Rekomendasi Diberhentikan, Azlaini Sebut Penzaliman

Kriminal | Sabtu, 30 November 2013 - 08:05 WIB

JAKARTA (RP) - Majelis Kehormatan (MK) Ombusdman RI (ORI) merekomendasikan pemberhentian secara tetap terhadap Wakil Ketua Ombudsman RI nonaktif, Azlaini Agus, terkait kasus dugaan penamparan staf PT Gapura Angkasa, Yana Novia, di Bandara SSK Pekanbaru, beberapa waktu lalu. Atas putusan ini, Azlani menilai sebagai penzaliman terhadap dirinya.

MK ORI dibentuk sejak 29 Oktober lalu. Setelah 30 hari bekerja akhirnya mengeluarkan rekomendasi yang akan diajukan ke Presiden RI.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Rekomendasi itu berdasarkan hasil kajian mendalam, mendengarkan para saksi serta fakta-fakta yang ditemukan.

MK Ombudsman RI beranggotakan Petrus Beda Peduli, Harkristuti Harkrisnowo, Zainal Alam Mochtar, Masdar F Mashudi dan Hendra Nurtjahjo.

‘’Majelis merekomendasikan sanksi berupa pemberhentian tetap kepada Azlaini Agus dan sanksi lainnya yang dimungkinkan. Ini berdasarkan ketentuan perundang-undangan sebagai akibat dari pemberhentian tetap ini,’’ ujar Ketua MK Ombudsman RI Masdar F Masudi dalam konferensi pers di kantor Ombudsman, Jumat (29/11).

Masdar menyatakan, majelis meyakini telah terjadi pemukulan yang dilakukan Azlaini terhadap Yana. Meskipun hingga saat ini Azlaini tidak mengakui pemukulan itu.

Namun menurut Masdar, kesaksian yang serasi dan tanpa perbedaan antara keterangan para saksi di bawah sumpah dengan bukti visum et repertum yang disampaikan dalam penjelasan Polresta Pekanbaru yang menyatakan telah terjadi pemukulan sulit terbantahkan.

Selain itu, adanya keinginan kuat dari keluarga dan kolega Azlaini untuk meminta maaf kepada Yana Novia dan keluarganya merupakan pengakuan tersembunyi, peristiwa itu benar terjadi.

Majelis juga meyakini telah dilontarkan serangkaian kata kasar berupa hardikan dan makian yang diucapkan oleh Azlaini terhadap beberapa orang yang ada di sekitar kejadian pemukulan terhadap Yana.

Hal ini berdasarkan atas keserasian dan ketiadaan perbedaan antara saksi-saksi yang menyampaikan keterangan di hadapan Majelis.

‘’Bahwa keyakinan Majelis ini tidak serta merta hanya berdasarkan keterangan-keterangan pada kejadian pemukulan dan kata-kata kasar tersebut. Namun atas dasar berbagai keterangan baik lisan maupun tulisan, yang menyatakan sikap temperamental Azlaini Agus selama ini terhadap sesama kolega, bawahan, pegawai di lingkungan Ombudsman, serta tempat-tempat yang dikunjungi oleh Azlaini Agus,’’ terang Masdar.

Dengan demikian, lanjut dia, majelis berkesimpulan telah terjadi pelanggaran nyata atas Kode Etik Insan Ombudsman dalam Peraturan Ombudsman Nomor: 7/2011 yang dalam hal ini Azlaini Agus juga turut merumuskan peraturan itu.

Azlaini telah melakukan pelanggaran atas Pasal 5 huruf c yang mengatur prinsip saling menghargai. Yakni kesejajaran dalam perlakuan, baik kepada masyarakat maupun antarsesama anggota atau staf Ombudsman serta bersikap rendah hati.

Selain itu, tindakan Azlaini juga melanggar prinsip keteladanan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 5 huruf e.

‘’Peristiwa atau tindakan tersebut telah merendahkan kewibawaan lembaga dan mencoreng reputasi kelembagaan Ombudsman RI. Sebagai seorang Wakil Ketua Ombudsman RI, sudah seharusnya mempertimbangkan bahwa setiap ucapan dan tingkah laku berdampak pada tanggung jawab moral secara institusional,’’ ungkap Masdar.

Karena itu, sebutnya, majelis meyakini tindakan Azlaini berupa pemukulan terhadap Yana dan makian kata-kata kasar terhadap beberapa orang telah memperlihatkan ketidakcakapan. Kemudian ketidakjujuran serta integritas moral yang rendah sehingga menimbulkan reputasi yang tidak baik.

Sehingga dalam pandangan majelis, Azlaini Agus telah kehilangan syarat penting sebagai anggota Ombudsman sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (2) huruf b, Undang-Undang Nomor 37/2008. Yaitu tentang Ombudsman Republik Indonesia.

‘’Karenanya dapat berakibat pada kehilangan kedudukannya sebagai anggota Ombudsman dan Wakil Ketua Ombudsman Republik Indonesia,’’ ulasnya.

Setelah Majelis Kehormatan menyampaikan rekomendasi pemberhentian tetap Azlaini Agus. Selanjutnya Ombudsman RI akan memberikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki kewenangan memberi sanksi kepada Azlaini.

‘’Dalam waktu dekat, mungkin Senin pekan depan, rekomendasi ini akan kami sampaikan kepada Presiden,’’ kata Ketua Ombudsman RI Danang Girindrawardana.

Azlaini: Ini Penzaliman Terhadap Diri Saya

Di bagian lain, Azlaini Agus menyatakan menolak pemberhentiannya secara tetap sebagaimana rekomendasi Majelis Kehormatan (MK) Ombudsman RI yang baru diketahuinya melalui media online.

‘’Kalau benar rekomendasi itu, saya menolak, tegas-tegas menolak. Baik hari ini maupun seterusnya, karena ini penzaliman terhadap diri saya,’’ kata Azlaini dalam konferensi pers di Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (29/11).

Azlaini menjelaskan alasannya menolak rekomendasi MK ORI karena proses hukum terkait tuduhan pelanggaran hukum berupa penamparan yang dia lakukan terhadap Yana Novia, staf Bandara SSK II Pekanbaru, masih berjalan.

Dikatakannya, MK ORI memang dibentuk dan bekerja berdasarkan Peraturan Ombudsman Nomor: 7/2011 tentang Kode Etik Insan Ombudsman. Namun dalam Undang-undang 37/2008 tentang Ombudsman RI, tidak diatur yang namanya Majelis Kehormatan.

Selain itu, MK ORI memang memang dapat menyimpulkan ada atau tidak pelanggaran kode etik. MK dapat menyampaikan rekomendasi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap atau permanen, dan sanksi administratif lainnya.

Namun soal sanksi, kata Azlaini, sesuai Pasal 12 Peraturan Ombudsman Nomor 7/2011 tersebut berbunyi ‘’Insan ombudsman diberhentikan sementara dari jabatannya apabila berstatus sebagai terdakwa, dalam tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih’’.

Kemudian, lanjutnya, ‘’Insan ombudsman diberhetikan secara tetap atau permanen bila terbukti melakukan tindak pidana yang telah diputus dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, atau inkrah’’.

‘’Sementara dalam kasus yang dilaporkan Yana Novia, sampai saat ini status saya sebagai saksi, dua kali pemanggilan oleh Polresta Pekanbaru sebagai saksi. Belum terdakwa apalagi terhukum,’’ tegas Azlaini didampingi salah satu pengacaranya Kapitra Ampera.

Karena itu, dirinya menilai rekomendasi MK ORI tersebut kebablasan dan tidak berdasar hukum. Apalagi sejak awal dirinya menolak adanya rapat pleno cacat hukum Ombudsman tanggal 29 Oktober 2013, yang membentuk adanya Majelis Kehormatan menyikapi kasus yang dia hadapi.

Penolakan itu sudah disampaikan Azlaini kepada pimpinan Ombudsman yang ditembuskan ke pimpinan Komisi II DPR dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasannya, dirinya sebagai wakil ketua sekaligus anggota tidak diundang dalam rapat pleno tersebut.

Mantan Anggota DPR RI itu menolak rekomendasi MK ORI itu karena seharusnya kalau jajaran Ombudsman RI menghormati proses hukum. Maka proses hukum itu harus dibiarkan berjalan.

‘’Lagipula, kalau memang terbukti bersalah, saya tidak perlu diberhentikan. Kalau inkrah, saya yang akan mengundurkan diri dari Ombudsman. Tapi sampai hari ini status saya sebagai saksi. Saya kira Ombudsman tidak bisa bekerja mendahului proses hukum yang ada,’’ tuturnya.

Pada kesempatan itu, Azlaini kembali memastikan bahwa peristiwa 27 Oktober 2013 di Bandara SSK II Pekanbaru, Riau itu, dirinya tidak pernah menampar staf bandara bernama Yana Novia. Yang terjadi dia hanya menunjuk staf bandara yang mengenakan jilbab, bukan Yana.

Untuk membuktikan itu Azlaini sudah meminta rekaman CCTV di Bandara SSK II yang bisa menggambarkan peristiwa itu, namun tidak pernah diberikan. Karena itu pula, Azlaini menyebut Yana Novia telah memberikan keterangan palsu dan mencemarkan nama baiknya hingga dilaporkan ke Polda Riau.

‘’Saat itu perempuan berjilbab itu memegang HT (Handy Talky) tapi tidak bisa memfasilitasi penumpang. Makanya saya laporkan dia (Yana Novia, red) ke Polda Riau,’’ sebutnya.

Sementara itu, tim pengacara Azlaini, Kapitra Ampera mengaku menemukan indikator yang sangat akurat bahwa kasus ini dijadikan pintu masuk oleh pimpinan dan internal Ombudsman RI untuk mempermasalahkan Azlaini.

‘’Ini adalah pintu masuk pimpinan Ombudsman untuk bantai Azlaini. Kejahatan yang didugakan terhadap Ibu Azlaini adalah penamparan, tapi perbuatan MK ORI dan pimpinan Ombudsman hari ini, itu lebih jahat dari yang dilakukan Ibu Azlaini, ini namanya meta criminality,’’ tegas Kapitra.

Menurutnya, kliennya masih berstatus saksi di kepolisian, artinya belum ada bukti yang kuat bahwa Azlaini melakukan kejahatan penamparan. Namun, Ombudsman melalui MK telah mengambil kesimpulan telah terjadi pelanggaran.

‘’Ini bukan wilayah Ombudsman tapi kepolisian. Sedangkan polisi belum temukan dua bukti yang cukup untuk tetapkan Bu Azlaini tersangka. Ini melampuai batas,’’ tegasnya.

Untuk itu, tim pengacara akan menunggu keputusan kongkrit dari rekomendasi MK atas Azlaini. Bila keputusannya nanti memberhentikan Azlaini secara tetap, Kapitra mengancam akan membawa perkara itu ke PTUN.

Kapitra mengatakan, selama ini kliennya dikenal tegas untuk membersihkan dan meluruskan institusi Ombudsman maupun institusi lain yang tidak aspiratif pada masyarakat. Termasuk sikap Azlaini yang tegas menolak adanya bantuan dana negara asing kepada Ombudsman.

‘’Karena itu kami berikan warning pada Ombudsman, kami siap membawa ke ranah hukum melakukan konstitusional review ke MK untuk membubarkan Ombudsman RI ini,’’ katanya.

Terkait upaya internal Ombudsman RI yang berupaya mengkaitkan persoalan hukum dengan sikap tegasnya selama bekerja di institusi itu, Azlaini tidak bisa memastikan. Namun ia tidak membantah bila selama ini dia selalu bersikap tegas dalam berbagai persoalan di internal ORI, termasuk menolak dana bantuan asing, seperti Australia.

‘’Saya tidak bisa memastikan, tapi saya lihat mungkin sikap saya yang tegas dalam berbagai persoalan banyak yang tidak suka termasuk di internal. Saya sejak di Komisi III DPR saya kira sudah tahu saya selalu bersikap keras, tegas dan disiplin, saya tidak pernah kompromi,’’ jawabnya.

Soal bantuan dana asing, Azlaini mengaku sangat selektif karena harus tahu apa maksud bantuan, apa bentuknya dan kalau uang berapa jumlahnya.

Hal inilah yang selalu menjadi perbedaan antara dirinya dengan komisioner Ombudsman lainnya. Contohnya bantuan pelatihan bagi staf Ombudsman dari Australia.

‘’Ini selalu menjadi perbedaan yang runcing dengan internal. Saya tidak bisa menafikan kita bisa terima bantuan dari siapapun, tapi harus jelas, selama saya di Ombudsman banyak sekali bantuan saya tidak tahu berapa, apa dasar pemberian bantuan. bentuk bantuan apa,’’ ujar Azlaini.(yud/fat)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook