JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membatasi layanan rehabilitasi medis atau fisioterapi. Dalam Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan, BPJS Kesehatan Nomor 05 tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik Dalam Program Jaminan Kesehatan diatur bahwa tindakan fisioterapi dibatasi maksimal dua kali dalam sepekan.
Hal ini mengundang Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) ikut berkomentar. IFI menolak penerapan peraturan tersebut lantaran fisioterapis tidak bisa dibatasi seperti itu, sebab keperluan tiap pasien dalam mendapatkan terapi berbeda-beda. Jika disamaratakan, maka hal ini akan mempengaruhi kualitas pelayanan.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief menuturkan, jika seseorang perlu terapi tiga kali dalam sepekan misalnya, maka orang tersebut bisa menggeser terapi ketiga pada pekan depannya atau menunda.
“Kesepakatannya hanya mampu melakukan maksimal dua kali. Ini berkembang pada saat penyusunan jika seseorang perlu tiga kali, dia bisa geser pekan depannya,” kata Budi di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, Senin (30/7).
Dalam Kartu Indonesia Sehat (KIS), yang harus digunakan adalah pengobatan atau rehabilitas yang diperlukan terus menerus serta gawat darurat. Dia mengatakan, pasien fisioterapi bukanlah pasien yang berada dalam keadaan darurat sehingga tidak perlu tindakan medis secara cepat dan terus menerus.
“Dalam KIS, kalau bukan gawat darurat bila diperlukan terus menerus itulah yang harus digunakan,” tegasnya.
Menanggapi aksi yang dilakukan oleh IFI, pihaknya sudah meminta tim BPJS Kesehatan untuk melakukan sosialisasi. Sebetulnya, dalam hal ini fisioterapis tidak disinggung dalam beleid tersebut.
“Sebenarnya teman-teman fisioterapis di dalam perjamkes fisioterapis tidak disinggung karena apa? Fisioterapis itu adalah tenaga ahli yang dia bisa kerjakan pekerjaannya atas rekomendasi spesialis medis,” kata Budi.
Budi lalu menerangkan, tidak adanya fasilitas rehabilitasi medis seperti fisioterapi di setiap rumah sakit itu memang berbeda-beda penyebabnya. Bisa jadi, hal itu karena memang rumah sakit tersebut tidak memiliki dokter spesialis rehabilitasi medis.
“Ini pembelajaran buat kita, mudah-mudahan rumah sakit itu bisa hire. atau ada dokter yang sudah dapat sertifikat jadi sebenarnya kita enggak menyetop. Tapi nanti kita minta untuk merapat (ke fisioterapi),” jelasnya.
Dalam UU praktik kedokteran, kata Budi, ada peraturan lain yang menyebut apabila tidak ada dokter tersebut dalam satu kabupaten/kota, maka pelayanan rehabilitasi medik bisa tetap dijamin BPJS Kesehatan dengan syarat-syarat tertentu.
“Misal di daerah enggak ada dokter spesialis tersebut dia bisa nunjuk dokter umum yang ditunjuk Rumah Sakit (dan tersertifikasi),” pungkasnya.(uji/lim)