POLUSI udara merupakan faktor resiko penyakit kardiovaskular, jantung dan pembuluh darah, dari lingkungan yang paling utama. Berdasarkan data dari Global Burden of Disease (GBD) di tahun 2017, polusi udara mengancam kesehatan masyarakat lebih berat dibandingkan pencemaran air, pencemaran tanah, ataupun pajanan kerja. Secara umum, dampak dari paparan polusi udara terhadap penyakit-penyakit kardiovaskular masih kurang disadari oleh masyarakat.
Polusi udara muncul dari campuran heterogen dari particulate matter (PM), gas-gas (seperti gas ozone), ataupun sebaran gas karbon monoksida, yang berukuran variatif dari beberapa mikrometer hingga nanometer. Dari sisi kesehatan, komponen penting dari campuran ini ialah PM, ozone, nitrogen dioksida (NO2), benzene, karbon monoksida(CO), dan sulfur dioksida (SO2). Dari semua polutan tersebut, PM dengan diameter ≤2.5 µm atau biasa disebut PM2.5 membawa ancaman yang paling vital. PM2.5 dipercaya sebagai penyebab penyakit tidak menular terberat nomor dua, dengan lebih dari 50 persen kematiannya disebabkan oleh gangguan kardiovaskular.
Lebih dari 90 persen populasi dunia hidup di area dengan PM2.5 lebih dari rekomendasi WHO. PM2.5 bahkan dalam konsentrasi kecil sekalipun tetap memiliki dampak terhadap kesehatan, sehingga tidak ada batas konsentrasi tertentu yang tidak memiliki efek negatif pada tubuh. Pada global air quality guidelines (AQGs) yang diterbitkan pada tahun 2021, WHO merekomendasikan target paparan PM2.5 yaitu 15 µg/m3 rerata harian (24 jam) dan 5 µg/m3 rerata tahunan. Sedangkan National Ambient Air Quality Standards yang dikeluarkan oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US Enviromental Protection Agency atau EPA) merekomendasikan batas paparan PM2.5 yaitu 35 µg/m3 harian (24 jam) dan 9-10 µg/m3 setiap tahunnya. Jika kita merujuk pada nilai rerata PM2.5 24 jam di Indonesia pada hari Selasa, 15 Agustus 2023, nilai rerata harian PM2.5 di Jakarta 4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan rekomendasi harian WHO. Di Kota Pekanbaru pada hari yang sama, konsentrasi PM2.5 dalam 24 jam lebih tinggi 2 kali lipat dari rekomendasi WHO, yaitu 32,7 µg/m3. Dari data ini jelas bahwa kondisi udara di Indonesia tercemar, dan jika dibiarkan makan polusi udara ini akan terus merusak kesehatan masyarakat.
Terdapat beberapa manifestasi kardiovaskular, melibatkan jantung dan pembuluh darah, yang dapat muncul akibat paparan polusi udara. Paparan terhadap polusi udara bukan hanya memperberat penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya, namun juga dapat mencetuskan perkembangan penyakit baru. Penelitian-penelitian yang sudah ada menjelaskan mekanisme munculnya penyakit kardiovaskular akibat paparan polusi udara ialah melalui stress oksidatif, inflamasi, dan gangguan metabolik. Proses-proses ini kemudian menyebabkan terjadinya atherogensis, pembentukan plak pembuluh darah dan jantung, gangguan endotel pembuluh darah, serta gangguan ritme jantung. Gangguan-gangguan tersebut akan terus berkembang menjadi penyakit kardiovaskular seperti penyumbatan pembuluh darah pada jantung atau otak, gagal jantung, gangguan irama jantung, dan lainya.
Mekanisme resiko terjadinya penyakit kardiovaskular akibat PM2.5 dimediasi oleh stress oksidatif dan peradangan. Dalam sejumlah penelitian in vitro ditemukan bahwa paparan polusi udara menyebabkan terjadinya spesi oksigen reaktif pada sel dari jaringan paru dan pembuluh darah. Spesi oksigen relatif ini akan memicu peradangan vaskular, aktivasi trombosit, dan koagulasi. Sitokin inflamasi kemudian akan diaktifkan sebagai respon peradangan pada paru dan sirkulasi tubuh. Dalam sebuah penilitian pada tikus, didapatkan terhambatnya perbaikan pembuluh darah setelah paparan PM2.5 melalui penapisan endothel progenitor cells dalam sirkulasi dan gangguan fungsional.
Kemudian, tubuh mengkompensasi dengan peningkatan kapasitas antioksidan paru-paru, yang mendukung peran stress oksidatif pada gangguan kardiovaskular akibat PM2.5. Mekanisme lain yang mungkin mendasari gangguan kardiovaskular akibat polusi udara adalah perubahan keseimbangan sistem saraf otonom. Dalam sebuah studi eksperimental menunjukan bahwa paparan polusi udara berkaitan dengan perubahan sistem saraf otonom, yang ditandai dengan aktivasi sistem saraf simpatis dan pengurangan sistem saraf parasimpatis, yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan variabilitas detak jantung.
Pertanyaan selanjutnya ialah berapa waktu paparan yang dibutuhkan untuk polusi udara agar dapat menyebabkan gangguan kardiovaskular? Kejadian kardiovaskular dapat muncul dalam jangka waktu lama ataupun singkat dari paparan polusi udara. Terutama pada individu yang sudah memiliki faktor resiko kardiovaskular lain, paparan polusi udara dapat memicu munculnya serangan jantung mendadak.
Dalam sebuah penelitian di Cina ditemukan peningkatan paparan konsentrasi PM2.5, nitrit oksida, sulfur dioksida, dan karbon monoksida menyebabkan kenaikan kejadian sindrom koroner akut dalam 24 setelah paparan, dengan tingkat kejadian tertinggi pada waktu paparan terjadi dan terendah setelah 15-29 jam paparan. Pada penelitian lain oleh American Cancer Society Cancer Prevention Study II yang meninjau kebelakang hubungan antara polusi udara dan mortalitas dalam waktu 18 tahun (1977-2000), menemukan adanya hubungan yang signifikan antara peningkatan konsentrasi PM2.5 dan kenaikan mortalitas akibat penyebab kardiovaskular dalam paparan yang lama.
Demi menanggulangi masalah pencemaran udara ini, langkah-langkah dalam skala personal dan kebijakan publik, perlu dilakukan. Dalam lingkup personal, dokter dapat menyarankan masyarakat untuk terus memantau keaadan polutan di udara, dengan melihat kadar PM2.5, dan menggunakan alat filtrasi udara jika diperlukan. Selain itu masyarakat juga disarankan untuk mengurangi aktivitas diluar gedung dan menggunakan masker, serta terus menjaga kesehatan pribadi dengan berolahraga dan memakan makanan bergizi.
Kebijakan perkerja untuk melakukan work from home (WFH) juga dapat bermaanfaat di kota-kota besar dengan pengguna kendaraan bermotor yang massif, karena dapat mengurangi polutan yang bersumber dari kendaraan bermotor, namun kebijakan ini masih kontroversial dan kurang berkelanjutan. Pembatasan kendaraan dengan emisi berlebih, seperti pembatasan usia kendaraan tua, perlu dilakukan. Selain itu penggunaan kendaraan listrik yang didengungkan dapat meminimalisir emisi, dapat dipertimbangkan. Dalam lingkup pemukiman warga, pembentukan taman dan area hijau dapat bermanfaat karena pepohonan dipercaya dapat menangkap PM dan menyerap gas-gas polutan.
Dari penjabaran diatas sangat jelas langkah drastis harus dilakukan segera, mengingat acaman kesehatan, terutama pada sistem kardiovaskular, yang disebabkan polusi udara amatlah besar. Walaupun pendekatan individual dapat mengurangi paparan terhadap polutan, namun dalam situasi dengan polusi udara luas, aksi yang perlu dilakukan harus bersifat masif melalui kebijakan-kebijakan publik, agar dapat mengurangi polusi udara dalam skala komunitas, regional, bahkan nasional. Perlu juga digaris bawahi bahwa dengan meningkatnya beban kesehatan akibat polusi udara ini, maka kebutuhan ekonomi-kesehatan juga akan meningkat, sehingga para pemegang kebijakan seharusnya memprioritaskan langkah-langkah yang berfokus pada ketersediaan udara sehat pada ruang publik dan mencegah terjadinya katastropik pada kesehatan masyarakat akibat dampak polusi udara.***
Referensi:
1. Al-Kindi, S.G., Brook, R.D., Biswal, S. and Rajagopalan, S., 2020. Environmental determinants of cardiovascular disease: lessons learned from air pollution. Nature Reviews Cardiology, 17(10), pp.656-672.
2. Kaufman, J.D., Elkind, M.S., Bhatnagar, A., Koehler, K., Balmes, J.R., Sidney, S., Burroughs Peña, M.S., Dockery, D.W., Hou, L., Brook, R.D. and Laden, F., 2020. Guidance to reduce the cardiovascular burden of ambient air pollutants: a policy statement from the American Heart Association. Circulation, 142(23), pp.e432-e447.
3. Newby, D.E., Mannucci, P.M., Tell, G.S., Baccarelli, A.A., Brook, R.D., Donaldson, K., Forastiere, F., Franchini, M., Franco, O.H., Graham, I. and Hoek, G., 2015. Expert position paper on air pollution and cardiovascular disease. European heart journal, 36(2), pp.83-93.
4. Proposed Decision for the Reconsideration of the National Ambient Air Quality Standards for Particulate Matter (PM) (no date) United States Environmental Protection Agency. Available at: https://www.epa.gov/pm-pollution/proposed-decision-reconsideration-national-ambient-air-quality-standards-particulate
5. Indonesia Air Quality index (AQI) and Air Pollution Information (no date) IQAir. Available at: https://www.iqair.com/indonesia.
6. World Health Organization, 2021. WHO global air quality guidelines: particulate matter (PM2. 5 and PM10), ozone, nitrogen dioxide, sulfur dioxide and carbon monoxide: executive summary. In WHO global air quality guidelines: particulate matter (PM2. 5 and PM10), ozone, nitrogen dioxide, sulfur dioxide and carbon monoxide: executive summary.
7. Jerrett, M., Burnett, R.T., Pope III, C.A., Ito, K., Thurston, G., Krewski, D., Shi, Y., Calle, E. and Thun, M., 2009. Long-term ozone exposure and mortality. New England Journal of Medicine, 360(11), pp.1085-1095.
8. Chen, R., Jiang, Y., Hu, J., Chen, H., Li, H., Meng, X., Ji, J.S., Gao, Y., Wang, W., Liu, C. and Fang, W., 2022. Hourly air pollutants and acute coronary syndrome onset in 1.29 million patients. Circulation, 145(24), pp.1749-1760.
9. Syuhada, G., Akbar, A., Hardiawan, D., Pun, V., Darmawan, A., Heryati, S.H.A., Siregar, A.Y.M., Kusuma, R.R., Driejana, R., Ingole, V. and Kass, D., 2023. Impacts of Air Pollution on Health and Cost of Illness in Jakarta, Indonesia. International Journal of Environmental Research and Public Health, 20(4), p.2916.
10. Alexeeff, S.E., Liao, N.S., Liu, X., Van Den Eeden, S.K. and Sidney, S., 2021. Longterm PM2. 5 exposure and risks of ischemic heart disease and stroke events: review and meta analysis. Journal of the American Heart Association, 10(1), p.e016890.