Tanpa Izin DPR, BBM Naik

Kriminal | Rabu, 24 Oktober 2012 - 08:01 WIB

JAKARTA (RP) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah mengesahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013.

Namun, masih ada hal yang menjadi kontroversi, yakni terkait dengan terbukanya peluang bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada 2013 nanti.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Menteri Keuangan, Agus Martowardojo mengakui, dalam Undang-undang APBN 2013 memang terdapat klausul yang memungkinkan pemerintah untuk menaikkan harga BBM jika terjadi perubahan pada asumsi makro.

“Itu ada dalam Pasal 8 Ayat 10,” ujarnya setelah mengikuti sidang paripurna di DPR, Selasa (23/10).

Berikut bunyi klausul tersebut : “Belanja subsidi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan untuk mengantisipasi deviasi realisasi asumsi makro, dan/atau perubahan parameter subsidi, berdasarkan kemampuan keuangan negara“.

Sebelumnya, dalam Pasal 8 ayat 1 dikatakan bahwa subsidi BBM, LPG, LGV pada 2013 ditetapkan sebesar Rp193,8 triliun. Sedangkan Pasal 8 ayat 2 menyebutkan bahwa subsidi listrik Rp80,94 triliun.

Adapun asumsi makro yang dimaksud dalam APBN 2013 adalah pertumbuhan ekonomi 6,8 persen, laju inflasi 4,9 persen, nilai tukar rupiah Rp9.300 per dolar AS (USD), tingkat suku bunga SPN 3 bulan 5 persen, harga Indonesia Crude Price (ICP) minyak 100 dolar AS per barel, lifting minyak 900 ribu barel per hari, lifting gas bumi 1.360 ribu barel atau setara minyak per hari, dan lifting minyak dan gas bumi 2.260 ribu barel per hari.

Artinya, jika realisasi parameter tidak sesuai dengan asumsi di atas, maka pemerintah punya kewenangan untuk menaikkan harga BBM untuk mengamankan keuangan negara.

Misalnya, ketika harga minyak mencapai 105 dolar AS per barel atau sudah di atas asumsi yang sebesar 100 dolar AS per barel, atau jika lifting minyak di bawah target, maka pemerintah berwenang menaikkan harga BBM.

Jika dicermati, klausul tersebut jauh lebih longgar dibandingkan dengan Pasal 7 Ayat 6a dalam UU APBN-P 2012 yang juga sama-sama memberikan opsi kewenangan bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM, namun dengan syarat yang lebih ketat dan spesifik.

Pasal tersebut berbunyi : “Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya“.

Menurut Agus Marto, Pasal 8 Ayat 1 UU APBN 2013 memang diperlukan agar pemerintah bisa lebih fleksibel dalam menjalankan APBN.

“Kalau ada kondisi yang tidak lazim, pemerintah harus bisa menyesuaikan harga (BBM),” katanya.

Dalam sidang paripurna kemarin, klausul tersebut sempat memicu protes dari Fraksi PDIP. Politikus PDIP, Aria Bima menilai, keberadaan pasal itu bisa saja digunakan pemerintah untuk sewaktu-waktu menaikkan harga BBM.

Namun, sebagian besar fraksi di DPR tidak mempersoalkan pasal tersebut.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis menegaskan, satu poin penting yang harus diingat adalah bahwa pemerintah memang memiliki kewenangan untuk menaikkan harga BBM jika angka-angka dalam asumsi makro meleset. “Tapi, kalau urusan kuota BBM (akan dinaikkan) harus dengan persetujuan DPR,” ujarnya.(owi/sar)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook