PEKANBARU (RIAUPOS.CO)-Yulwiriati Moesa dimintai keterangan pada sidang lanjutan dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad (AA) Riau, Senin (4/3) malam. Dalam kesaksiannya, Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Riau mengaku, pengadaan alkes tersebut tidak bermasalah.
Yulwiriati dihadirkan sebagai saksi untuk lima terdakwa yakni dr Kuswan Ambar Pamungkas, SpBP-RE, dr Weli Zulfikar SpB(K)KL dan drg Masrial SpBM, Direktris CV Prima Mustika Raya (PMR) Yuni Efrianti, dan seorang stafnya, Mukhlis, bukan tanpa alasan. Mengingat ketika perkara rasuah itu terjadi, yang bersangkutan menduduki jabatan Direktur Utama RSUD AA Riau.
Di hadapan majelis hakim yang diketuai Saut Maruli Tua Pasaribu di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Yulwiriati mengatakan pengadaan alkes dilakukan oleh CV PMR. Penunjukan rekanan dilakukan pejabat pengadaan pada Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pada RSUD AA Riau.
“Saya tahunya penyedia itu CV PMR. Saya ada menandatangani kuitansi setuju bayar yang sudah diverifikasi dari PPTK, pejabat pengadaan, farmasi dan lain-lainnya. Itu terkait alkes spesialistik,” ungkap Yulwiriati.
Disampaikan perempuan yang mengenakan jilbab warna kuning dan baju batik, dirinya tidak pernah bertemu dengan pihak rekanan. Selain itu, dia juga mengaku, tidak tahu bagaimana CV menyiapkan alkes untuk RSUD AA.
“Saya tidak pernah bertemu dengan Direktur CV PMR, Yuni Efrianti.
Saya tahu CV PMR setelah tanda tangan pencairan. Saya tahunya sampai sekarang, CV PMR yang menyiapkan. Di luar itu saya tidak tahu siapa sebenarnya yang menyiapkan,” paparnya.
Penganggaran alkes spesialistik tersebut, dikatakan Yulwiriati, berdasarkan kebutuhan pasien. Namun ia mengaku, tidak pernah mendapat laporan mengenai pengadaan alkes tersebut.
Mendengar pernyataan dari mantan Dirut RSUD AA Riau itu, Firdaus Ajis selaku penasihat hukum tiga dokter menyebutkan, alkes yang menjadi permasalahan tersebut adalah milik kliennya.
“Alat-alat itu milik dokter, bukan disediakan oleh CV PMR,” terang Firdaus Ajis.
Akan tetapi, Yulwiriati membantahnya. Dia menyebutkan, pengadaan alkes pada 2012-2013 itu dilakukan oleh CV PMR. “Saya tahunya alat-alat itu disediakan oleh CV PMR,” katanya.
Lalu, Firdaus kembali melayangkan pertanyaan kepada Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Riau mengenai dari mana mengetahui alkes itu disediakan oleh PMR. Mengingat yang bersangkutan tidak pernah menerima laporan pengadaan alat tersebut.
“Saya mempercayai dokumen-dokumen yang sudah ditandatangani oleh pejabat pengadaan,” timpa Yulwiriati.
Ditambahkan Yulwiriati, dalam pengadaan alkes pada 2012-2013 tidak ada permasalahan. “Tidak ada temuan,” ujarnya.
Namun, perkataan itu dibantah terdakwa, dr Weli Zulfikar. Dijelaskannya, para dokter pernah mogok melakukan tindakan operasi pada 2013 lalu. Kondisi lantaran, alkes yang diminta oleh dokter tidak disediakan oleh pihak rumah sakit.
“Saat itu saksi Yulwiriati mengatakan, tolong dipinjamkan alat-alat milik dokter. Ini bantahan saya yang mulia, mengenai kata saksi yang tidak ada masalah,” tegas Welly.
Kemudian, hakim ketua Saut Maruli Tua Pasaribu mengambil alih jalannya persidangan. Dia menanyakan, kepada Yulwiriati apakah pada 2013 pernah dokter mogok melakukan tindakan operasi.
“Tidak ada masalah. Seingat saya tidak mogok. Tidak pernah. Tidak ingat,” terang mantan Dirut RSUD AA.
Atas jawaban itu, hakim ketua mempertanyakan kinerja Yulwiriati selama menjabat sebagai pimpinan di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau itu.
“Saksi ini banyak tidak tahunya. Masa seorang direktur tidak mendapat laporan dari bawahannya terkait masalah ini. Dokter-dokter ini mengatakan ada masalah pada 2013.
Tetapi ibu mengatakan tidak ada masalah. Bagaimana tanggapan ibu,” tanya Saut.
“Untuk alat sudah ada vendornya, itu CV PMR. Saya tahunya tidak ada masalah. Karena saya tahunya penyedia itu PMR,” terang Yulwiriati Moesa.
Setelah mendengarkan keterangan Yulwiriati Moesa, majelis hakim kemudian menutup persidangan, dan akan dilanjutkan pada pekan depan. Usai persidangan, Yulwiriati enggan menjawab pernyataan yang layangkan kepadanya. Tadi kan udah dengar,” singkatnya.
Sementara itu, Firdaus Ajis mengakui, ada perbedaan keterangan yang disampaikan Yulwiriati Moesa dengan keterangan saksi lainnya, dan para terdakwa. “Kalau ada perbedaan satu saksi dengan banyak saksi, itu akan menjadi pertimbangan majelis (hakim) nantinya,” sebut Firdaus.
Dijelaskannya, hal itu merupakan hak saksi. Nanti akan menjadi kesimpulan pihaknya dan dimasukkan ke dalam nota pembelaan atau pledoi.
“Boleh saja dia bertahan di situ, tidak ada masalah. Ini nanti kita masukkan ke dalam kesimpulan bahwa ada keterangan berbeda antara keterangan dia dengan saksi yang lain. Apakah keterangan itu benar atau tidak, tentu akan dipertimbangkan majelis,” terang Firdaus.
Lanjut Firdaus menerangkan, selaku seorang pimpinan seharusnya tidak bisa mengelak terhadap pertanggungjawabannya. Ini tertuang pada pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di mana pejabat yang menandatangani dokumen yang menyebabkan keluarnya uang negara, bertanggung jawab secara materil.
“Dia tanda tangan dokumen kuitansi. Dia tahu atau tidak tahu, mengerti atau tidak mengerti, dia bertanggung jawab. Kalau tidak tahu, itu namanya lalai. Nanti kita tuangkan dalam pledoi” pungkasnya.(mng)
(Laporan RIRI RADAM KURNIA, Pekanbaru)