KPK Dalami Potensi TPPU di Kasus Akil

Kriminal | Selasa, 15 Oktober 2013 - 10:10 WIB

JAKARTA (RP) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menjadikan Akil Mochtar tersangka tindak pidana korupsi.

Kemudian belum ada keputusan apapun soal penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait perkara Akil.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Demikian disampaikan Jubir KPK Johan Budi SP, Senin (14/10). Soal desakan banyak pihak agar KPK menerapkan pasal TPPU kepada Akil juga tidak bisa dikabulkan begitu saja. Semua tergantung pada temuan penyidik saat ini. Kalau benar ada bukti, bukan tidak mungkin Akil dijerat TPPU. ‘’Masih didalami. Sampai Jumat kemarin belum diputuskan,’’ jelasnya.   

Dorongan agar menerapkan pasal TPPU bukan tanpa sebab. Selain uang Rp4 miliar (Rp3 miliar dari sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan), ada pembelian mobil mewah yang dilakukan Akil.

Mencurigakan karena Hamdan Zoelfan, salah satu hakim MK mengatakan sulit dengan gaji hakim membeli mobil mewah.

Lantas, saat KPK juga menemukan fakta baru saat menyita tiga mobil Akil yakni Mercedes Benz S-350, Audi Q5, dan Toyota Crown Athlete. Akil ternyata menggunakan nama Daryono untuk pembelian mobil Mercy. Sebelumnya, salah satu sekretaris MK juga menyebut kerap diberi uang Akil untuk dimasukkan ke rekening Akil sendiri.

Dugaan lain, adalah sebuah perusahaan bernama Ratu Samagat di Pontianak, Kalimantan yang digunakan Akil untuk mencuci uang. Kabarnya, banyak uang masuk tetapi tidak ada pengeluaran untuk operasional perusahaan.

Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mendukung KPK untuk menerapkan TPPU pada Akil. Alasannya, sudah ada gelagat dilakukannya pencucian uang.

Yakni, menggunakan rekening dan aset yang mengatasnamakan anak buah, dan perusahaan keluarga. Menurutnya, unsur mengalihkan, menyamarkan, dan menyembunyikan harta terpenuhi.

‘’Kami PPATK mendorong KPK melakukan penyidikan dan penuntutan secara kumulatif Tipikor dan TPPU,’’ jelasnya. Kalau diterapkan dan terbukti, negara berkesempatan untuk merampas harta tersebut. Diharapkan cara tersebut bisa membuat koruptor jera.

Airin Ingin Kasus Cepat Selesai

Sementara itu, Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany kembali menjenguk suaminya, Tubagus Chaery Wardhana (Wawan) di Rutan KPK.

Dia tidak sendiri, datang bersama kakaknya. Namun, sama seperti sebelumnya, dia tidak mau banyak bicara soal kasus yang menyeret suaminya. Airin hanya ingin semuanya cepat selesai.

Airin datang di gedung KPK sekitar pukul 10.00 WIB dengan baju berwarna cokelat. Dia sempat kaget saat mengetahui banyak wartawan yang tetap masuk kerja meski KPK libur karena cuti bersama. ‘’Lho, kalian tidak pulang kampung?,’’ tanya Airin.

Setelah itu, Wali Kota kelahiran Banjar, 28 Agustus 1976 tersebut tidak menghiraukan pertanyaan wartawan. Dia memilih untuk jalan terus menuju lobi KPK dan meminta ijin menjenguk.

Airin hanya mengucapkan selamat Hari Raya Idul Adha dan menuju ruang tahanan yang terletak di basement.

Kunjungan tersebut dilakukan Airin karena hari ini tidak bisa merayakan Idul Adha bareng dengan Wawan. Keduanya bertemu hanya dalam waktu dua jam. Saat jam kunjungan berakhir pukul 12.00 WIB, Airin enggan menjelaskan soal kasus hukum.

Termasuk, darimana uang Rp1 miliar yang diamankan KPK dari tersangka Susi Tur Andhayani. Seperti diketahui, uang tersebut oleh KPK disebut-sebut akan diberikan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Namun, sebelum paket diterima Akil sudah terlanjur ditangkap tim KPK.

Dia mengaku hanya memberikan dukungan kepada suaminya agar semua permasalahan selesai. ‘’Alhamdulillah, ini hari kedua saya bertemu degan bapak, dan bapak baik. Harapan kami, mudah-mudahan bisa melalui ini semua, dan kasusnya bisa cepat selesai. Sudah ya, makasih,’’ kata Airin.

MA Keberatan Tanggung Tugas MK

Mahkamah Agung (MA) menyatakan keberatannya apabila wewenang dan tugas Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) sampai beralih kembali ke tangan MA.

Pernyataan MA tersebut terkait dengan maraknya isu pengembalian peran MK kepada MA setelah Ketua MK nonaktif M Akil Mochtar tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.

Kepala Biro (Kabiro) Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan bahwa keberatan tersebut beralasan karena selama ini MA sudah memiliki beban tugas yang besar.

‘’Sangat membebani dan ketika dulu MK meminta untuk mengambil kewenangan itu, kita langsung menyerahkan. MA sudah banyak sekali yurisdiksinya, baik perkara umum dan perkara khusus,’’ kata Ridwan ketika dihubungi JPNN, Senin (14/10).

Ridwan bahkan meminta MK untuk memahami bahwa peristiwa tertangkapnya Akil terkait kasus suap sidang sengketa Pilkada Gunung Mas dan Lebak, bukti bahwa tugas tersebut memang sangat berat.

‘’Dan sekarang tentunya menjadi tanggung jawab MK untuk memahami betapa berat dan sulitnya tanggung jawab itu,’’ ujar Ridwan.

Sementara itu, Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho mengatakan bahwa pelimpahan kembali kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa Pilkada ke MA hanya memunculkan masalah yang baru. Menurutnya, MA sebelumnya telah terbukti melakukan banyak pelanggaran dalam penanganan sengketa Pilkada.  

‘’Banyak hakim agung yang terlibat kasus suap, di antaranya kasus suap Hakim Agung Yahya Harahap, kasusnya Harini Wiyoso dan 5 hakim agung menyuap Ketua MA Bagir Manan saat itu, lalu suap senilai Rp23,45 miliar kepada 5 hakim agung dalam menangani kasus sengketa Pilkada Maluku Utara pada 2008,’’ papar Emerson.

Berdasarkan pertimbangan demikian, Emerson lalu menyampaikan beberapa rekomendasi ke MK, salah satunya adalah meminta penyelesaian sengketa Pilkada tetap berada di tangan MK.

‘’Rekomendasi kami adalah penyelesaian sengketa Pilkada tetap berada di tangan MK, perbaikan fungsi rekuitmen dan pengawasan hakim konstitusi, dan bersihkan MK dari korupsi,’’ kata Emerson.

Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Veri Junaidi. Veri mengungkapkan bahwa saat ini MA telah kelebihan beban dalam menyelesaikan perkara pengadilan di seluruh Indonesia.

Dia menyebutkan bahwa hingga 2012, perkara pengadilan yang berada di MA mencapai 381.443 kasus. ‘’Bayangkan, di peradilan umum tingkat pertama saja sudah mencapai 284.334. belum lagi ditambah tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali (PK),’’ ujar Veri.

Selain itu Veri menambahkan bahwa dirinya setuju apabila penyelesaian sengketa Pilkada tetap berada di MK. Alasannya, dia mengatakan bahwa lebih mudah mengawasi perilaku hakim konstitusi yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada mengawasi hakim MA yang jumlahnya hingga puluhan.

‘’Kita lebih mudah mengawasi 9 hakim konstitusi di MK daripada mengawasi hakim agung di MA yang jumlahnya puluhan, belum lagi mengawasi pengadilan yang ada di seluruh Indonesia,’’ imbuhnya.(dod/dim/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook