JAKARTA (RP) - Meluasnya perdagangan bebas membuat Indonesia (RI) pasang kuda-kuda. Strategi pengamanan pasar pun siap diterapkan. Salah satunya mempersulit impor dengan kebijakan trade remedies.
Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan mengatakan, opsi proteksi tidak bisa diambil karena pasti akan membuat Indonesia diserang di forum Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). “Jadi, nanti dipakai trade remedies,” ujarnya akhir pekan lalu.
Trade remedies merupakan istilah untuk melindungi pasar dalam negeri dari serbuan produk asing. Namun, tidak dengan cara meninggikan tarif bea masuk (BM). “Istilah ini bisa diterima komunitas internasional,” katanya.
Seperti apa bentuk trade remedies yang akan diterapkan? Gita menyebut, di antaranya adalah dengan memberlakukan syarat-syarat ketat bagi produk asal luar negeri.
Misalnya, untuk produk elektronik termasuk perangkat telepon seluler, harus lolos uji antipetir. Contoh lain, perusahaan yang mengekspor produk ke Indonesia harus membuat kantor di Indonesia dan pegawainya harus bisa berbahasa Indonesia.
“Ini memang agak ekstrem, karena itu harus cari bahasa yang bisa diterima (produsen di luar negeri),” katanya.
Menurut Gita, trade remedies akan menjadi senjata Indonesia untuk membendung sebuan produk asing. Apalagi, makin banyak free trade agreement yang diberlakukan, termasuk ASEAN Economic Community pada 2015 nanti.
“Tapi trade remedies ini sekadar buying time (mengulur-ulur waktu). Sebab, upaya pokok yang harus dilakukan adalah membenahi competitiveness (daya saing) industri dalam negeri, terutama dalam infrastruktur agar industri efisien,” ucapnya.
Tanpa competitiveness, lanjut dia, Indonesia akan menjadi pasar empuk produk-produk asing. Apalagi, akumulasi konsumsi Indonesia sepanjang 20 tahun ke depan diperkirakan menembus angka 30-36 triliun dolar AS, atau yang terbesar di antara negara-negara ASEAN.
Menurut Gita, faktor lesunya ekonomi global juga harus diwaspadai. Selain menurunkan potensi ekspor Indonesia, hal itu juga bisa berdampak pada potensi lonjakan impor.
Sebab, kata dia, lesunya ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Eropa membuat Cina kebingungan memasarkan produk-produknya.
Karena itu, Negeri Tirai Bambu itu pasti akan mencari alternatif pasar yang akan digelontor dengan produk-produk mereka yang berharga murah. “Nah, saat ini pasar Indonesia sangat seksi di mata Cina,” ujarnya.
Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI), Tony Prasetyantono mengatakan, pemerintah tidak bisa lagi bersantai.
Peningkatan daya saing melalui pembangunan infrastruktur serta deregulasi untuk memangkas biaya tinggi, harus dilakukan sesegera mungkin.
“Kalau tidak, maka lima tahun ke depan, Indonesia hanya akan jadi penonton pemain-pemain (perusahaan) besar maupun produk-produk asing di pasar sendiri,” jelasnya.(owi/kim/sar)