JAKARTA (RP) - Upaya pengetatan pemberian remisi terhadap para koruptor dinilai masih belum maksimal. Anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat pesimis pengetatan bisa dilakukan dengan baik selama belum ada pemahaman yang sama dalam politik hukum Indonesia. Bisa-bisa, koruptor menjadi anak emas dari tindak pidana.
Saat dihubungi Jawa Pos, Martin menilai gejala tidak ada sepemahaman itu terlihat dari mulai digoyangnya kewenangan KPK. Contohnya, soal penyadapan yang kini coba diganggu dengan membuat antirasuah itu harus melengkapi serangkaian izin. Kalau perlu, KPK tidak boleh melakukan penyadapan.
"Politik hukum kita dalam rangka melawan koruptor itu bagaimana sebenarnya? KPK saja sudah dilawan," kata politisi asal Partai Gerindra itu.
Pelemahan terhadap KPK, menurut Martin sama saja dengan melawan pemberantasan korupsi. Padahal, dulu UU untuk KPK diciptakan supaya efektif dalam melawan koruptor.
Agar politik hukum itu satu pandangan, dia menyebut bola ada di tangan Presiden SBY. Sebagai pemimpin negara, presiden bisa mengajak para pimpinan partai politik dan DPR untuk duduk bersama. "Perlu menentukan arah politik untuk melawan korupsi itu seperti apa," jelasnya.
Kalau tidak, isi kepala para anggota DPR termasuk Komisi III yang membidangi masalah hukum tidak akan sejalan. Sebab, sikap Komisi III atau anggota DPR tergantung pada kebijakan atau pimpinan partai. Selama tidak ada sepemahaman, tidak akan pernah ada UU yang kuat untuk memberantas korupsi.
Termasuk usulan MenkumHAM Amir Syamsuddin yang meminta agar masyarakat tidak mengeluhkan soal remisi kepada kementerian tetapi juga ke pembuat UU. Semua akan jadi sia-sia kalau semangat memberantas korupsi antar partai politik tidak sama. "Kita coba itu, siapa tahu berhasil. DPR hanya perpanjangan tangan dari partai," jelasnya.
Seperti diberitakan MenkumHAM Amir Syamsuddin menyadari adanya aspirasi masyarakat yang anti terhadap remisi pada koruptor. Namun, pemerintah baru bisa mewujudkan degan pengetatan remisi melalui PP 99/2012. Dia berharap agar pemerintah tidak dijadikan satu-satunya tempat untuk menampung aspirasi pengetatan ampunan pada narapidana.
"Harusnya ada harmonisasi (antara PP dan UU), tapi itu tergantung konfiurasi politik yang ada juga," jelasnya. Menurutnya, perlu juga disampaikan ke pembuat UU supaya dibuatkan aturan yang keras. Apalagi, PP menurut Amir tidak sekuat UU.
Wakil Ketua KPK Busyro Muqaddas menilai tidak ada sisi positif dalam pemberian remisi ke koruptor. Malah, dia menyebut kalau pemerintah tidak peka terhadap fenomena koruptor yang layak disandingkan dengan predator rakyat. Apalagi, lemahnya hukuman pada koruptor membuat perilaku menyimpang itu terus regenerasi.
Malah, dia menyebut sudah saatnya ada hukuman tambahan bagi maling uang negara. Terutama, sanksi sosial supaya mereka malu telah berbuat curang terhadap negara. Seperti membersihkan saluran pembuangan air dengan seragam tahanan.
"Tidak ada lagi ruang nalar dan nurani yang bisa ditoleransikan kepada kriminalis pemiskin rakyat itu," terang Busyro. (dim/jpnn)