PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Pelaksanaan sidang lanjutan dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad (AA) Riau, diundur. Meski begitu, tiga dokter yang terseret dalam perkara rasuah itu, berharap majelis hakim pengabulkan permohonan pengalihan status penahanan menjadi tahanan kota.
Penasihat hukum dari tiga dokter, Firdaus Ajis mengakui, jadwal diagendakan pada Selasa (8/1) diundur. Hal ini diketahuinya dari jaksa penuntut umum (JPU). Dari infomasi itu, katanya, penundaan pelaksanaan sidang atas permintaan majelis hakim.
“Sidang diundur besok (hari ini, red). Kita tahunya pengunduran jadwal itu dari jaksa,” ungkap Firdaus Ajis.
Kendati diundur, Firdaus menyebutkan, pihaknya tetap akan menyampaikan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan JPU. Diyakininya, eksepsi tersebut telah selesai dan siap untuk dibacakan. Pada persidangan itu, ditambahnya, akan diputuskan permohonan pengalihan status penahanan para dokter yakni, dr Kuswan Ambar Pamungkas SpBP-RE, dr Weli Zulfikar SpB(K)KL dan drg Masrial SpBM Fird. Di mana permohonan itu, telah diajukan pada sidang sebelumnya.
Tak hanya tiga dokter, seorang pesakitan lainnya turut mengajukan permohonan yang sama. Ia bernama Yuni Efrianti yang merupakan Direktur dari CV Prima Mustika Raya (PMR). Sedangkan, terhadap terdakwa Mukhlis selaku staf dari CV PMR tida mengajukan eksepsi dan permohonan pengalihan status penahanan.
“Kita berharap, permohonan yang diajukan bisa dikabulkan. Ini semata-mata alasan kemanusiaan, karena para dokter ini merupakan dokter spesialis di bidangnya yang memiliki pasien yang sudah terjadwal. Apalagi sudah ada jaminan dari dari pihak keluarga dan organisasi profesi kedokteran,” pintanya.
Semetara itu, Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Pekanbaru, Yuriza Antoni tak menampik, ada penundaan jadwal sidang dugaan korupsi pengadaan alkes di RSUD AA. Dikatakannya, pelaksanaan sidang bakal digelar, Rabu (8/1).
“Sidangnya besok (hari ini, red) digelar. Penundaan ini atas permintaan majelis hakim,” imbuh Yuriza.
Sebelumnya, dalam dakwaan JPU dinyatakan perbuatan para tersakwa terjadi pada tahun 2012 hingga 2013 silam dengan cara membuat formulir instruksi pemberian obat (FIPO) dengan mencantumkan harga yang tidak sesuai dengan harga pembelian sebenarnya dalam pengadaan alat kesehatan spesialistik Pelayanan Bedah Sentral di RSUD AA Riau.
Dalam pembelian itu, pesanan dan faktur dari CV PMR disetujui instansi farmasi. Selanjutnya dimasukkan ke bagian verifikasi untuk dievaluasi dan bukti diambil Direktris CV PMR, Yuni Efrianti Selanjutnya dimasukkan ke Bagian Keuangan.
Setelah disetujui pencairan, bagian keuangan memberi cek pembayaran pada Yuni Efrianti. Pencairan dilakukan Bank BRI, Jalan Arifin Achmad. Setelah itu, Yuni Efrianti melakukan perincian untuk pembayaran tiga dokter setelah dipotong fee 5 persen.
Pembayaran dilakukan kepada dokter dengan dititipkan melalui staf SMF Bedah, saksi Firdaus. Tindakan terdakwa melanggar peraturan pemerintah tentang pengelolaan keuangan daerah.
Menurut JPU, CV PMR diketahui bukan menjual atau distributor alat kesehatan spesialistik yang digunakan ketiga dokter. Kenyataannya, alat tersebut dibeli langsung oleh dokter bersangkutan ke distributor masing-masing.
Alat kesehatan juga tidak pernah diserahkan CV PMR kepada panitia penerima barang dan bagian penyimpanan barang di RSUD AA Riau sebagaimana ketentuan dalam prosedur tetap pengadaan dan pembayaran obat, gas medis dan alat kesehatan pakai habis BLUD AA Riau.
Selama 2013 dan 2013, Direktur CV PMR dibantu stafnya Muklis telah menerbitkan 189 faktur alat kesehatan spesialistik. Harga alat kesehatan yang tercantum dalam faktur berbeda-beda dengan harga pembelian yang dilakukan terdakwa dr Welly Zulfikar, dr Kuswan Ambar Pamungkas dan drg Masrial.
Dari audit penghitungan kerugian keuangan negara ditemukan adanya kerugian negara sebesar Rp420.205.222. Jumlah itu diterima oleh CV PMR dan tiga dokter dengan jumlah berbeda.
Perinciannya adalah CV PMR sebesar Rp66.709.841. Sementara selisih harga alat kesehatan atau mark up harga yang diterima oleh ketiga dokter adalah dr Welly Zulfikar sebesar Rp213.181.975, dr Kuswan Ambar Pamungkas Rp8.596.076 dan dr Masrizal Rp131.717.303.
Akibat perbuatan itu, para terdakwa dijerat dengan pasal 2 ayat (1) jo pasal 3, jo Pasal 18 ayat (1) b Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 KUHP.(rir)