JAKARTA (RP) - Upaya Pemerintah untuk memperketat ekspor barang tambang mentah terus bergulir.
Hingga awal semester 2 tahun ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat telah mengeluarkan 55 izin ekspor tambang mentah (Surat Persetujuan Ekspor/SPE).
Dari sejumlah izin ekspor yang dirilis tersebut, alokasi tambang mentah yang diperbolehkan untuk diekspor maksimal sebesar 27,99 juta ton.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Deddy Saleh mengatakan pada semester 2, angka SPE yang dirilis Pemerintah kemungkinan bisa lebih besar lagi.
Mengingat, dibandingkan Juni, jumlah SPE telah meningkat 76,4 persen, dari yang sebelumnya hanya 13 perusahaan saja.
Dikatakan Deddy, alokasi SPE tersebut berlaku bervariasi, didasarkan pada rencana bisnis (business plan) masing-masing perusahan.
“SPE ada yang sampai September, ada yang sampai Oktober. Tergantung mengajukannya kapan. Sementara ini yang kami catat masih alokasi ekspor tambang perusahaan yang dapat SPE. Kalau untuk realisasi ekspornya masih harus dihitung lagi. Dan yang sudah realisasi harus melapor,” ungkap Deddy usai memberikan keterangan pers di Kantor Kemendag Jumat (3/8).
Deddy menegaskan, dalam kebijakan pertambangan ini, pihaknya tidak menerapkan sistem kuota, namun lebih kepada alokasi ekspor tambang mentah.
Sehingga, setiap perusahaan dibolehkan untuk mengajukan ekspor barang mentah hingga 2014. Akan tetapi volume ekspor yang diizinkan nantinya dihitung sesuai dengan rencana kerja, kapasitas produksi perusahaan, dan sesuai dengan deposit tambang yang dimiliki.
“Jadi tidak ada pembatasan kuota. Di dalam izinnya pun juga tidak ada istilah kuota. Hanya izin untuk ekspor berdasarkan rencana kerjanya,” papar dia.
Deddy menjelaskan, besarnya potensi perusahaan yang bakal mendapatkan izin ekspor atau SPE ke depan juga terlihat dari komposisi ekporter terdaftar (ET), yang kini terus menunjukkan pertambahan. Jumlah terakhir yang tercatat, perusahaan yang telah memperoleh izin ET mencapai 78 korporasi.
Izin ET yang dirilis saat ini diantaranya untuk 44 perusahaan eksporter nikel, lalu 9 perusahaan eksporter Bijih Besi, kemudian Bauksit atau alumunium sebanyak 15 eksporter.
Tak hanya itu, izin ET juga dikeluarkan untuk satu perusahaan marmer, empat perusahaan tembaga, empat perusahaan eksporter zircon, dan dua eksporter mangan, serta satu perusahaan ziolit.
“Masih ada satu perusahaan yang dalam proses mendapatkan SPE. Jadi masih bisa bertambah lagi,” jelasnya.
Deddy mengatakan untuk menetapkan SPE, pihaknya berkoordinasi dengan Kementerian ESDM. Pasalnya, tidak semua rekomendasi izin ekspor yang diserahkah pengusaha kepada Kementerian ESDM selalu disetujui.
Lantaran ESDM harus mengecek apakah perusahaan tersebut telah clear and clean. Misalnya pada Juni, Kementerian ESDM memproses pengajuan 42 izin. Akan tetapi yang direkomendasikan ke Kemendag hanya 19 izin saja.
“Namun karena yang direkomendasikan ESDM adalah pemilik ET yang dikeluarkan oleh Kemendag, maka semua yang direkomendasikan kita berikan SPE,” tuturnya.
Di tempat yang sama, Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan mengapresiasi gairah perusahaan tambang, untuk mendukung proses hilirasi dalam industri tambang.
“Sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2012, sudah lebih dari 100 perusahaan yang mendaftar ingin masuk ke industri smelter. Itu merupakan progress yang cukup baik,” ungkapnya.
Dia menerangkan, dengan semakin tingginya kualitas komoditas ekspor, maka akan berkontribusi menggenjot performa perdagangan Indonesia, yang akhir-akhir ini mencatat defisit.
Pasalnya, Gita mengungkapkan, saat ini harga komoditas mentah termasuk tambang tengah mengalami penurunan. Sehingga, dengan menerapkan hilirisasi, diharapkan nilai ekspor semakin baik.
“Lewat strategi value added pada produk ekspor kita, saya optimistis, dalam 12-24 bulan ke depan, perdagangan kita mencatat surplus lebih besar, dengan catatan ada perbaikan situasi ekonomi dunia,” tegasnya.(gal/jpnn)