‘’Kalau moratorium lahan gambut kita dukung dan harus tetap jalan, tidak ada izin baru. Begitu juga untuk pemanfaaat yang lama perlu ditinjau kembali. Agar tidak ada yang menyimpang dengan tidak memperdulikan kondisi lingkungan,’’ ungkapnya.
Dalam penerapannya, Dosen Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Universitas Riau itu menerangkan, pihak pemerintah daerah dapat berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Begitu juga dengan melakukan pengawasan secara maksimal di titik-titik rawan eksploitasi lahan gambut.
‘’Kita menunggu peraturan pemerintah yang baru mengganti PP no 71 tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan sistem lahan gambut. Kita harus memperlihatkan komitmen dan keseriusan dalam menjaga kualitas lingkungan,’’ imbuhnya lagi.
Berdasarkan kandungan organiknya gambut terbagi atas beberapa klasifikasi, seperti tanah mineral dengan kandungan bahan organik antara 15-20 persen dan tanah organik dengan kandungan bahan organik antara 20-25 persen. Sementara berdasarkan faktor pembentuk gambut dikenal dengan istilah gambut topogen yaitu gambut yang terbuat dari hasil sisa-sisa dilapisan dasar cekungan. Gambut ini digunakan sebagai lahan pertanian dan perkebunan karena kandungan tanah yang tidak terlalu asam dan mengandung unsur hara.
Selain itu juga ada gambut ombrogen yaitu gambut yang berasal dari gambut topogen. Tetapi usianya lebih tua dari pada gambut topogen. Karena tanah ini yang terkena hujan secara terus menerus membuat tingkat keasaman tanah ini menjadi sangat tinggi sehingga tidak cocok untuk lahan pertanian dan perkebunan. Inilah mengapa tanah gambut belum tentu semuanya bisa digunakan. Kemudiamn gambut pegunungan yang merupakan lahan gambut yang terbuat dari sisa-sisa hasil tanaman di pegunungan.