JAKARTA (RP) - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Edward Omar Syarif Hiariej, menilai diseretnya kembali Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka dan terdakwa perkara bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia merupakan indikasi kesewenang-wenangan jaksa.
Menurutnya, ini merupakan persoalan serius dalam penegakan hukum di Indonesia. Karenanya, Edward pun memberikan beberapa catatan. “Putusan praperadilan tidak hanya menyatakan penahanan yang dilakukan terhadap Bachtiar adalah tidak sah, namun juga secara eksplisit dalam amar putusannya menyatakan bahwa penetapan Bachtiar sebagai tersangka adalah tidak sah,” kata Edward, Rabu (3/7), dihubungi wartawan.
Seperti diketahui, berdasarkan Putusan Praperadilan PN Jaksel nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 Nopember 2012, terdakwa Bachtiar telah dibebaskan dari tahanan Kejaksaan Agung dan dinyatakan statusnya sebagai tersangka dibatalkan karena tidak sah dan disertai bukti-bukti yang cukup.
Namun, dengan alasan terdakwa kontraktor CPI pada kasus yang sama telah divonis bersalah oleh Hakim Pengadilan Tipikor tingkat pertama, Kejagung merasa memiliki dasar untuk memperkarakan kembali Bachtiar, dengan menangkap dan menahan.
Tim Penasehat Hukum Bachtiar telah melayangkan protes dan menilai Kejagung mengabaikan putusan praperadilan bersifat final dan mengikat. Namun Kejagung mengabaikan berbagai protes itu, dan bersikukuh mengajukan Bachtiar ke depan sidang pengadilan.
Edward melanjutkan catatan kedua adalah bahwa putusan praperadilan bersifat final and binding yang tidak dimungkinkan adanya upaya hukum apapun.“Artinya, selain penahanan tersebut tidak sah, penetapan Bachtiar sebagai tersangka juga tidak sah,” jelas Edward. Ketiga, Edward melanjutkan, konsekuensi lebih lanjut dari putusan praperadilan itu adalah tidak boleh dilakukan penahanan kepada yang bersangkutan.
Dia menjelaskan, penetapan Bachtiar sebagai tersangka harus memenuhi persyaratan sebagaimana termaktub dalam pasal 1 butir 14 KUHAP. Ia menegaskan, jika penahanan dilakukan tanpa dasar terlebih lagi jika sudah ditetapkan oleh putusan praperadilan, maka yang terjadi adalah kekuasaan telanjang aparat penegak hukum (jaksa) yang sudah menuju pada kesewenang-wenangan penegak hukum.
“Demikian pula jika penetapan tersangka tanpa melalui persyaratan dan mekanisme yang diatur dalam KUHAP, maka yang terjadi adalah unfair prejudice (persangkaan tidak wajar) yang akan menuju pada peradilan sesat,” ujar Edward.
Penasehat Hukum karyawan CPI, Maqdir Ismail, menyatakan bahwa sudah tidak ada kasus atas nama kliennya, karena putusan praperadilan telah memutus perkara Bahctiar itu bersifat final dan mengikat. Ia menilai Kejagung sangat ngotot mencari-cari alasan yang tidak berdasar hukum. Yakni, kata dia, dengan menyatakan bahwa vonis hakim telah memutus bersalah dua kontraktor sehingga menjadi alasan untuk tuduhan mereka kepada Bachtiar.
“Ini cara pandang jaksa yang jelas keliru dan cenderung sebagai bukti unjuk kekuasaan jaksa seperti dilaporkan Komnas HAM sebagai pelanggaran hak asasi Bachtiar,” ujar Maqdir di Jakarta, Senin (1/7) lalu. (boy/jpnn)