Banjir Sehari Berbalas Asap Senegeri

Lingkungan | Minggu, 01 September 2013 - 09:20 WIB

Banjir Sehari Berbalas Asap Senegeri
Seorang pedagang menjual masker di pinggir Jalan Sudirman Pekanbaru. Foto: teguh prihatna/riau pos

Pekan lalu, di tengah kabut asap tipis masih melanda negeri, tiba-tiba saja hujan turun. Hujan yang tergolong sangat deras, bak ditumpahkan untuk menghapus semua api yang membakar lahan. Air menggenang di jalan raya hingga masuk ke rumah-rumah. Tapi kini, dampak hujan itu seakan tak bersisa. Kabut asap kembali menyelimuti negeri.

Laporan MUHAMMMAD AMIN, Pekanbaru

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Seorang penjual nasi goreng di Jalan Paus, Ramon (30) sedang melayani pelanggannya ketika tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan petir dan hujan yang melanda, Kamis (22/8) malam. Titik-titik bening itu turun makin deras dan akhirnya seakan tumpah ruah ke bumi. Dalam waktu dua setengah jam, Jalan Paus pun berubah menjadi seperti sungai. Tak seperti biasanya, ketika genangan hanya berada di beberapa titik, kini air ada di mana-mana. Hampir setengah panjang jalan ini tergenang air. Kendaraan berjalan dengan pelan, sehingga waktu jelang tengah malam itu menjadi cukup padat dengan kendaraan. Ketinggian air mencapai 20 hingga 30 cm.

“Ada juga sepeda motor yang mogok karena mesinnya terendam,” ujar Ramon kepada Riau Pos, Jumat (30/8). Dia menyebutkan, hujan malam Jumat lalu itu bukanlah hujan biasa. Sepanjang dia berjualan nasi goreng di Jalan Paus ini, dia belum pernah melihat naiknya air hingga seperti malam itu. Hal senada dialami Anis (50) warga Jalan Manggis. Sudah lama sekali kediamannya aman dari banjir. Tapi kali itu, rumahnya dimasuki air hingga kedalaman 10 cm. Malam itu, mereka terpaksa tak tidur hingga menunggu air surut. Selain Jalan Paus dan sekitarnya, beberapa titik banjir juga terjadi di Pekanbaru, melebihi dari biasanya, mulai kawasan simpang Soekarno-Hatta-Soebrantas, Jalan Arifin Ahmad hingga Jalan Sudirman.

Hujan Kamis malam itu memang tergolong ekstrem di tengah kabut asap yang masih melanda. Menurut catatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, curah hujan malam itu mencapai 117,5 mm. Curah hujan seperti ini merupakan rekor baru yang belum pernah terjadi sepanjang tahun 2013, bahkan dalam beberapa tahun terakhir.    

Sepanjang tahun 2013, kategori hujan lebat di Pekanbaru, yakni di atas 50 mm hanya terjadi empat kali, yakni yakni 15 Februari 76,6 mm, 17 Februari 69,9 mm, 29 Juli 74,5 mm dan terakhir Kamis 22 Agustus 117,2 mm. Curah hujan di atas 100 mm, yakni kategori sangat lebat sebenarnya sangat jarang terjadi, apalagi di saat Riau masih berkutat dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dalam catatan BMKG Pekanbaru, sejak tahun 1986 hujan di atas 100 mm hanya terjadi sekitar 40 kali. Rinciannya, tahun 1986-1990 empat kali, 1991-1995 tiga kali, 1996-2000 7 kali, 2001-2005 12 kali, dan tahun 2006-2010 13 kali. Sedangkan tahun 2011-2013 belum dihitung, karena masih berjalan. Di antaranya yang tercatat empat kali di tahun 2013.

“Kalau dilihat grafiknya, ada kecenderungan peningkatan,” ujar Kasi Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Pekanbaru, Slamet Riyadi kepada Riau Pos, Kamis (29/8).

Uniknya, peningkatan curah hujan ini berbanding sejajar dengan meningkatnya suhu di Pekanbaru dalam tiga dasawarsa terakhir. Dalam jarak pengukuran waktu sepuluh tahun, ternyata kenaikan suhu terjadi secara signifikan. Tahun 1980, suhu rata-rata mencapai 25,6 derajat celcius. Tahun 1990 meningkat menjadi rata-rata 26,2 derajat celcius. Tahun 2000 naik lagi menjadi 26,8 derajat celcius dan tahun 2010 menjadi 27,6 derajat celcius. Dengan demikian, dalam tiga puluh tahun terakhir, terjadi peningkatan suhu rata-rata sekitar 2 derajat celcius, menyebabkan Riau terasa makin panas dari hari ke hari.

Menurut Slamet, selain pengaruh pemanasan global, meningkatnya suhu di Pekanbaru dan Riau umumnya ini juga disebabkan oleh vegetasi yang jauh berkurang. Selain itu tentu saja penyebab pada umumnya, yakni banyaknya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer Riau. Penyebabnya bisa dari karbondioksida (CO2) antara lain pembakaran, gas metan (CH4) dari sampah atau pupuk, CFC (chloro fluoro carbon) misalnya pendingin udara (AC) atau kulkas.

“Faktor yang dominan peningkatan gas rumah kaca ini karbondioksida yang mencapai 57 persen. Jadi kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan CO2 ini tentu menambah efek gas rumah kaca di atmosfer. Ini tentu makin menambah sebab peningkatan panas,” ujarnya.

Disebutkannya, Riau secara umum saat ini masih dalam keadaan musim kemarau. Dengan demikian, memang terjadi anomali cuaca, ketika hujan turun dengan lebat. Akan tetapi fenomena ini dapat dijelaskan secara ilmiah. Dalam konteks daerah panas (heat island) di equator, dengan vegetasi yang kurang, ada uap air yang cukup, kelembaban mendukung di atmosfer dan terjadi pembentukan awan cumulus, maka hujan bisa turun.

“Ketika terjadi panas terik, tentu penguapan makin banyak. Jika kelembaban udaranya cukup, maka bisa terjadi hujan,” ujarnya.

Asap Selimuti Negeri

Setelah banjir cukup besar melanda Pekanbaru Kamis (22/8) lalu, tiba-tiba kabut tebal melanda negeri ini. Kabut asap ini mulai mengepung Riau, Selasa (27/8). Dalam pantauan satelit Terra/Aqua, terdapat 297 titik panas (hot spot) di Riau pada hari itu. Titik panas terbanyak ada di Pelalawan dengan 151 titik. Sedangkan di seluruh Sumatera terdapat 407 titik. Puncak titik panas terjadi sehari setelah itu, Rabu (28/8) yakni 575 titik api, 305 di antaranya ada di Pelalawan. Di Sumatera, terpantau 723 titik panas pada hari itu.

Angka titik panas itu begitu drastis karena sebelumnya pada Ahad dan Senin (25-26/8) tidak terdapat satu titik panas pun di Riau. Bahkan sepekan sebelum itu, hujan lebat yang menyebabkan banjir melanda Pekanbaru. Menurut Slamet, hujan yang melanda Riau sepekan sebelum kabut asap parah ini tak terjadi secara merata. Hujan lebat hanya terjadi di Pekanbaru dengan intensitas 117,2 mm. Adapun di daerah lainnya, kendati hujan juga turun, namun intensitasnya rendah. Di Bangkinang, misalnya pada hari itu hanya tercatat 0,7 mm, Koto Kampar 8,9 mm, Sedinginan 3,6 mm, Dumai 22,0 mm, Siak 32,2 mm, Selatpanjang 1,4 mm, Batang Cinaku 0,11 mm, dan Tembilahan 0,8 mm.

“Jadi ini penjelasan mengapa hujan lebat tempo hari tak berpengaruh lama pada kondisi tanah dan lahan. Bahkan kemudian diiringi dengan kebakaran hutan dan lahan,” ujar Slamet.

Kondisi udara dan langit Riau sejak Selasa (27/8) memang miris. Tingkat indeks standar pencemaran udara (ISPU) Pusat Pengelolaan Ekoregion Sumatera mencapai level 222 dengan kategori sangat tidak sehat. Kondisi ini hanya satu level di bawah kondisi berbahaya. Tapi itu sudah cukup untuk membuat peningkatan penderita infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) di Riau. Tercatat 144 kasus baru ISPA dalam dua hari terakhir di Pekanbaru. Adapun sejak kabut asap menyelimuti Riau sejak beberapa bulan lalu, menurut Kasi Kesehatan Lingkungan Diskes Riau, Dawani, sudah 24 ribu masyarakat yang terkena ISPA.

Akibat kondisi udara yang makin parah, sejak Kamis (29/8), sekolah-sekolah diliburkan di Pekanbaru. Namun libur ini hanya untuk murid PAUD, TK dan SD kelas I hingga kelas III. Alasan pihak Pemko Pekanbaru, seperti disampaikan Kabag Humas Setko Pekanbaru Ariesman Rozie, anak-anak ini lebih rentan terkena penyakit akibat kabut asap tebal. Adapun untuk siswa kelas IV SD ke atas, termasuk siswa SMP dan SMA, tetap masuk sekolah. Akan tetapi mereka diharuskan memakai masker.

Plt Kadisdik Riau Hadimiharja sejak hari itu juga mengimbau agar sekolah yang terkena dampak kabut asap menghentikan aktivitas di luar sekolah. Jika kondisinya membahayakan, Disdik kabupaten/kota dapat meliburkan siswanya. Hal ini sesuai rekomendasi dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau kepada Disdik. Selain Pekanbaru, beberapa kabupaten yang terkena dampak kabut asap juga meliburkan siswanya, di antaranya Pelalawan dan Siak.

Selain berdampak pada dunia pendidikan dan kesehatan, kabut asap juga berdampak pada sarana transportasi. Beberapa penerbangan, terutama di pagi hari Selasa (27/8) sempat delay. Jarak pandang di sekitar Bandara SSK II Pekanbaru hari itu sempat mencapai level terendah hanya 100 meter pada pukul 11.00 WIB. Jarak pandang rendah lainnya yang menyebabkan penerbangan delay juga terjadi pada pukul 8.00 WIB, yakni hanya 400 meter.

Dunia perairan Riau juga sempat diminta waspada akibat jarang pandang yang terbatas. Di Rokanhilir, aparatur setempat mengajak masyarakat, terutama nelayan untuk meningkatkan kewaspadaan ketika berlayar. Camat Pasirlimaukapas, Rohil, Muhammad Nasir secara khusus menyarankan nelayan waspada di pagi, petang dan malam hari ketika berlayar. Kondisi serupa terjadi di sejumlah kabupaten lainnya, yakni Bengkalis, Meranti dan Inhil yang juga terselimuti kabut asap.

Kondisi karhutla di Riau yang seakan tak berkesudahan, menurut Kepala Stasiun Meteorologi Pekanbaru, Ferry Sitorus terjadi karena tingkat kesadaran yang rendah dari semua stakeholders. Dengan kondisi cuaca yang sama, ujarnya memberi contoh, ketika pelaksanaan PON tahun lalu, Riau aman dari kabut asap. Semuanya terjadi karena perusahaan dan seluruh stakeholders diundang untuk mengatasi karhutla ini bersama.

“Akibatnya titik api nihil meskipun dengan kondisi panas yang relatif sama. Jadi kondisi asap itu memang bukan hal yang biasa. Ini pembakaran, bukan karhutla tak sengaja,” ujar Ferry.

Asap Berulang, Negara Dinilai Gagal

Kabut asap yang melanda Riau sudah terjadi berulang kali, dan seakan menjadi agenda tahunan tiada henti. Tahun 2013 ini, pemerintah bahkan sempat memberlakukan kondisi tanggap darurat pada 22 Juni hingga 10 Juli 2013. Sebanyak 2 ribu prajurit TNI pun diturunkan, membantu tim dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang turun dari Jakarta.

Kini, tanggap darurat sudah dicabut dan diganti masa pemulihan. Tapi, justru di masa pemulihan ini, titik panas makin besar, sebanyak 575 titik, terbesar selama tahun ini. Padahal sepanjang Juni 2013, titik panas terbanyak “hanya” 263 pada 24 Juni. Begitu juga sepanjang Juli, ketika titik panas terbanyak “hanya” 230 titik pada tanggal 21 Juli. Itulah masa-masa tanggap darurat yang membuat Jakarta sempat heboh. Kenapa justru sekarang, ketika titik panas mencapai puncaknya, Jakarta terkesan diam?

Satu hal yang membedakan kondisi asap di Riau ketika masa tanggap darurat itu adalah bahwa ada angin-angin “nakal” yang berhembus ke Malaysia dan Singapura. Negara-negara tetangga pun langsung menjerit. Telunjuk menuding ke Jakarta. Pemerintah menanggapi serius dengan langsung turun tangan dan berangkat ke Riau, mengerahkan semua potensi untuk memadamkan api, menetapkan tanggap darurat.

Fenomena ini ditanggapi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan, dalam konteks ini pemerintah terkesan hanya peduli ketika negara tetangga berteriak, bukan untuk menjawab kebutuhan rakyatnya. “Negara gagal menjamin rakyat untuk mendapatkan udara yang sehat. Negara lebih memerhatikan investasi, hubungan baik antarnegara dari pada rakyatnya,” sebut Riko kepada Riau Pos, Jumat (30/8).

Lebih lanjut dikatakannya, upaya tanggap darurat yang dilakukan pemerintah sudah cukup baik. Akan tetapi akar masalahnya seakan tak pernah diselesaikan. Persoalan kabut asap, lanjutnya, terjadi sejak tahun 1997 dan terus berlanjut hingga sekarang dari tahun ke tahun. Hal ini terjadi karena tata kelola kehutanan dan lahan yang tidak konsisten. Dia menyebut, karhutla di Riau banyak terjadi di lahan-lahan konsesi yang seharusnya terjaga dari kebakaran hutan dan lahan.

“Kami melihat tidak ada upaya yang serius dari pemerintah untuk memecahkan mitos permasalahan asap ini. Yang dilakukan seperti darurat asap tempo hari itu hanya hore-hore saja. Padahal yang terpenting itu pencegahan agar di masa mendatang tak terjadi lagi,” ujar Riko.

Hal senada diungkapkan Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Muslim. Menurut Muslim, karhutla di Riau kebanyakan terjadi di lahan-lahan konsesi dan lahan gambut. Kondisi ini aneh karena sebenarnya lahan gambut tidak mudah terbakar. Gambut adalah lahan dengan kadar air yang tinggi dan tidak dapat terbakar dalam kondisi sepanas apapun. Hal ini berbeda dengan lahan-lahan di negara sub tropis, yang bisa terbakar dengan sendirinya akibat cuaca panas. “Jadi jika ada gambut terbakar, maka patut diduga bahwa itu memang sengaja dibakar,” ujar Muslim.

Di masa lalu, ujarnya, para petani yang berusaha membuka lahan baru dengan membakar tak pernah sampai mengakibatkan kabut asap yang besar. Penyebabnya, lahan yang dibakar akan padam dengan sendirinya dalam waktu singkat. Sebab, gambut yang berair menyebabkan api tak dapat menyebar luas. Kondisi ini berbeda dengan sekarang karena perusahaan-perusahaan pemilik konsesi kini mengeringkan lahan-lahan gambut terlebih dahulu. “Setelah itu dengan mudah dapat dibakar,” ujar Muslim.

Jikalahari, ujarnya, menyesalkan adanya sementara akademisi yang merekomendasikan pengeringan gambut lalu membakarnya sebagai solusi untuk membuka lahan-lahan gambut di Riau. Sebenarnya ada cara yang direkomendasikan untuk membuka lahan gambut, yakni membiarkan elevasi air tanah paling kurang 20 cm dari permukaan tanah. Akan tetapi ini memerlukan biaya mahal. Solusi paling cepat adalah mengeringkan lahan gambut, lalu membakarnya.

Di Riau sempat juga ada wacana, pembolehan membakar lahan maksimal 2 hektare. Wacana ini bahkan sudah mengkristal dan akhirnya dibuat Perda. Akan tetapi Mendagri akhirnya membatalkan Perda ini karena dinilai bertentangan dengan prinsip zero burning yang ditetapkan pemerintah. Apalagi, pembakaran lahan kecil bisa berbahaya jika dilakukan banyak pihak, dengan skala besar pula.

Untuk menjaga agar kawasan hutan di Riau dapat terjaga dari karhutla, Muslim menyebut bahwa penegakan hukum harus dilaksanakan. Sejauh ini, Polda Riau sudah menetapkan 24 orang tersangka pembakar lahan. Akan tetapi semuanya merupakan warga setempat, berasal dari Bengkalis enam tersangka, Dumai dua tersangka, Rohil 11 tersangka, Siak 3 tersangka dan Pelalawan dua tersangka, seperti disampaikan Kadiv Humas Poldri Irjen Pol Ronny Franky.

Menurut Muslim, selain penegakan hukum yang adil kepada para pihak yang memerintahkan pembakaran lahan, yang terpenting juga adalah melakukan audit perizinan lahan. Dia meminta agar pemerintah kembali memperbaiki aturan tata guna lahan.

“Kawasan yang tak boleh dijadikan kebun, jangan dijadikan kebun. Apalagi jika masuk pula kawasan lindung dan konservasi,” ujarnya.

Kondisi yang telah terjadi selama ini, banyak kawasan hutan yang dibuka dan dijadikan perkebunan. Hingga saat ini, sejak tahun 1982 atau setelah 30 tahun berlalu, sudah 4,4 juta hektare hutan Riau yang hilang atau beralih fungsi. Selama 2009-2013 saja, atau lima tahun terakhir, Jikalahari mencatat hutan Riau yang telah hilang mencapai setengah juta hektare atau sekitar 188 ribu hektare pertahun.

“Ini harus kita hentikan karena akan terus mengundang bencana. Dalam jangka pendek mungkin bencana asap. Tapi jangka panjangnya, deforestasi menjadi faktor pendukung perubahan iklim yang parah dan ekstrem. Akan banyak bencana,” katanya.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook