
Seperti yang diketahui dalam pemberitaan media masa beberapa waktu lalu, dituliskan Kawasan hutan lindung yang dikenal sebagai koridor biologi satwa antara Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Baling dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) itu telah rusak dan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
Daerah hutan lindung memiliki karakteristik pegunungan ini, hancur akibat dirambah dan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Padahal, kawasan lindung yang ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 254/1984 dan Peraturan Daerah Riau Nomor 10/1994 sebagai kawasan hutan lindung tersebut terkesan dibiarkan rusak dan terbengkalai.
Permasalahan inilah yang menurut Syamsidar, perlu sebuah pemikiran untuk tetap mempertahankan daerah jelajah harimau ini. Namun demikian, hewan yang memiliki indera pendengaran dan penglihatan yang sangat tajam tersebut masih belum mendapatkan perhatian. Pasalnya, masih saja sering terjadi perambahan hutan di Riau.
Humas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Zaidir mengatakan, BBKSDA sudah melakukan koordinasi dilapangan untuk melakukan penjagaan secara serius hutan dan ekosistim di dalamnya. Hanya saja, memang ada beberapan oknum masyarakat yang melakukan perambahan dengan melakukan penebangan pohon di hutan.
Bila hutan habis, kata dia, harimau akan tergerus menuju perkampungan masyarakat. Kondisi inilah yang menjadi perhatian dari pemerintah. ’’Kita berharap masalah ini bisa diperhatikan dengan serius seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, dan penegak hukum. Mari bekerja sama menjaga hutan ini dengan baik,’’ ungkapnya.
Sementara itu perkiraan terkini menurut data dari berbagai lembaga yang terdiri dari lembaga pemerintah dan non pemerintah angka minimal harimau Sumatera sekitar 300 ekor tetapi angka ini baru mengacu pada estimasi di delapan kawasan dari setidaknya 18 kawasan yang teridentifikasi keberadaan harimau di Pulau Sumatera (Departemen Kehutanan: Strategi dan Rencana Aksi Harimau Sumatera 2007-2017).
Masih data WWF Program Riau Harimau Sumatera dapat berbiak kapan saja. Masa kehamilan adalah sekitar 103 hari. Biasanya harimau betina melahirkan dua atau tiga ekor anak harimau sekaligus, dan paling banyak enam ekor. Mata anak harimau baru terbuka pada hari kesepuluh. Anak harimau hanya minum air susu induknya selama delapan Minggu pertama. Sehabis itu mereka dapat mencoba makanan padat, namun mereka masih menyusu selama lima atau enam bulan.
Anak harimau pertama kali meninggalkan sarang pada umur dua pekan, dan belajar berburu pada umur enam bulan. Mereka dapat berburu sendirian pada umur 18 bulan, dan pada umur dua tahun anak harimau dapat berdiri sendiri. Harimau Sumatera dapat hidup selama 15 tahun di alam liar, dan 20 tahun dalam kurungan.***