Terungkap, Tracing Tuberkulosis di Riau Masih Rendah

Kesehatan | Selasa, 20 Juni 2023 - 13:53 WIB

Terungkap, Tracing Tuberkulosis di Riau Masih Rendah
Narasumber pada seminar tentang kesehatan terkait TB digelar Prodia Cabang Pekanbaru, Sabtu (17/6/2023) lalu. (PRODIA UNTUK RIAUPOS.CO)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Penyakit tuberkulosis (TB, dulu disingkat TBC) ternyata masih menjadi pembunuh potensial di Indonesia maupun dunia. Namun tracing (pelacakan) penderita khususnya di Riau masih tergolong rendah. 

Di sisi lain, rendahnya pelacakan penderita bisa menjadi menghambat program nasional pemberantasan TB. Sebab Indonesia menargetkan pada 2035 bisa bebas dari penyakit menular tersebut. 


"Kira-kira Riau berada di nomor 11 dari bawah. Penanganannya (penderita, red) bagus tapi penemuannya jelek," ujar dr Indra Yovi SpP (K) kepada wartawan, Sabtu (17/6/2023) lalu.

Itu disampaikan mantan Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Provinsi Riau tersebut usai menjadi pembicara dalam seminar tentang penanganan TB. Seminar yang diikuti 139 dokter tersebut ditaja Prodia Cabang Pekanbaru. 

Dia juga mengacu pada angka notifikasi TB. Di Riau penemuan pasien TB berada pada angka 40 persen. Artinya, sebesar 60 persen yang belum ditemukan. 

Dokter RSUD Arifin Achmad itu membenarkan bahwa saat ini Indonesia menempati peringkat kedua dunia penderita TB terbanyak. Peringkat pertama adalah India dan ketiga Cina. 

Pada 2022, jumlah kasus TB di Indonesia sebanyak 969 ribu dengan kematian 93 ribu per tahun. Atau setara dengan 11 kematian per jam. 

Berdasarkan Global TB Report tahun 2022 jumlah kasus TB terbanyak di dunia pada kelompok usia produktif terutama pada usia 25 sampai 34 tahun. Di Indonesia jumlah kasus TB terbanyak pada kelompok usia produktif terutama usia 45 sampai 54 tahun.

Sebelumnya pada 2019, Indonesia berada di peringkat ketiga di bawah Cina. Namun penanganan TB terlupakan lantaran fokus ke Covid-19. 

Sementara itu, penderita TB juga ada kategori laten (tersembunyi). Penderitanya tidak mengalami gejala. Tubuh penderita sehat, tak ada keluhan tapi mengandung kuman TB. Kuman itu setiap saat bisa pindah ke orang lain jika terkena droplet (dahak) penderita. Ataupun merusak tubuh penderita. 

Dari satu penderita bisa menularkan 11 penderita baru dalam setahun. Ini seperti multilevel marketing dalam artian negatif. 

"Kalau yang nyatanya 969 ribu penderita, maka yang TB laten bisa tiga empat kalinya," ujar dr Yovi lagi. 

Lalu bagaimana penanganan agar target 2035 bisa dicapai? Dokter ahli paru tersebut mantap menyebut pentingnya kepedulian semua pihak. Terutama pemerintah. 

"Semua tergantung pada kemauan politik. Semua kembali ke sana. Kalau untuk dokternya, ya ada pasien diobati. Tapi tak mungkin kami yang wara wiri mencari," jelas dr Yovi. 

Ia memberi ilustrasi dengan penanganan Covid-19 yang masif. Hanya dalam dua tahun bisa tuntas. Apalagi faktor penyebaran TB dan Covid sama-sama lewat percikan dahak (droplet). 

Lulusan FK Unand dan FK UI itu juga meminta agar jangan memberi stigma pada penderita TB. Adalah tidak tepat bersikap menjauhi penderita, memisahkan kamar, piring, gelas dan lainnya terhadap pasien. 

"Ini bisa membuat penderita malas atau takut berobat. Juga jadi malu. Garis bawahi itu, karena penting," tegasnya. 

Kemudian pada Ahad (18/6/2023), seminar kedua bertema Kenali Resiko Kanker sejak Dini. Pembicaranya dr Seson SpPD FINASIM dengan audiens masyarakat umum. 

Secara medis tumor adalah benjolan dalam tubuh yang tidak ganas alias jinak. Namun jika disebut kanker maka sudah pasti tumor ganas. 

Di Indonesia, menurut dr Seson, masih kurangnya kesadaran masyarakat awam untuk melakukan deteksi dini terhadap kanker. Padahal jika dikenali lebih cepat dan ditangani segera maka penyakit kanker bisa disembuhkan. 

Ada istilah non-invasif atau in situ. Yakni kondisi ketika sel kanker tumbuh dan menetap di lokasi asalnya, tidak menyebar ke organ lain. Biasa juga disebut stadium satu. 

Invasif atau ganas adalah kondisi ketika sel kanker menyebar hingga menembus jaringan atau organ sekitarnya. Tahapannya bisa stadium dua, stadium tiga dan stadium empat.

Gejalanya banyak tergantung pada jenis kanker apa. Misalnya kanker paru antara lain batuk dalam waktu lama, batuk berdarah, nyeri di dada, dan penurunan berat badan.

Maka, dokter RS Eka Hospital itu menekankan perlu segera dilakukan ronsen (rontgen) sebagai deteksi dini. 

"Jangan percaya mitos, kalau dironsen akan ketahuan penyakit-penyakit lain," ungkap dr Seson. 

Dilanjutkan, jangan tunggu sampai stadium empat. Lebih dini diobati maka semakin besar harapan sembuh. Apalagi proses ataupun obat-obatan terus berkembang.

"Jangan takut dikemo misalnya. Kalau pun mengakibatkan botak, nanti juga akan tumbuh lagi," imbau dr Seson lagi.

Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia dengan jumlah 9,6 juta kematian per tahun. Di Indonesia menurut catatan Globocan pada 2020, kasus baru tercatat 396.314  dengan kematian sebanyak 234.511 orang.

Perempuan merupakan kelompok dengan risiko tinggi terkena kanker. Tercatat kanker payudara  sebanyak 65.858 kasus, kanker leher rahim sebanyak 36.633 kasus. Kanker pada laki-laki paling banyak kanker paru 25.943 kasus, kanker kolorektal (usus besar) 21.764 kasus.(rls)

Editor: Eka G Putra









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook