Laporan JPNN, Jakarta
PT Angkasa Pura saat ini sedang melakukan perombakan besar-besaran 25 bandara di Indonesia agar dapat mengakomodasi trafik lalu lintas udara yang terus bertambah. Untuk mendukung rencana itu, pemerintah telah berkomitmen menyediakan anggaran renovasi dan ekspansi bandara sebesar Rp32 triliun hingga 2025 nanti.
Wakil Menteri Perhubungan, Bambang Sosantono mengatakan, kebijakan itu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas bandara dalam mendukung perkembangan industri penerbangan yang tumbuh pesat. “Saat ini baru Rp4 triliun hingga Rp5 triliun yang terserap,” ujarnya Selasa (26/6).
Menurut dia, ada tiga hal yang patut dibenahi terkait manajemen lalu lintas udara. Pertama, pengadaan sistem yang lebih baik dan moderen terutama untuk bandara yang menjadi penghubung internasional. Kedua, perbaikan sumber daya manusia. Ketiga adalah penyempurnaan sistem keamanan. “Ketiga hal tersebut harus bisa dijalankan semuanya karena itu saling berkaitan. Dengan begitu, akan tercipta bandara-bandara yang memenuhi aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan,” sebutnya.
Pemerintah, lanjutnya, tengah menggodok pendirian Badan Penyedia Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (BPPNPI). Hal ini sekaligus memisahkan peran antara Angkasa Pura yang lebih fokus mengelola masalah kebandaraan dengan BPPNPI yang fokus mengelola lalu lintas penerbangan di udara. “Badan ini sangat penting untuk keamanan lalu lintas udara, terutama menekan angka kecelakaan akibat kurang maksimalnya pengaturan navigasi,” tambahnya.
Dia mengakui, penyelesaian ekspansi bandara memerlukan waktu yang tidak pendek. Sebab, selain tidak murah dari sisi pengadaan lahan dan pembangunan landasan pacu, pengembangan fasilitas bandara lainnya cukup kompleks. Pembangunan bandara harus memperhatikan keterkaitan dengan daerah di sekitar. “Jadi tidak semua daerah harus dibuatkan bandara. Kan, tidak mungkin kami bangun bandara di daerah yang demand-nya kurang,” tukasnya.
Dirjen Perhubungan Udara, Herry Bakti mengatakan, semua orang berhak membangun bandara. Hal itu sesuai Peraturan Pemerintah No 40/2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandara yang telah disahkan Presiden RI pada 5 Maret 2012. “Selama ini orang berpikir bandar udara itu hanya milik pemerintah. Ke depan, semua pihak seperti pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan swasta bisa membangun bandar udara. Namun harus dibuktikan bahwa dia mampu membangun dan menyelenggarakannya, jadi liberalisasi di bandar udara ini dapat dikembangkan,” sahutnya.
Pada PP itu diatur tentang ketentuan mengenai pembangunan dan pengembangan bandar udara, pendanaan, kerja sama pembangunan antara pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan Badan Hukum Indonesia, serta pelestarian lingkungan hidup di bandar udara. PP itu telah mengakomodasi komitmen terkait pembiayaan dalam pembangunan bandar udara. “Pemrakarsa dalam melaksanakan pembangunan bandar udara perlu membuat bukti kemampuan financial. Yaitu tanda bukti modal disetor untuk Badan Hukum Indonesia atau pernyataan kesanggupan untuk pembiayaan pembangunan bandar udara untuk pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD,” tegasnya.
Herry mengungkapkan, dalam pembangunan dan pengembangan bandar udara di Indonesia kiranya harus mengacu kepada rencana induk bandar udara. Lalu mempertimbangkan kebutuhan jasa angkutan udara, pengembangan pariwisata, pengembangan potensi daerah dan nasional, serta keterpaduan intermodal dan multimoda. Kemudian kepentingan nasional, keterpaduan jaringan rute angkutan udara, pelestarian lingkungan hidup bandar udara, serta memenuhi standar keselamatan dan keamanan penerbangan. “Perlu studi kelayakan. Jadi jangan hanya euforia ingin membangun bandara. Dalam feasible study nanti akan terlihat potensi daerahnya, apakah layak atau tidak dibangun bandara,” jelasnya.(wir/oki/sar)