JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Sejauh ini kanker masih merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di seluruh dunia, dalam beberapa tahun terakhir. Data dari Global Burden of Cancer (GLOBOCAN) yang dirilis oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa jumlah kasus dan kematian akibat kanker sampai dengan tahun 2018 sebesar 18,1 juta kasus dan 9,6 juta kematian di tahun 2018.
Sementara di Indonesia, riset terakhir pada tahun 2020 menyebut 396.914 kasus baru kanker, dengan 234.511 kematian akibat kanker. Kematian akibat kanker diperkirakan akan terus meningkat hingga lebih dari 13,1 juta pada tahun 2030 jika tidak segera diantisipasi mulai sekarang.
Sayangnya, di negara berkembang, diagnosis kanker kebanyakan sudah stadium lanjut, yang berhubungan dengan tingginya biaya pengobatan, rendahnya tingkat kesembuhan dan angka kesintasan hidup penderita, serta penurunan kwalitas hidup penderita.
Terkait kanker, sejauh ini, untuk pengobatan kanker sendiri masyarakat secara umum, khususnya di Indonesia lebih mengenal kemoterapi saja. Kemoterapi atau kemo bekerja dengan cara menghentikan pertumbuhan sel kanker yang bersarang di dalam tubuh.
Meski pengobatan ini dapat membantu mengatasi penyakit kanker, kemoterapi sampai hari ini dikenal memiliki efek samping yang tidak sedikit.
Dijelaskan dr. Wulyo Rajabto, Sp.PD, KHOM, dari Mayapada Hospital, jenis pengobatan kemoterapi sendiri diberikan akan tergantung pada jenis, lokasi, stadium, penyebaran sel kanker, dan kondisi kesehatan pasien kanker. Namun secara umum kemoterapi memang memiliki efek yang tidak ringan.
“Efek samping yang ditimbulkan dari kemoterapi juga berbeda-beda, yaitu ada yang bersifat ringan dan ada pula yang memerlukan penanganan dokter dengan segera,” ujarnya kepada JawaPos.com.
dr. Wulyo menjelaskan lebih lanjut, kemoterapi merupakan salah satu jenis pengobatan yang digunakan untuk menghancurkan sel kanker yang berbahaya bagi tubuh. Cara kerjanya adalah dengan menghentikan atau menghambat pertumbuhan sel kanker yang berkembang dan membelah diri dengan cepat.
Begitu pun dengan efeknya, yang diserang umumnya adalah sel-sel dari tubuh yang berkembang dengan sangat cepat. Misalnya rambut. Itu menjadi jawaban mengapa pasien kanker yang sedang menjalani proses kemo selalu mengalami kerontokan rambut.
Proses menuju kemo juga tidak singkat. Tidak serta-merta seseorang yang didiagnosis menderita kanker bisa langsung dilakukan tindakan kemoterapi. Ada syarat dan prosedur medis lainnya yang perlu diikuti oleh si pasien.
“Syaratnya? Diagnosisnya ya, mesti tepat. Misalnya kanker payudara melalui biopsi. Kalau sudah benar, oh itu kanker lakukan staging, stadium berapa, apakah perlu operasi dahulu, baru dipertimbangkan untuk dilakukan kemo,” lanjut dr. Wulyo.
Kemudian, karena bisa menimbulkan efek, pasien kanker yang ingin mengikuti kemoterapi juga harus benar-benar dipastikan status fungsionalnya harus jelas, misalnya bisa makan atau minum, mengenal dirinya dan keluarganya, intinya sehat.
Selain sehat secara fisik, fungsi organ tubuh juga mesti bagus. Jantung harus normal, ginjal, liver dan organ vital lainnya juga harus fit.
“Karena kemoterapi ini seperti dijelaskan tadi membunuh sel-sel kanker yang cepat menjalar, efeknya juga kebanyakan sangat terasa. Biasanya efek samping kemo terberat adalah minggu pertama,” lanjut dr. Wulyo.
Tujuan kemoterapi adalah mencegah kekambuhan dan penyebaran ke organ tubuh lain.
Sistemik Lainnya
Mengingat proses penyembuhan penyakit kanker yang panjang dan berliku, ditambah proses kemoterapi yang juga tidak mudah, untungnya teknologi kedokteran yang berkembang pesat saat ini juga menemukan lainnya.
Selain kemoterapi, saat ini ada metode pengobatan dan terapi penyembuhan kanker lainnya yang bernama terapi target. Terapi target (Targeted Therapy), dijelaskan dr. Wulyo adalah pengobatan kanker yang secara khusus menargetkan kanker atau dengan menggunakan obat atau zat lainnya untuk menghalangi sinyal kimia di tingkat sel, tingkat di mana pertumbuhan dan pembelahan sel kanker terjadi.
Sama seperti kemoterapi, tujuan dari terapi target ini adalah membuat sel kanker tidak dapat tumbuh dan memperbanyak diri. Hanya saja, dirinya memaparkan, efek samping dari terapi target tidak seberat dari kemoterapi.
“Secara sederhana, terapi target ini langsung ke intinya, efeknya juga nggak seluas efek dari kemoterapi yang menyebar ke seluruh sel-sel tubuh. Efek sampingannya lebih sedikit jika dibandingkan dengan kemoterapi,” terang dr. Wulyo.
Ini merupakan metode untuk menghambat dan menghentikan perkembangan sel kanker, serta mencegahnya menyebar ke organ lain. Sebagai informasi, pengobatan ini umumnya digunakan untuk menangani beberapa jenis kanker, seperti kanker paru, serviks, ginjal, kandung kemih, dan limfoma.
“Efek samping imunoterapi biasanya seperti autoimun saja seperti reaksi alergi yang berlebihan, biasanya efeknya tiroid, kalo kena ke tiroid, produksi hormonnya bisa berlebihan atau berkurang, nggak merembet ke sel-sel lainnya,” ungkap dr. Wulyo.
Sementara terkait perbedaan keduanya, terapi target memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan kemoterapi. Obat yang digunakan dalam terapi target spesifik menargetkan ke sel-sel kanker, sehingga hanya berefek pada sel-sel kanker dan tidak mencederai atau merusak sel yang normal dan sehat.
“Sedangkan kemoterapi menggunakan obat yang bersifat toksik pada kebanyakan sel artinya selain membunuh sel kanker yang tumbuhnya cepat , juga mencederai sel yang normal dan sehat,” tegas dr. Wulyo.
Obat untuk terapi target bekerja dengan menghalangi mekanisme sel dalam memperbanyak dirinya. Artinya mereka dapat menghentikan sel membelah dan membuat sel kanker baru, sedangkan Kemoterapi bekerja dengan membunuh sel-sel kanker yang telah dibuat.
Jenis obat terapi target juga ada beberapa jenis, pertama antibody monokronal. Obat ini bekerja dengan menargetkan molekul pada permukaan sel kanker sehingga membunuh sel kanker atau mencegah sel kanker membelah dan berkembang. Atibodi monokronal biasanya diberikan melalui infus.
Ini merupakan jenis terapi untuk menghambat dan menghentikan perkembangan sel kanker serta mencegahnya menyebar ke organ lain. Sebagai informasi, pengobatan ini digunakan untuk menangani beberapa jenis kanker, seperti kanker paru, serviks, ginjal, kandung kemih, dan limfoma.
“Efek samping imunoterapi biasanya seperti reaksi alergi yang berlebihan, biasanya efeknya ke tiroid, kalo kena ke tiroid, produksi hormonnya bisa berlebihan atau berkurang. Walaupun bisa juga efek samping ke organ seperti paru, limpa, usus, bahkan jantung,” tutup dr Wulyo.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman