PADANG (RP) - Operasi tangkap tangan dilakukan KPK terhadap Ketua MK Akil Mochtar, memicu reaksi pihak-pihak yang pernah bersengketa pilkada, yang kasusnya disidangkan di MK dengan hakim yang diketuai Akil.
Di antaranya pasangan Calon Wali Kota Sawahlunto Fauzi Hasan-Deri Asta dengan kuasa hukum Syamsurdi Nofrizal. Lalu Sudi Prayitno, pengacara yang telah kenyang mendampingi kliennya dalam kasus sengketa pilkada kabupaten dan kota se-Sumbar di MK.
Syafrizal, mantan Calon Bupati Pesisir Selatan yang kini menjabat Kepala Biro Pemerintahan Setprov Sumbar, juga memiliki cerita selama mengikuti sidang yang dipimpin Akil Mochtar.
Selama bersidang di MK, mantan politisi Partai Golkar itu hampir selalu menjadi hakim panel dalam kasus sengketa pilkada di Sumbar. Karena itu, mereka memiliki pandangan masing-masing terhadap sosok Akil Mochtar.
Dari pengalaman, mereka mengaku tidak pernah bertemu langsung dengan para hakim panel MK. Apalagi, sampai menawarkan uang suap kepada salah satu pihak. Hanya saja, Fauzi Hasan-Deri Asta yang menggugat cawako-cawawako Sawahlunto terpilih Juni 2013 lalu menilai Akil Mochtar terkesan diskriminasi dalam menyidangkan perkaranya.
Syamsurdi Nofrizal yang menjadi kuasa hukum Fauzi Hasan-Deri Asta, menyebut diskriminasi itu berupa tidak memberikan kesempatan sama antara pemohon dengan termohon dalam persidangan.
“Waktu pemeriksaan saksi, saksi kita lima orang, tapi yang diperiksa hanya empat orang saja,” kata Syamsurdi kepada Padang Ekspres (Riau Pos Group), kemarin.
Karena itu, dia menyambut baik rencana KPK menelusuri sejumlah kasus sengketa pilkada di Indonesia yang ditangani Akil Mochtar.
Sudi Prayitno juga hampir tak percaya kabar penangkapan Akil terlilit kasus dugaan suap sengketa pilkada. Menurut Sudi, tak ada yang janggal dari diri Akil, selama dirinya beberapa kali mendampingi kliennya bersidang di MK. Seperti gugatan Bupati Pasaman Barat dan Bupati Dharmasraya tahun 2010 lalu, Bupati Mentawai tahun 2011 dan Wali Kota Padangpanjang tahun 2013. Rata-rata sidang tersebut dipimpin Akil Mochtar.
“Memang tak ada hal-hal yang menjurus pada penyalahgunaan wewenang oleh hakim, apalagi Akil. Makanya saya terkejut dan tidak percaya Akil seperti itu,” terangnya.
Sudi menegaskan tak pernah sekalipun ditawari Akil maupun orang terdekat Akil dalam kasus yang didampinginya. “Saya selama ini yakin MK itu steril. Dan saya selama ini fokus dengan kerja saya melayani klien saya,” paparnya.
Sudi menganggap hakim konstitusi itu sempurna sebagai wakil Tuhan dan tidak menduga Akil terlibat suap. “Ke ruangan Akil saja, dikawal sekuriti. Begitu ketatnya pengawalan terhadap hakim MK. Makanya saya hampir tak percaya kalau Akil terlibat suap,” paparnya.
Namun demikian, Sudi tak bisa menafikan jika semua orang bisa saja berubah dan semua hal bisa saja terjadi di luar dugaan. “Karena mereka bukan malaikat,” imbuhnya.
Meski demikian, Sudi mengaku ada beberapa pertimbangan hakim konstitusi yang menurutnya tidak dilakukan secara teliti, sehingga salah satu pihak merasa dirugikan.
Dia mencontohkan saat mendampingi sengketa pilkada di Dharmasraya tahun 2010 lalu. “Kami selaku termohon sama-sama mengajukan eksepsi dengan pihak terkait. Tapi yang dikabulkan hanya pihak terkait, yang kami tidak,” ujarnya.
Di samping itu, ada yang tidak sinkron antara pertimbangan hakim dengan putusannya. “Dalam putusannya, terkesan main cepat saja. Tidak dijelaskan apa alasannya argumen yang kita sampaikan tidak terbukti. Mestinya kan dijelaskan dulu. Tapi itu tidak dilakukan. Akhirnya tiba pada kesimpulan gugatan kita ditolak. Memang, tidak sepenuhnya keputusan MK itu sempurna dan harus diperbaiki,” ujarnya.
Menurutnya, praktik suap Akil bisa saja dilakukan hakim konstitusi lainnya. Karena itu, dia setuju dengan desakan berbagai pihak agar KPK juga memeriksa hakim konstitusi yang lain.
Bagaimana pula pengalaman Syafrizal? Mantan Wabup Pessel ini mengaku pernah memiliki pengalamanan kurang mengenakkan saat bersidang di MK. Saat melakukan gugatan hasil Pilkada Pessel 2010 lalu, ia pernah diminta untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 2 sampai Rp 5 miliar.
Dengan pembayaran uang tersebut, dia dijanjikan bisa memenangi sengketa pilkada. Karena tak punya uang, ia tak menggubris tawaran itu. Hingga akhirnya, dia pun harus legowo menerima kekalahan dalam Pilkada Pessel.
“Kala itu, saya melihat calo berseliweran di MK. Bahkan tak segan-segan meminta uang Rp 3 sampai Rp 5 miliar kepada penggugat,” ujar Syafrizal kepada Padang Ekspres, kemarin.
Tawaran untuk memenangkan pilkada itu, diakui Syafrizal memang menggiurkan. “Karena tak punya uang dan tak ada sponsor pengusaha yang membekingi pencalonan saya sebagai kepala daerah di masa itu. Saya tak bisa memenuhi permintaan makelar-makelar kasus itu. Modus para makelar itu, langsung menemui para penggugat dan tergugat yang sedang bersengketa di MK,” tegasnya.
“Tiap sebentar makelar tersebut berusaha memenuhi pembayaran uang pelicin. Kala itu, saya berkeyakinan jika pilkada di enam kecamatan saja diulang, saya yakin bisa memenangkan pilkada,” ujarnya.
Meski begitu, saat diputuskan kalah oleh MK, Syafrizal percaya dengan hakim-hakim MK sebagai keputusan wakil Tuhan yang tak bisa diubah. Syafrizal menuturkan, modus para makelar kasus itu tak hanya saat sengketa pilkada. Dalam sengketa pemilu legislatif pun kadang minta Rp100 sampai Rp 150 juta untuk mendapatkan surat dari MK yang menyatakan tidak ada gugatan yang masuk ke MK terkait hasil pemilihan umum (pemilu). (bis/ayu/rpg)