ISPO, Jaminan Industri CPO

Kriminal | Minggu, 08 Juli 2012 - 07:46 WIB

ISPO, Jaminan Industri CPO
Kolam raksasa limbah cair dari industri Kelapa sawit PT Musimas yang berada di Kabupaten Pelalawan, sudah dimanfaatkan sebagai biogas dan mampu menghasilkan energi listrik. (Foto: desriandi chandra/riau pos)

Laporan DESRIANDI CANDRA Pekanbaru

Isu Crude Palm Oil (CPO) yang dihasilkan Indonesia, masih saja diterpa isu tidak ramah lingkungan yang dari  pasar internasional. Terutama dari kalangan pesaing negara-negara penghasil minyak nabati lainnya. Mereka melemparkan isu itu agar pasaran CPO Indonesia anjlok dan tidak laku dipasaran. Tapi kondisi ini jelas berbeda dengan kondisi pengelolaan CPO Indonesia dan sistem pembudidayaan tanaman kelapa sawit. Ini menyusul dikeluarkannya kebijakan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) oleh pemerintah.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pemerintah, melalui Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011, tanggal 29 Maret 2011, telah mengeluarkan Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil). Peraturan ini resmi dicanangkan untuk diterapkan di perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tanggal 30 Maret 2011 pada acara Semarak 100 Tahun Sawit di Tiara Convention Center, Medan, Sumatera Utara. Dalam Permentan ini, paling lambat tanggal 31 Desember 2014 perusahaan perkebunan kelapa sawit harus sudah melaksanakan usaha sesuai Permentan Nomor 19/2011. Perusahaan perkebunan kelapa sawit kelas I, kelas II, kelas III berdasarkan hasil Penilaian Usaha Perkebunan (Permentan Nomor 07/2009) dapat mengajukan permohonan sertifikat ISPO.

Mempertimbangkan masalah-masalah besar yang membebani pembangunan ekonomi nasional, termasuk untuk meningkatkan produksi hasil-hasil pertanian yang selama ini harus diimpor seperti jagung, kedelai dan ternak serta mengurangi ketergantungan bahan baku industri perkayuan yang selama ini berasal dari hasil hutan yang berdampak terhadap terjadinya perusakan lingkungan, maka seluruh potensi dan peluang yang tersedia pada proses penyelenggaraan pengembangan perkebunan kelapa sawit perlu diupayakan terencana pemanfaatannya.

Pembangunan perkebunan berkelanjutan harus memenuhi tiga kriteria yaitu layak ekonomi, layak sosial dan ramah lingkungan. Pembangunan perkebunan yang ramah lingkungan, yaitu kewajiban bagi pelaku usaha perkebunan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan serta pengelolaan dan pemanfaatan limbah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Aspek pengelolaan dan pemantauan lingkungan, misalnya adalah kewajiban pengelola kebun yang memiliki pabrik, memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah), memiliki izin pemanfaatan limbah cair dari instansi berwenang bagi yang melakukan land application (LA), memiliki izin dari Pemerintah Daerah untuk pembuangan limbah cair ke badan air, memiliki izin dari KLH untuk pabrik yang membuang limbah cairnya ke laut.

Sementara untuk industri perkebunan yang melakukan land application mereka wajib memantau limbah cair, kualitas tanah dan kualitas air tanah sesuai ketentuan yang berlaku, melaporkan per-triwulan hasil pemantauan air limbah yang dilakukan setiap bulan, melakukan pengukuran air tanah, sumur pantau setiap enam bulan sekali dan pengukuran kualitas tanah satu tahun sekali, melaporkan kualitas udara emisi dari semua sumber emisi dan ambient setiap enam bulan sekali kepada Pemerintah Daerah dengan tembusan ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

“Ini ketentuan yang harus diikuti pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang ada di tanah air, termasuk Riau sebagai Provinsi penghasil terbesar,” ungkap Kepala Dinas Perkebunan Riau, Drs H Zulher MS didampingi Darmayulis SP MSi, ditemui Riau Pos, Rabu (4/7) pekan ini.

Untuk industri perkebunan yang tidak melakukan land application wajib memantau limbah cair setiap bulan dan melaporkan per-triwulan sekali hasil pemantauan limbah cair, per enam bulan emisi udara dan ambient pada Pemerintah Daerah dengan tembusan KLH. Sementara untuk pengelola Limbah B3 di pabrik harus melakukan hal-hal sebagai berikut, melaporkan 3 bulan sekali pengelolaan limbah B3 di industri perkebunan, mengirimkan jenis limbah B3 yang dihasilkan ke pihak ketiga yang berizin, membuat logbook atau neraca (catatan keluar masuk limbah) untuk limbah B3 yang dihasilkan, dikelola lanjut dan yang tersimpan di TPS limbah bahan beracun dan berbahaya lB3, melaporkan neraca LB3 dan manifest pengiriman secara berkala setiap 3 bulan sekali kepada KNLH dan tembusan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten.

Kewajiban terkait analisa dampak lingkungan AMDAL, UKL dan UPL, memiliki dokumen AMDAL bagi pelaku usaha perkebunan yang mengelola lahan 3.000 Ha, memiliki dokumen UKL/UPL bagi pelaku usaha perkebunan yang mengelola lahan 3.000 Ha, pelaku usaha perkebunan sebelum melakukan usahanya wajib membuat dokumen lingkungan (AMDAL, UKL/UPL), pelaku usaha perkebunan yang telah beroperasi wajib menerapkan hasil AMDAL, UKL/UPL, melaporkan hasil pemantauan dan pengelolaan lingkungan secara rutin kepada instansi yang berwenang.

Pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang harus dipenuhi, tersedia Instruksi Kerja/SOP (Standard Operational Prosedure) pencegahan dan penanggulangan kebakaran, tersedia SDM yang mampu mencegah dan menangani kebakaran, tersedia sarana dan prasarana pengendalian/penanggulan kebakaran, memiliki organisasi dan sistem tanggap darurat, melakukan pelatihan penanggulangan kebakaran secara priodik, melakukan pemantauan dan pencegahan kebakaran serta melaporkan hasilnya secara berkala (minimal 6 bulan sekali) kepada gubernur, bupati/wali kota dan Instansi terkait, melakukan penanggulangan bila terjadi kebakaran.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook