HARAPAN BARU PENDERITA KANKER

Rompi Ini Terbukti Bisa Membunuh Sel Kanker

Kesehatan | Selasa, 12 Januari 2016 - 00:19 WIB

Rompi Ini Terbukti Bisa Membunuh Sel Kanker
Warsito memperlihatkan rompi anti kanker yang diciptakannya kepada Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, M Nasir. (FADHIL AL BIRRA/JAWA POS)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Penemuan ini menjadi harapan baru bagi para penderita kanker. Sebagaimana diketahui, kanker termasuk penyakit dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. Berkat alat ini, diharapkan risiko meninggal bagi penderita kanker bisa diminimalkan.

Adalah Warsito Purwo Taruno. Pria bergelar doktor teknik elektro di Shizouka University Jepang 1997 ini berhasil menciptakan alat pembunuh sel kanker pertama di dunia.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Alat itu berupa rompi yang dikenakan di badan yang dikenal dengan nama Electro Capacitive Cancer Therapy (ECCT). Alat ini sudah mendunia dan telah digunakan di negara seperti Jepang, Jerman dan Polandia. Warsito tidak menemukan rompi ini begitu saja, perlu melalui tahapan riset selama puluhan tahun.

Dia merasa terpanggil untuk mengadakan riset dan menciptakan alat ini setelah prihatin melihat kakaknya terkena kanker payudara stadium IV.

Karena alat kesehatan belum ada yang mampu menyembukan penyakit kakaknya, dia pun bertekad untuk menciptakan alat pembunuh sel kanker sendiri. Setelah mencoba ECCT tersebut, penyakit sang kakak pun perlahan membaik hingga dinyatakan bersih dari sel kanker yang hampir merenggut nyawanya.

ECCT ini dirancang oleh Warsito bersama timnya di CTech Lab Edwar Technology yang berlokasi di Alam Sutera, Serpong, Tangerang. "Ini memang cita-cita saya setelah lulus kuliah di luar (negeri) ingin membangun pusat riset di Indonesia," katanya saat ditemui di CTech Lab, Tangerang, Senin (11/1/2016).

ECCT bukanlah karyanya yang pertama, melainkan turunan dari risetnya terdahulu, yaitu Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT).

Bahkan pada 2006, ketika polemik tentang ECVT sedang panas, NASA memakainya untuk pengembangan sistem pemindaian di pesawat ulang-alik. Riset tersebut juga telah menghasilkan jurnal ilmiah yang sudah dipublikasi tingkat internasional.

"Ilmuwan dunia saat itu heran melihat penemuan ECVT dari Indonesia. Saat itu juga profesor di Amerika menawari saya agar mengembangkan ECVT di sana, sudah disediakan lahan untuk lab, hingga dana pendukung. Namun saya menolak karena saya ingin memajukan riset-riset di Indonesia," katanya.

ECCT dan ECVT ini bekerja seperti radioterapi dan CT scan untuk pemindai dengan sumber gelombang elektromagnet pengion.

Teknologi ini dikembangkan berdasarkan prinsip fisika dan matematis. Bedanya ECVT dan ECCT memanfaatkan sifat dasar biofisika sel dan jaringan.

"Pada praktiknya ini menggunakan listrik berdaya rendah yang akan membunuh sel kanker pada saat membelah, sehingga tidak memperbanyak sel kanker itu sendiri. Aliran listriknya ini akan disalurkan melalui jaket dan penutup kepala yang dikenakan pasien," terangnya.

Namun, penelitiannya tersebut justru tidak mendapat restu dari pemerintah Indonesia. Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI melarang teknologi yang dikembangkan Warsito itu beroperasi di Tanah Air. Alasannya, ECVT dan ECCT dinilai belum mempunyai bukti ilmiah yang kuat untuk bisa digunakan sebagai alat diagnosis dan terapi kanker.

Teknologi ECCT dan ECVT yang kini mulai digunakan di rumah sakit di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Jogjakarta pun harus ditutup. Sementara pihak Kemenkes masih me-review tentang teknologi tersebut.

Di sisi lain, temuan Warsito ini sudah diakui di dunia. Terakhir pada 2015, disertasi Sahudi Salim dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) menegaskan bahwa ECCT terbukti secara ilmiah bisa membunuh sel kanker.

Warsito pun menyadari hal tersebut lantaran memang belum ada penelitian sebelumnya tentang hal itu. "ECVT dan ECCT bisa dikatakan tidak ada referensinya di dunia luar, karena keduanya lahir di Indonesia, dan pertama di dunia. Adanya kontroversi itu sendiri justru karena kita mencoba sesuatu yang baru. Tanpa mencoba sesuatu yang baru, tak ada yang akan mengubah nasib kita," ungkapnya.

Apabila ECCT dan ECVT diterima di Indonesia, pihaknya tidak akan melakukan komersialisai, melainkan sepenuhnya diberikan untuk kemajuan kesehatan masyarakat Indonesia.

"Ini punya masyarakat Indonesia. Kalau bukan saya yang membuatnya, akan ada orang lain yang membuatnya di tempat lain di waktu lain. Jadi ini tidak akan komersil, kecuali kalau dijual ke luar negeri," katanya.(fab)

Laporan: JPG

Editor: Fopin A Sinaga









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook