JAKARTA (RP) - Berkaca pada penanganan kasus korupsi yang sudah-sudah, Ratu Atut Chosiyah tampaknya juga bakal tak lepas dari jeratan pencucian uang.
KPK memastikan akan menelusuri adanya dugaan pencucian uang yang dilakukan gubernur perempuan pertama di Indonesia tersebut.
KPK memang perlu menduga Ratu Atut melakukan tindak pidana pencucian uang. Salah satu dugaan itu indikasinya pada upaya penyembunyian aset Atut yang tidak masuk dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelengara Negara atau LHKPN.
Dalam daftar LHKPN KPK, Atut terakhir kali melaporkannya pada 2006. Kala itu harta Atut sudah mencapai Rp41,9 miliar.
Padahal menurut UU No 18 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN, LHKPN harus diperbarui saat mengalami promosi atau mutasi jabatan.
Atut tak melaporkan harta kekayaannya saat dia dilantik sebagai Gubernur untuk kali kedua pada 2012 lalu.
Peneliti ICW Ade Irawan menjelaskan KPK memang harus menelusuri dugaan pencucian uang yang dilakukan Atut. Sebab dari hasil penelusuran ICW ada sejumlah aset yang diduga sebagai bentuk-bentuk praktik pencucian uang.
‘’Ada beberapa kegiatan usaha maupun kepemilikan rumah, baik yang di dalam maupun di luar negeri yang perlu didalami KPK,’’ ujar Ade saat dihubungi JPNN, Rabu (8/12).
Atut juga sempat terlacak membeli sejumlah barang mewah di luar negeri, mulai dari pakaian hingga perabot rumah tangga.
Perusahaan-perusahaan yang menjalankan sejumlah proyek di Provinsi Banten juga bisa terindikasi bagian pencucian uang.
Menurut Ade dalam kajian ICW dalam kurun waktu tiga tahun, beberapa perusahaan yang dijalankan Dinasti Atut setidaknya mendapatkan 175 proyek. Nilainya mencapai Rp1,148 triliun.
Salah satu upaya pengungkapan TPPU Atut itu mestinya harus didahului dengan penahanan yang bersangkutan. Sebab jika tidak ditahan, dikhawatirkan terjadi penghilangan barang bukti dan upaya mengkonsolidasikan birokrasi dalam menutup akses pengungkapan kasus korupsi maupun pencucian uangnya.
‘’Oleh sebab itu Ratu Atut juga perlu segera dinonatifkan agar proses hukum dan jalannya pemerintahan tidak terganggu,’’ terangnya. Anehnya, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi bersikukuh tak akan menonaktifkan Atut hingga yang bersangkutan berstatus terdakwa. Gamawan berpatokan pada Sesuai UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Penelusuran praktik pencucian uang juga tidak hanya dialamatkan pada aliran uang ke keluarga Atut. Namun KPK juga perlu menelusuri adanya dugaan aliran uang dari Atut ke partainya. Apalagi mengingat Ratu Atut juga bukan kader biasa di Partai Golkar.
Tim Divisi Korupsi Politik ICW, Abdullah Dahlan mengatakan korupsi kader partai politik tidak berdiri sendiri. Oleh karena itu perlu ditelusuri adanya aliran dana ke partai atau tidak.
‘’Menjelang pemilu biasanya parpol melakukan konsolidasi mengalokasikan dana untuk pemenangan Pemilu,’’ ujarnya. Berbagai upaya kadang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut.
Apa yang diucapkan Abdullah memang masuk akal. Setidaknya hal itu berkaca pada kasus suap pengaturan kuota daging import yang melibatkan mantan Presiden PKS Lutfhi Hasan Ishaaq (LHI).
Ternyata LHI dan sahabatnya Ahmad Fathanah telah menyiapkan hitung-hitungan uang untuk pemenangan PKS, melalui pemanfaatan proyek-proyek di kementerian yang dijabat kader partai tersebut.
Hal itu terungkap dalam persidangan LHI dan Fathanah. Pernyataan itu disampaikan pengusaha Yudi Setiawan dengan berbagai bukti yang dimilikinya.
Terkait upaya menelusuri pencucian uang, Ketua KPK Abraham Samad menegaskan hal itu pasti dilakukan. Namun konsentrasi KPK saat ini masih mengungkap lebih dalam praktek korupsi yang dilakukan Dinasti Atut.
‘’Kami masih menelusuri lebih dalam praktik korupsinya,’’ ujarnya.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto juga sempat mengatakan lembaganya memang selalu berupaya menjerat pencucian uang pada pelaku korupsi.
Hal itu setidaknya sudah dibuktikan melalui penanganan perkara yang menjerat Djoko Susilo (korupsi simulator SIM), Lutfhi Hasan Ishaaq dan Fathanah (keduanya terdakwa suap pengaturan kuota daging impor).(gun/jpnn)