JAKARTA (RP) - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah sepakat untuk menaikkan tarif tenaga listrik (TTL) secara bertahap sebesar rata-rata 15 persen mulai tahun depan. Namun, ganjalan kini datang dari kalangan pengusaha.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, pihaknya sudah melakukan tiga kali rapat dengan asosiasi-asosiasi pengusaha membahas rencana kenaikan listrik. "Hasilnya, kami sepakat memprotes rencana kenaikan tarif listrik. Beberapa asosiasi juga mengatakan potensi pengurangan pegawai (pemutuhan hubungan kerja/PHK, Red)," ujarnya kepada Jawa Pos, Sabtu (22/9).
Menurut Sofjan, pengusaha tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif listrik karena sama sekali tidak diajak bicara dalam rencana tersebut, padahal tahun-tahun sebelumnya pengusaha selalu dilibatkan dalam rencana kenaikan tarif listrik. "Kami kaget, tahun ini tidak diajak bicara tapi tiba-tiba (tarif) mau dinaikkan," katanya.
Sofjan mengatakan, dampak kenaikan tarif listrik memang berbeda-beda bagi industri. Misalnya, untuk industri tekstil, porsi listrik terhadap biaya produksi sebesar 15 persen, adapun untuk industri garmen/produksi pakaian bisa sampai 25 persen dari biaya produksi. "Tapi, secara umum, kenaikan tarif listrik 15 persen akan membuat harga jual produk ke konsumen naik antara tiga sampai lima persen," jelasnya.
Menurut dia, kenaikan harga tersebut akan membuat daya saing produk-produk dalam negeri melemah. Apalagi, lanjut dia, pengusaha juga harus memperhitungkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun depan. "Ujung-ujungnya, produk kita akan kalah dengan barang-barang impor," ujarnya.
Sofjan juga menyoroti rencana kenaikan yang hanya akan dilakukan untuk pelanggan listrik dengan daya 1.300 volt ampere (VA) ke atas. Menurut dia, hal tersebut tidak adil karena harusnya harusnya semua pelanggan dikenai kenaikan, bukan dibebankan kepada pelanggan dengan daya besar.
Sebab, lanjut dia, masyarakat berpenghasilan rendah pun sebenarnya tidak akan terlalu terbebani dengan kenaikan tarif listrik 15 persen, karena konsumsi terbesar masyarakat golongan ini adalah belanja untuk pulsa, rokok, dan makanan. "Ini kan pemerintah ingin kebijakan populis, akibatnya pengusaha yang kena imbasnya," katanya.
Apa ada rencana mengajukan judicial review untuk memprotes kenaikan tarif listrik yang nanti akan masuk dalam UU APBN 2013? Menurut Sofyan, saat ini yang sudah menyatakan niat judicial review adalah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
"Kalau kami (Apindo) masih akan kaji dulu. Pekan depan, pemerintah mengajak kami bicara, setelah itu baru kami akan tentukan sikap," ujarnya.
Rencana pengusaha untuk mengajukan judicial review direspons Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Menurut dia, pengusaha mestinya tidak tergesa-gesa melakukan aksi judicial review untuk memprotes kebijakan pemerintah.
"Ini tidak sehat, jangan bikin tradisi mudah judicial review, kan bisa dibicarakan baik-baik," katanya.
Menurut Agus, pengusaha juga harus mengerti besarnya beban yang ditanggung pemerintah untuk menyubsidi listrik. Sebagai gambaran, tahun depan pemerintah mengalokasikan subsidi listrik Rp 80,9 triliun dengan asumsi kenaikan tarif listrik 15 persen. Jika tanpa kenaikan tarif, maka beban subsidi bakal mencapai Rp 93 triliun-Rp 100 triliun.
"Itu kan besar sekali, sementara di perbatasan masih banyak masyarakat kita yang belum menikmati listrik. Jadi, harusnya yang sudah menikmati listrik mengerti, sebagian subsidi akan kita alihkan untuk pembangunan infrastruktur," jelasnya. (owi)