Penundaan Putusan UU Pilpres Mengubah Paradigma Hakim MK

Kriminal | Sabtu, 25 Januari 2014 - 07:56 WIB

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Uji materi (judicial  review) terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang usai dibacakan hakim konstitusi telah merubah paradigma hakim konstitusi selama ini dalam mengambil keputusan. Pasalnya, putusan UU Pilpres tersebut tergolong unik karena tidak diberlakukan seketika, namun baru berlaku pada 2009.

      

Hal tersebut disampaikan oleh salah satu hakim konstitusi Harjono di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (24/1). "Ini jelas ada perubahan paradigma dari hakim-hakim. Kemudian ini dimungkinkan seperti itu apalagi ini menyangkut persoalan konstitusi dalam artian tiap bagian mengenai hubungan lembaga negara," kata Harjono kepada awak media.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

      

Harjono menjelaskan bahwa pada Maret 2013, sebenarnya hakim konstitusi memang telah mengambil keputusan terhadap permohonan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Sipil (AMS) untuk Pemilu Serentak. Namun, keputusan yang diambil hanya pada poin penyelenggaraan Pemilu serentak.

      

"Tapi hal-hal lain selain pemilu serentak belum diambil putusan. Tapi pengambilan putusan saat itu adalah diambil berdasarkan pendapat-pendapat hakim secara lisan," ujar Harjono.

      

Harjono juga menjelaskan, penyebab putusan UU Pilpres tersebut lama dibacakan adalah karena banyaknya agenda hakim konstitusi untuk pengucapan putusan sengketa Pilkada. Selain itu, adanya pergantian sejumlah hakim konstitusi juga dijadikan alasan atas keterlambatan tersebut.

      

"Kemudian ditambah dengan beberapa perubahan hakim. Sebelum perubahan dari Mahfud M.D. selesai, diganti oleh Akil Mochtar. Lalu Sodiki keluar digantikan Patrialis Akbar," terangnya.

      

Harjono melanjutkan, kendala pembacaan putusan UU Pilpres tersebut semakin bertambah dengan ditangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu. "Kita semua membuang energi untuk mempertahankan kredibilitas MK. Jadi terpaksa tertunda," ujarnya.

      

Dia melanjutkan, pada saat Akil dicokok KPK, draf putusan UU Pilpres tersebut masih berada dalam tanggung jawabnya. "Setelah kita berdiskusi, draf yang dipegang Akil harus dipindahkan ke hakim lain. Jadi akhirnya yang bertanggung jawab adalah Pak Hamdan (saat itu sebagai Wakil Ketua MK). Saat itu, kita mulai untuk membicarakan itu," terangnya.

      

Masalah belum selesai. Permasalahan baru timbul karena hakim konstitusi saat itu tinggal lima orang setelah ditinggal Akil, Mahfud, dan Ahmad Sodiki.

      

Harjono melanjutkan bahwa majelis hakim kemudian membicarakan batas ambang bawah dan atas pencalonan presiden (presidential treshold). Karena saat itu hakim tinggal enam, maka terjadilah perbedaan pendapat hakim dimana ada hakim menyatakan Pemilu memerlukan presidential treshold.

     

"Kalau ada dua pendapat sedangkan yang memberi suara enam, kalau tiga-tiga (tiga hakim setuju tiga hakim tidak) tidak mungkin diambil putusan. Kalau mau ditambah keluar, persolannya Pak Mahfud sudah nyapres. Dua hal itu berpengaruh pada kepentingan Pak Mahfud. Kalau diminta pertimbangan, apa tidak ada persoalan interestnya," beber Harjono.

      

Dia menyatakan bahwa MK memilih untuk menghindari hal tersebut. akhirnya diputuskan, dalam menyertakan pendapat, suara Hakim konstitusi Maria Farida Indrati dianggap tidak ada karena bersikap dissenting opinion (pendapat berbeda). "Itu baru clear," kata dia. (jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook