Hakim Diminta Bebaskan Terdakwa Bioremediasi

Kriminal | Senin, 06 Mei 2013 - 18:40 WIB

JAKARTA (RP) - Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Chandra Motik, menyayangkan dakwaan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, Endah Rumbiyati (Alumni UI) dalam kasus dugaan korupsi bioremediasi PT CPI.

Dia menyatakan dari rentang waktu yang didakwakan kepada Endah itu adalah 2006-2011. Menurutnya, pada saat itu Endah tengah bertugas di Amerika Serikat dan baru pada Juni 2011 ditunjuk menjadi Manajer Lingkungan PT CPI.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

"Bagaimana bisa seseorang yang sedang bertugas di Amerika Serikat dituduhkan melakukan korupsi untuk tahun 2006-Februari 2012," kata Chandra, saat menyampaikan dukungan untuk para terdakwa kasus dugaan korupsi Bioremediasi PT CPI di Jakarta, Senin (6/5).

Ia menyatakan, tidak ada kaitannya Endah untuk melakukan hal yang terkait dengan bioremediasi. Karenanya, kata dia, para pengurus alumni dari IPB, UI, ITB memberikan dukungan agar para terdakwa dibebaskan.

Para terdakwa dalam kasus Bioremediasi PT CPI adalah Direktur Utama PT Green Planet Indonesia, Ricksy Prematuri (alumni IPB),  karyawan dari PT CPI Endah Rubiyanti (alumni UI) Direktur PT Sumigita Jaya Herlan serta dua lainnya, Widodo dan Kukuh Kertasari (alumni ITB).

Dalam pernyataan bersama alumni ITB, UI, IPB yang dibacakan Juru Bicara alumni ITB, Odjat Sujatnika, menyatakan ILUNI UI sudah memonitor kasus Endah Rumbi sejak awal. Dari pemeriksaan ILUNI UI, menurut dia, Rumbi baru diangkat menjadi Manajer Lingkungan di CPI pada Juni 2011. Sebelum itu, ia menegaskan, Rumbi bertugas di AS. Karenanya, kata dia, dengan dakwaan jaksa bahwa peristiwa korupsi dilakukan pada 2006-Februari 2012 menjadi tanda tanya besar.

"Bagaimana seorang karyawan yang tidak memiliki kewenangan besar bisa melakukan korusi di Indonesia dengan posisinya dia di Amerika? Dia tidak mengikuti tender," katanya di kesempatan sama.

"Tanpa memerlukan persidangan yang berbiaya besar pun, seharusnya jaksa dari awal mampu melihat ketidakmungkinan korupsi terjadi di sini," ujar dia.

Untuk terdakwa Ricksy, ia menambahkan, sejak awal penyidikan hingga persidangan, alumni IPB memantau bahwa Ricksy, merupakan vendor yang mengikuti tender sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.

"Tuduhan bahwa proyek bioremediasi adalah fiktif adalah tuduhan yang sumir atau mengada-ada," jelas dia.

Menurutnya, Ricksy benar telah melakukan pekerjaan di lapangan baik teknis maupun administrasi. Hal itu, ia menyatakan, terbukti terang benderang di fakta persidangan dan dapat mudah dicek pada dokumentasi yang ada.

"Jika hal itu dianggap suatu pekerjaan yang dianggap seharusnya tidak perlu, kami mencermati bawa tuduhan itu berdasar penilaian dari saksi ahli kejaksaan yang justru integritas pribadinya sangat dipertanyakan," kata Odjat.

Selain itu, lanjut dia, yang disampaikan pihak yang mengaku ahli itu pun ternyata melanggar kaidah-kaidah sehingga hasilnay tak valid.

Padahal, kata dia, jaksa mendasarkan dakwaan dan tuntutannya terhadap Ricksy, pada kesaksian orang-orang yang mengaku ahli. "Yang sangat diragukan dan tidak dikenal di kalangan ahli bioremediasi," jelasnya.

Bahkan, kata dia lagi, berdasarkan alat bukti berupa sampel tanah yang diambil orang yang mengaku ahli itu dengan metode yang salah.

Teknik pengambilan, lokasi yang salah serta waktu tunggu sampel melebihi waktu yang dipersyaratkan serta diuji di laboratorium dadakan Kejaksaan Agung yang tidak terakreditasi.

"Serta dilakukan oleh orang yang sama yang mengaku ahli bioremediasi tersebut. Padahal, seharusnya dilakukan oleh orang yang kompeten menguji sampel tanah terkontaminasi minyak bumi," paparnya.

Menurutnya pula, alumni IPB menyesalkan Ricksy, tak mendapat kesempatan cukup melakukan pembelaan di persidangan, untuk membuktikan telah bekerja dengan benar. "Bahwa dia (Ricksy) bukanlah bekerja fiktif," tegasnya.

Terkait tuduhan kepad Ricksy bahwa perusahaannya tidak memiliki izin pengolahan B3, kata dia, di persidangan sudah disebutkan dari Kementerian Lingkungan Hidup bawa izin itu diberikan kepada Chevron. "Tidak masala Chevron menunjuk pihak lain menjalankan tugasnya," paparnya lagi.

Dalam persyaratan tender, ia menambahkan, hal itu juga tidak ada, sehingga Ricksy tidak mengakali proses tender. "Jaksa seharusnya memerkarakan PT Chevron dan Kementerian LH terlebih dahulu, sebelum memerkarakan Ricksy. Karena Ricksy bekerja hanya atas dasar perintah dari Chevron dan dikontrol oleh Kementerian LH," imbuhnya.

Ia menegaskan, adalah suatu loncatan logika, ketika pihak yang bertanggungjawab belum dinyatakan bersalah. "Tapi, pihak lain dianggap bersalah atas kebijakan yang tidak dia buat," katanya.

Dengan mencermati perkembangan itulah, ikatan alumni ITB, UI, IPB, berharap pengadilan dapat berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir. Tegasnya, pengadilan bukan tempat menghukum seseorang, tapi untuk mendapat keadilan. Dengan carut marutnya situasi ini, pihaknya mendorong akim berani mengambil keputusan hakiki bukan sekedar formalitas persidangan. "Kami mendorong agar hakim berani memutus bebas, ketika seseorang benar-benar tidak bersalah," ungkap Odjat. (boy/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook