Pemerintah Perketat Perizinan Ritel Modern

Kriminal | Kamis, 19 Juli 2012 - 08:06 WIB

JAKARTA (RP) - Menjamurnya toko ritel modern di berbagai wilayah tak semuanya dinilai membawa dampak positif.

Karena itu, pemerintah saat ini tengah membahas revisi sejumlah pasal yang ada di dalam Peraturan Menteri Perdagangan No53/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Moderen.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Gunaryo mengatakan beberapa poin pada regulasi ritel tersebut yang kemungkinan besar bakal direvisi, pertama adalah mengenai poin realisasi konsep toko ritel moderen.

Akhir-akhir ini, realisasi konsep toko ritel moderen dinilai menyalahi konsep yang ada di regulasi.

“Memang sekarang ada kemajuan inovasi. Namun konsep toko ritel moderen menjadi bias. Misalnya, ada toko ritel moderen yang memadukan konsep restoran. Tentu menyalahi izinnya juga,” ungkap Gunaryo usai rapat implementasi lima tahun Permendag 53 Tahun 2008, Rabu (18/7).

Gunaryo menerangkan, saat ini terjadi fenomena dualisme konsep retail. Ritel yang memiliki definisi toko kelontong, rupanya kini mengalami perluasan ke bentuk lain, misalnya ke arah convenience store. Ada pula, riteler yang sengaja memiliki perluasan format ritel yang di dalamnya ada fungsi restoran.

Dalam hal ini, Gunaryo menegaskan adanya ketidakjelasan ‘jenis kelamin’ beberapa riteler besar di Indonesia.

“Kalau memang fenomena itu dipandang suatu inovasi, kini saya menawarkan perubahan konsep riteler. Misalnya, 80 persen harus barang-barang klontong. Lalu sisanya bisa barang yang menunjang lifestyle anak muda, atau kelompok anak moderen. Boleh inovasi, namun harus ada porsinya. Jangan sampai mendua (formatnya),” jelasnya.

Gunaryo menerangkan, perubahan poin definisi riteler itu pun mengusung semangat untuk memberikan kepastian hukum bagi investor.

Jangan sampai, investor yang akan menanamkan modalnya di sektor ritel, atau investor yang hendak melakukan ekspansi ritel tak mendapatkan kepastian usaha, dan perlindungan hukum.

“Kami sebenarnya tidak melakukan blocking lewat aturan, karena kami juga tidak menutup sama sekali inovasi yang sekarang sudah ada. Saya kira tren penggabungan format usaha ini masih berlangsung lebih lama, jadi harus kami atur,” paparnya.

Kedua, Gunaryo menyebutkan, aturan jarak antara toko ritel moderen dengan pasar tradisional sepertinya juga harus direvisi. Lantaran selama ini terjadi polemik terhadap dua segmen pasar yang berbeda itu.

Dia membeberkan, sejauh ini banyak Pemerintah Daerah (Pemda) yang belum membuat peraturan teknis sesuai dengan nafas dan yang diinginkan oleh Peraturan Presiden nomor 112 tahun 2007, tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional.

Kalaupun telah membuat peraturan teknisnya, daerah hanya melakukan copy paste, sehingga implementasi regulasi tidak pas.

Padahal, tipologi masing-masing kabupaten dan kota berbeda. Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang retail di satu kabupaten tidak bisa 100 persen diimplementasikan di daerah lain.

Misalnya saja, Perda mengenai ritel di Nganjuk Jatim tentu berbeda dengan yang diterapkan di Surabaya.

Lantaran itu, Gunaryo menerangkan, pelaku usaha mengatakan Perpres belum tegas mengatur detil tentang jarak tersebut.

Padahal, jelas Gunaryo, Perpres telah mengutamakan apa yang diprioritaskan. Misalnya, pendirian ritel moderen dilarang menggangu eksistensi pedagang tradisonal.(gal/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook