BAGANSIAPI-API (RIAUPOS.CO) - Dua terdakwa illeggal fhising yang terjadi di perairan Rokan Hilir, yang bernama Kee Chin Woii alias Ahun dan Kee Ching Ha alias Ahak, yang sudah divonis Pengadilan Negeri Rokan Hilir, masing-masing 3 tahun 6 bulan dan 3 tahun penjara mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dan sekaligus Grasi ke Presiden RI.
Pada Senin (27/1) sekitar pukul 17.30 WIB di Pengadilan Negeri Rokan Hilir digelar sidang PK yang dipimpin oleh Hakim Ketua Wadji Pramono SH MH dengan anggota majelis Dewi Hesti Indria SH MH dan Andry Eswin SH MH dan Jaksa I Wayan Riana SH MH.
Sedangkan dua terdakwa yang saat ini menjalani masa tahanan di Lapas Pekanbari diwakili kuasa hukumnya HM Yusuf Daeng SH MH.
Usai persidangan kuasa hukum kedua terdakwa, HM Yusuf Daeng SH MH kepada wartawan mengatakan, kedua terdakwa saat ini sedang menjalani hukuman, sesuai putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (inckrah) yang diputuskan oleh hakim PN Rohil dengan No: 244/PID.SUS/2012/PN.RHL tanggal 13 Agustus 2013 lalu, dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan atas nama Ahun dan Ahak 3 tahun atas putusan Pengadilan Negeri Rohil No:245/PID.SUS/2012/PN RHL.
Dalam perkara ini Yusuf Daeng menilai ada yang menarik, makanya upaya hukum yang ditempuh yaitu Peninjauan Kembali (PK ) dengan novum, pertama, perjanjian antara negara Indonesia dan Malaysia yang dituangkan pada Momerandum of Understanding (MoU) yang disepakati oleh Indonesia dan Malaysia di Bali pada 27 Januari 2012.
Dikatakan Yusuf, dalam salah satu butir perjanjiannya menyebutkan, pada pasal 10 tentang penyelesaian sangketa.
Perbedaan dari perselisihan antara para pihak mengenai penafsiran dan/atau pelaksanaan dan/atau penerapan setiap ketentuan dari nota kesepahaman ini akan diselesaikan secara damai melalui konsultasi bersama dan/atau negoisasi antara para pihak melalui saluran diplomatik, tanpa refrensi ke pihak ketiga atau Pengadilan Internasional. Kedua, poto satelit wilayah zona perairan bebas (ZEE) lintas perairan kelautan antara negara Indonesia dan Malaysia.
Kasus ini terjadi di perbatasan perairan Rohil, Riau dengan Selat Malaka ditangkapnya 2 kapal nelayan Malaysia. Ini menurut Yusuf Daeng ada ketimpangan dalam penanganan kasusnya oleh pihak terkait, karena yang menangkap adalah Dinas Perikanan Rokan Hilir.
Di sisi lain yang menjadi saksi adalah internal Dinas Perikanan sendiri, maka dalam hukum terjadi konflik of interes of the law, artinya saksi ahli ini tidak obyektif dan tidak independen.
Sedangkan menurut Yusuf Daeng, untuk diajukan saksi ahli di Riau ini sangat sulit dicari. Misalnya pihaknya sudah menyurati Pol Air Polda Riau yang menyampaikan tidak ada ahli untuk itu.
Demikian juga Kepala Dinas Perikanan Provinsi Riau Prof Dr Irwan Effendi juga menjawab surat yang dilayangkan pihaknya, bahwa Dinas Perikanan Provinsi Riau tidak ada ahli untuk ini.
Tidak hanya sampai disitu, kata Yusuf Daeng, kemudian pihaknya menyampaikan surat ke Dinas Perhubungan Riau dan dijawab secara tertulis dengan jawaban yang sama, malah diarahkan ke Syahbandar Dumai.
‘’Kami juga mencoba menyampaikan ke Danlanal Dumai, juga dengan jawaban yang sama, dijawab kami tidak berkompeten untuk memberikan kesaksian,’’ ucap Yusuf menirukan ucapan Danlanual Dumai.
Ia juga menyebutkan, pihaknya juga diarahkan ke Belawan Medan dan TNI AL Jakarta. Jadi Yusuf Daeng menyimpulkan, bahwa zona batas laut Indonesian-Malaysia masih perlu dilakukan antar diplomatik tentang batas jalur Internasional.
‘’Makanya kami mengharapkan ke depan ini tidak terjadi lagi, baik pihak Indonesia yang jadi korban maupun pihak Malaysia, seperti pada kasus yang saat ini saya tangani,’’ harap Yusuf Daeng.
Sedangkan dalam persoalan yang dihadapi kleinnya itu, Yusuf Daeng mengharapkan agar PK dan grasi dapat diteruskan ke Makamah Agung dan dapat dikabulkan oleh Makamah Agung.
Demikian Grasi juga sangat diharapkan sampai ke Presiden RI agar ini menjadi kebijakan secara nasional maupun internasional.(ksm)