Opsi Harga Premium Naik

Kriminal | Jumat, 17 Februari 2012 - 06:08 WIB

Laporan JPNN, Jakarta

 Pemerintah tengah menjajaki berbagai opsi pengendalian BBM bersubsidi. Diantara opsi-opsi yang mengemuka, konversi BBM ke Gas dinilai tidak menarik bagi masyarakat.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

‘’Ada beberapa opsi yang sudah terbentuk, di antaranya konversi ke gas, kemudian pengalihan ke pertamax dari yang subsidi, kedua opsi tersebut tidak menarik bagi rakyat ,’’ ujar Menteri ESDM Jero Wacik dalam keterangan persnya, Kamis (16/2).

Itu sebabnya diperlukan opsi lain lagi yaitu, dengan menaikkan harga jual premium. Namun, penentuan opsi-opsi untuk mengendalikan konsumsi BBM Bersubsidi agar tepat volume dan sasaran masih memerlukan persetujuan DPR RI.  Sebab, BBM menyangkut hajat hidup orang banyak.

‘’Untuk menentukan langkah pengendalian pemerintah harus berkonsultasi lebih dahulu dengan DPR. Tidak boleh pemerintah berjalan sendiri tanpa persetujuan DPR,’’ ujarnya.

Konsumsi BBM meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. UU APBN 2012 mengamanatkan Pemerintah untuk melakukan pembatasan BBM Bersubsidi secara bertahap dan Pemerintah tetap berkomitmen untuk menjalankan amanah UU APBN 2012 tersebut. Pada ayat 6 UU tersebut dinyatakan, Pemerintah tidak boleh menaikkan BBM karena itu jika opsi yang dipilih adalah kenaikan harga BBM maka harus dilakukan perubahan UU APBN.

Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Didik J Rachbini menilai, konsumsi BBM kendaraan pribadi menyentuh angka 11 juta kilo liter. Sehingga menghabiskan sekitar Rp45-50 triliun setahun. Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah menyebabkan pemborosan fiskal karena subsidi yang salah arah.

Dirinya mendorong pemerintah segera mengajukan rancangan perubahan APBN dengan mengutamakan pola kebijakan pengendalian subsidi secara matang dan sejumlah asumsi makro lain. Apalagi, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan berada di kisaran 6,1 persen, jauh lebih kecil dibandingkan asumsi pemerintah sebesar 6,7 persen.(esy/izl)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook