Kekerasan Seksual Anak di Bawah Umur Meningkat

Kriminal | Selasa, 29 Januari 2019 - 11:20 WIB

BANGKINANG (RIAUPOS.CO) - Kasus kekerasahan seksual terhadap anak di bawah umur meningkat. Dalam satu bulan selama Januari ini saja, Polres Kampar telah mengamankan empat pelaku dengan berbagai kasus. Mulai dari sodomi hingga pencabulan hingga menyebabkan anak di bawah umur mengalami kehamilan. Terbaru, seoraang remaja putri berinisial D kembali menjadi korban tersangka YU alias AL (15) pada Ahad (27/1) di Kecamatan Tambang.

Seblumnya, rentetan kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ini dimulai dari kasus sodomi yang dilakukan tersangka MH (31) warga terhadap siswanya sendiri DN (15) di Tambang. Lalu seorang pemuda berinisial YG (18) ditangkap Polsek Kampar karena mencabuli korban MJ (16) dan juga melarikan HP-nya di Kecamatan Kampar. Kasus lainnya, RI alias IT (14) yang masih ingusan ditangkap karena telah mencabuli teman sekolahnya berisinial RZ (14) yang juga terjadi di Tambang.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Berbagai kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur, bahkan ada yang hamil ini, membuat sejumlah kalangan khawatir. Hal ini pula yang telah dulu dikhawatirkan Kajari Kampar Dwi Antoro. Dwi ketika baru bertugas di Kampar pada 2018 sudah mengkhawatirkan tingginya kasus kekerasan seksual sepanjang 2017 di daerah Kampar, atau sebelum dirinya bertugas di daerah ini.

Pada waktu itu, Dwi Antoro mengajak semua pihak bersama-sama mencarikan solusinya. Hanya saja, sepanjang 2017 lalu, kasus yang cukup dominan dipersidangkan di Kampar ini banyak terjadi di area terpencil seperti di perkebunan sawit. Namun, awal 2019 ini kasus-kasus kekerasan tersebut justru terjadi di pinggiran kota, di desa bahkan di dalam lingkungan sekolah.

‘’Kita punya Undang-undang (UU) Perlindungan Anak, UU No 35 Tahun 2014, hukumannya memang lebih berat. Baik itu dalam bentuk perbuatan cabul atau kekerasan fisik pada korban anak,’’ terangnya.

Dwi Antoro juga mengklasifikasi berbagai ancaman hukuman bagi pelaku secara spesifik. Seperti kalau kekerasan dilakukan di sekolah atau lingkungan sekolah atau oleh guru yang bersangkutan, maka diatur khusus pada Pasal 54. Kalau pelaku kekerasan terhadap anak di bawah umur ini juga dilakukan oleh anak di bawah umur, maka peradilannya juga spesifik.

‘’Kalau pelakunya anak maka ini ada aturannya. Itu nanti akan masuk pada UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Ini namanya proses disversi, nanti dalam penuntutan dan putusan dilakukan pendekatan restoratif sesuai pasal 5 ayat 1 UU SPPA itu. Hukum harus tetap jalan,’’ terang Dwi Antoro. Namun dirinya memastikan, tidak akan ada pelaku yang lolos bila memang benar terbukti bermasalah.(end)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook