Ketua KPK: Tak Ada Hambatan Periksa Boediono

Kriminal | Senin, 18 November 2013 - 09:09 WIB

JAKARTA (RP) - Nama Wapres Boediono terus terdengar di pusaran kasus pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Meski belum jelas kapan mantan Gubernur BI itu dimintai keterangan penyidik, Ketua KPK Abraham Samad sudah sesumbar bisa memanggil Wapres.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Alasannya, saat perkara yang lebih dikenal dengan kasus Bank Century masih dalam tahap penyelidikan KPK pernah memanggil Boediono.

Saat itu, pemanggilan dan pemeriksaan sangat lancar. Pengalaman itulah yang menjadi patokan bagi Samad untuk memastikan tidak ada halangan apapun saat memanggil Boediono lagi.

Namun, saat ditanya apakah KPK sudah mengagendakan pemeriksaan pada ekonom tersebut, Samad tidak menjawab tegas. ‘’Belum. Jadi begini, siapapun akan dimintai keterangannya terkait kasus Bank Century. Sekali lagi, untuk melengkapi berkas perkara BM (Budi Mulya, red) masih akan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan,’’ katanya.

Begitu juga soal kemungkinan Boediono diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Budi Mulya yang ditahan sejak Jumat (15/11).

Samad memastikan tidak ada yang punya keistimewaan dan kekebalan di mata hukum. Secara tegas Samad mengatakan, tidak mempermasalahkan jabatan Boediono sebagai Wapres.

Selain soal Boediono, Abraham Samad juga mengirimkan kode. Entah ini berarti benar akan ada tersangka baru atau hanya jawaban normatif ketua KPK. Ia menyebut sedang memvalidasi data dan informasi terkait seseorang yang bisa dimintai pertanggung jawaban secara penuh. Tapi, dia enggan merinci soal itu.

Yang pasti, pria asal Makassar itu ingin menampik omongan yang menyebut adanya sosok kuat yang tidak ingin kasus itu dibuka lebar.

‘’Untuk menyimpulkan apakah si A, B, atau C kita perlu waktu untuk pendalaman. Saya pikir, persidangan Budi Mulya nanti akan terkuak siapa yang bertanggung jawab penuh,’’ imbuhnya.

Samad menolak saat diklarifikasi apakah nama-nama itu terkait Boediono, atau Sri Mulyani. Ia mengatakan kalau pihaknya masih mencari dua alat bukti. Caranya, tim masih melakukan pendalaman dan validasi terhadap berbagai dokumen.

‘’Supaya kita tidak salah menetapkan orang menjadi tersangka di kasus Century,’’ terangnya.

Terpisah, anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo yang juga hadir di peluncuran buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan bersama Samad mengaku pesimistis KPK akan memanggil Boediono. Setidaknya, untuk saat ini ketika Boediono masih menjabat sebagai Wapres.

Pemikiran itu muncul karena ada dugaan agenda setting yang disesuaikan dengan agenda politik. Kalau sidang Budi Mulya berlangsung Desember, Bambang memprediksi putusan akah keluar pada Februari atau Maret. Memang, vonis keluar sebelum Pileg dan Pilpres berlangsung.

Lebih lanjut ia menjelaskan, waktu itu akan berlarut kalau ternyata ada yang mengajukan banding. ‘’Itulah kenapa, bisa jadi nanti pemeriksaan Boediono saat sudah tidak lagi menjabat sebagai Wapres,’’ urainya.

Bambang menambahkan, posisi Boediono terancam kalau benar Budi Mulya ditahan karena terkait perkara FPJP dan bailout. Baginya, jalannya kasus akan menarik dewan gubernur yang lain lain termasuk Gubernur BI saat itu, Boediono. Keyakinan itu didasarkan pada Peraturan Bank Indonesia atau PBI.

‘’Kita lihat nanti apakah dakwaan yang disusun jaksa KPK berdasar fakta menyeluruh dari proses penyidikan hingga penyidikan. Termasuk apakah KPK secara menyeluruh akan menyentuh nama-nama penting di situ (dakwaan, red),’’ tuturnya.

Samad Kritik Polisi di Depan Kapolri

Sementara itu, peluncuran buku Hoegeng Polisi dan Menteri Teladan di Jakarta, Ahad (17/11), mempertemukan Kapolri Jenderal Sutarman dan Ketua KPK Abraham Samad di satu panggung.

Hal itu merupakan kemunculan pertama di muka publik setelah Sutarman dilantik menjadi Kapolri. Latar belakang hubungan keduanya menjadikan momen itu istimewa.

Sebelum memulai acara, semua narasumber yang hadir berfoto bersama. Tanpa canggung Sutarman dan Samad saling menggenggam erat tangan satu sama lain setelah diminta wartawan.

Senyum keduanya seolah mencairkan suasana tegang yang terjadi setahun sebelumnya. Yakni, saat Polri menghalangi upaya KPK menggeledah Korlantas kemudian disusul pengepungan terhadap kantor KPK oleh pasukan Polri. Kala itu, santer dikabarkan upaya tersebut atas sepengetahuan Sutarman. Kabar tersebut pun belakangan dibantah oleh Sutarman.

Selain Sutarman dan Samad, acara kemarin juga dihadiri oleh sejumlah tokoh. Di antaranya, mantan Wapres Jusuf Kalla (JK), anggota Kompolnas Adrianus Meiliala, aktivis antikoruposi Teten Masduki, dan anggota DPR Bambang Soesatyo.

Hadir pula Meriyati Roeslani atau Meriyati Hoegeng, istri mantan Kapolri almarhum Jenderal Hoegeng.

Selain momen antara Sutarman dan Samad, ada pula momen yang menggambarkan loyalitas Sutarman kepada korps, termasuk kepada senior. Saat bersalaman, Sutarman mencium tangan Meri setidaknya dua detik. Setelahnya, Sutarman menggenggam erat tangan perempuan 89 tahun itu sembari tersenyum.

Jenderal asal Sukoharjo itu mengaku tersentuh dengan kisah Hoegeng. ‘’Saya meneteskan air mata saat membaca buku ini,’’ ucapnya. Sutarman pun berjanji meneruskan inspirasi dari buku tersebut kepada seluruh jajarannya yang berjumlah sekitar 400 ribu personel itu.

Saat diskusi, Samad menitipkan pesan kepada Sutarman untuk lebih tegas menindak bawahannya yang bandel. Sebab, masih dijumpai praktik suap di tubuh kepolisian.

Dia menemui sendiri banyak polisi yang baik, namun terpaksa menyimpang. ‘’Mereka bilang nurani mau jadi polisi baik, namun susah kalau ditarget atasan untuk setor setiap bulan,’’ ujarnya.

Samad juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap joke tiga polisi jujur: polisi Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur. Menurut dia, polisi baik bukan hanya Hoegeng. Masih banyak yang tidak terekspos. ‘’Tapi, jangan tempatkan mereka di bagian diklat. Tempatkan di penindakan, jadi mereka bisa menindak yang salah,’’ lanjutnya.

Sementara itu, sang penulis, Suhartono, mengatakan jika dia ingin menggambarkan sisi lain seorang Hoegeng. Mantan kapolri tidak hanya seorang polisi, melainkan juga birokrat ulung. ‘’Meski ditunjuk sebagai menteri, Hoegeng tetap tidak berubah sikap dan prinsip hidupnya sebagai Bhayangkara sejati,’’ terangnya.

Buku itu lahir dari penuturan Soedharto Martopoespito, sekretaris Hoegeng saat dia menjabat sebagai Menteri/Kepala Sekretaris Presidium Kabinet (Sekaran Seskab) Dwikora III. Karenanya, buku tersebut lebih banyak bercerita soal Hoegeng sebagai birokrat. Berbeda dengan dua buku yang terbit sebelumnya, menceritakan Hoegeng sebagai polisi.(dim/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook