Eko Hidro di Lahan Gambut

Lingkungan | Minggu, 15 September 2013 - 07:57 WIB

Eko Hidro di Lahan Gambut
Tim MRV saat mengunjungi lokasi pembibitan pohon akasia di kawasan konsesi PT RAPP Desa Sungai Hiu, Pulau Padang, Kepulauan Meranti. Foto: KUNNI MASROHATI/Riau Pos

Pekan lalu, di awal September 2013 Riau Pos berkesempatan mengikuti perjalanan tim Measurement, Reporting and Verivication (MRV) dari Jakarta ke Pulau padang, tepatnya di Sungai Hiu dan Sungai Sekuat, Kecamatan Pasir Putri Puyu, Kabupaten Kepulauan Meranti yang merupakan kawasan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).

Laporan, KUNNI MASROHATI, Meranti

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Tim MRV yang diketuai Prof DR Budi Indra Setiawan MAGR dan di-SK-kan awal Januari 2013 silam ini, merupakan tim yang dibentuk langsung oleh Kementerian Kehutanan RI untuk mengawasi dan melaporkan berbagai aktifitas PT RAPP di kawasan tersebut.

Saat memasuki kawasan Sungai Hiu (khusus kawasan HTI bukan kawasan pemukiman), yang terlihat hamparan lahan luas. Sebagian kosong dan sebagian ditumbuhi pohon akasia muda berusia 1 tahun. Lahan HTI di kawasan ini mencapai 6000 hektare. Di sinilah 2.200 pohon akasia atau 2,2 juta pohon dalam setahun ditanam. Kawasan ini dibelah oleh jalan sirtu (pasir dan batu) dengan lebar sekitar 7 meter dan panjang sekitar 7 kilo meter.

Selain hamparan lahan luas, juga terlihat kanal-kanal di berbagai sisinya. Kanal ini ada yang besar (primer), sedang (sekunder) dan kecil (tersier). Ini bukan kanal sembarangan, tapi kanal yang dibuat khusus untuk mengatur tinggi permukaan air (water level management) agar tanaman akasia yang ditanam tumbuh subur dan kelembaban lahan gambut tetap terjaga. Kanal ini (khususnya kanal primer), juga dimanfaatkan untuk kepentingan transportasi air.

Selama dalam perjalanan, Prof Budi yang merupakan guru besar di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan DR Wawan MP pakar gambut dari Unri, sering menjelaskan tentang kelebihan dan manfaat kanal tersebut. Kanal-kanal inilah, jelasnya, yang disebut dengan sistem eko hidro: sistem pengaturan air (water management) khusus di lahan gambut yang dibuat berjenjeng seperti sisir (by pass sisir). Air diatur, dibuang dan dipertahankan sesuai kebutuhan dan musim. Dengan demikian, keasrian gambut tetap terjaga. Emisi, subsidensi, bahaya kebakaran dan kerusakan tanah semakin jauh kemungkinannya untuk terjadi.

‘’Kita melihat data dan fakta serta melaporkan apa yang kita lihat di lapangan ini kepada Menteri Kehutanan. Tentunya dengan solusi-solusi cerdas agar kawasan HTI ini tetap terjaga baik. Izin HTI ini tidak sebentar, 90 tahun, aset yang luar biasa. Makanya, semuanya harus diawasi agar berjalan seimbang,’’ kata Prof Budi.

Dalam tim MRV ini juga ada DR Ir Basuki Sumadinata (IPB), Prof DR IR Muhajir Sutomo MSC (Universitas Lampung) dan masih banyak lainnya. Mereka juga melihat lokasi pembibitan pohon akasia yang terletak di luar kawasan konsesi. Di atas lahan 6 hektare yang disewa dari masyarakat setempat itulah, ribuan bibit pohon disemai dan ditanam. Karyawan yang merupakan penduduk tempatan, terlihat sibuk melakukan pembibitan. Di sisi lain, sebagian mereka sibuk menanam.

Selain Sungai Hiu, tim MRV juga meninjau lokasi HTI PT RAPP di Sungai Sekuat, tidak begitu jauh dari Sungai Hiu, tapi tetap ditempuh melalui jalur sungai. Hal serupa juga terlihat di kawasan ini. Ada lokasi pembibitan, penanaman, ada kanal-kanal dan juga ada Weather Station atau stasiun pemantau kondisi lahan gambut di kawasan konsesi tersebut. Alat berbentuk tinggi panjang dengan kincir di bagian atasnya itu, mampu merekam dan mengontrol suhu udara, kelembaban udara, kelembaban tanah, water level, arah dan kecepatan angin serta curah hujan. Faktor-faktor ini sangatlah penting untuk diketahui karena mempengaruhi aktifitas makhluk hidup di tanah gambut tersebut.

Alat ini juga mampu memantau curah hujan yang berhubung erat dengan pengaturan water level di lahan gambut tersebut. Dari sinilah akan diketahui apakah air lahan gambut yang dibuat dengan sistem eko hidro dengan by pass sisir sebagai pengontrolnya itu, perlu dibuang atau tidak.

‘’Saat diketahui musim kemarau akan tiba, by pass sisir tetap tertutup agar airnya bertahan dan gambut tidak kering. Begitu juga kalau musim penghujan akan tiba, by pass sisir segera dibuka agar air tidak menggenang atau banjir. Pengaturan ini bagus untuk pohon akasia yang ditanam dan gambut tetap terjaga. Tidak ada yang rusak, semua terjaga,’’ kata DR Wawan.

Riau adalah negeri gambut. Gambut adalah aset Riau. sesuai hasil survei Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) setelah tahun 2012, Riau memiliki luas kawasan 3.867 juta hektare  atau 60 persen dari luas lahan gambut di seluruh Sumatera. Jika salah mengelola gambut, maka emisi, subsidensi dan bahkan kebakaran lahan akan sangat mudah terjadi.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 14 tahun 2009 tentang pemanfaatan lahan gambut, di sana dijelaskan tentang bagaimana menjaga kelembaban gambut, di antaranya tetap menjaga tinggi muka air tanah 60-80 centimeter. Padahal, kata DR Wawan, tidaklah mesti seperti itu. Kondisi air yang lebih dangkal atau di bawah 60 centi meter, juga ada dampak positifnya, termasuk mengurangi emisi dan subsidensi. Makanya, dengan sistem eko hidro, level air atau tinggi permukaan air bisa diatur sesuai umur tanaman dan air yang dibutuhkan tanaman tersebut.

Melihat sistem kerja eko hidro yang fleksibel, maka sistem ini pun cocok digunakan untuk perkebunan sawit yang ditanam di atas lahan gambut. ‘’Sangat bisa. Sistem eko hidro sangat bisa untuk kebun sawit di lahan gambut. Kalau dijalankan, gambut tetap akan lembab. Emisi, subsidensi dan kebakaran lahan lebih bisa diminamilisir,’’ kata DR Wawan. ***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook