Penyandang disabilitas adalah kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan yang dapat menghambat partisipasi dan peran serta mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Konvensi tentang hak-hak penyandang disabilitas yang telah ikut ditandatangani oleh Indonesia mengamanatkan negara untuk mengambil kebijakan yang diperlukan untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas terhadap pelayanan kesehatan yang sensitif gender. Termasuk rehabilitasi kesehatan. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. Disabilitas bukan merupakan kecacatan semata namun merupakan hasil interaksi dari keterbatasan yang dialami seseorang dengan lingkungannya, bukan hanya fisik atau jiwa, namun merupakan fenomena multi dimensi yang terdiri dari fungsi tubuh, keterbatasan aktivitas, hambatan partisipasi dan faktor lingkungan.
Hasil analisis dari Global Burden of Disease tahun 2004 didapatkan bahwa 15,3 persen populasi dunia (sekitar 978 juta orang dari 6,4 milyar estimasî jumlah penduduk tahun 2004) mengalami disabilitas sedang atau parah, dan 2,9 persen atau sekitar 185 juta mengalami disabilitas parah. Pada populasi usia 0-14tahun prevalensinya berturut- turut adalah 5,1 persen (93 juta orang) dan 0,7 persen (13 juta orang). Sedangkan pada populasi usia 15 tahun atau lebih, sebesar 19,4 persen (892 juta orang) dan 3,8 persen (175 juta orang).
Susenas 2012 mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45 persen. Peningkatan dan penurunan persentase penyandang disabilitas yang terlihat pada gambar di bawah ini, dipengaruhi adanya perubahan konsep dan definisi pada Susenas 2003 dan 2009 yang masih menggunakan konsep kecacatan. Sedangkan Susenas 2006 dan 2012 telah memasukkan konsep disabilitas. Walaupun demikian, jika kita bandingkan antara Susenas 2003 dengan 2009 dan Susenas 2006 dengan 2012 terjadi peningkatan prevalensi.
Dalam perkembangan dunia medis dalam dekade terakhir ini dengan revolusi industri maka terjadi angin perubahan. Teknologi semakin masuk kedalam dunia kedokteran; wireless, AI (Artificial Intelegence), robotic, clouding baik dalam diagnosis, kuratif bahkan merambah dalam rehabilitative. Khusus dalam bidang robot ada beberapa tipe yaitu:
1. Robot bedah: memungkinkan operasi pembedahan dilakukan dengan presisi tinggi daripada ahli bedah manusia tanpa bantuan atau mengizinkan pembedahan jarak jauh di mana seorang ahli bedah manusia tidak secara fisik hadir bersama pasien.
2. Robot rehabilitasi: memfasilitasi dan mendukung kehidupan orang yang lemah, lanjut usia, atau mereka yang mengalami disfungsi bagian tubuh yang mempengaruhi gerakan. Robot ini juga digunakan untuk rehabilitasi dan prosedur terkait, seperti pelatihan dan terapi.
3. Biorobots: sekelompok robot yang dirancang untuk meniru kognisi manusia dan hewan.
4. Robot telepresence: memungkinkan profesional medis di luar lokasi untuk bergerak, melihat-lihat, berkomunikasi, dan berpartisipasi dari lokasi yang jauh.
5. Otomatisasi farmasi: sistem robotik untuk mengeluarkan padatan oral dalam pengaturan apotek ritel atau menyiapkan pencampuran IV steril dalam pengaturan apotek rumah sakit.
6. Robot pendamping: memiliki kemampuan untuk terlibat secara emosional dengan pengguna yang menemani mereka dan memberi tahu jika ada masalah dengan kesehatan mereka.
7. Robot desinfeksi: memiliki kemampuan untuk mendisinfeksi seluruh ruangan hanya dalam beberapa menit, umumnya menggunakan sinar ultraviolet berdenyut. Mereka digunakan untuk melawan penyakit virus Ebola.
Pada topik kali ini saya akan mengupas peran robotic dalam bidang rehabilitasi medik. Sudah menjadi pengetahuan kita bahwa rehabilitasi medik adalah salah spesialisasi dalam dunia kesehatan yang mengkhususkan diri dalam penangangan disabilitas. Disabilitas sendiri adalah kehilangan suatu fungsi tubuh yang disebabkan factor biopsikososial dan faktor-faktor yang berkaitan.
Pada penanganan robotic rehabilitasi maka ada dua kasus yang dapat di bantu yaitu kasus cedera tulang belakang/spinal cord injury dan kasus stroke. Kedua kasus ini mendominasi dalam penelitian atau jurnal robotic. Kedua kasus tersebut memegang disabilitas terbesar karena dampaknya tidak hanya diri sendiri tetapi keluarga dan lingkungan. Seorang penderita stroke atau SCI akan mengalami depresi karena penyakitnya yang membut penyembuhan/program rehabiitasi semakin lama.
Robotic pada penanganan cedera tulang belakang
Penderita cidera tulang belakang
Cedera Medulla Spinalis
- Cedera pada saraf tulang belakang, yang menyebabkan gangguan motorik, sensorik, dan otonom.
- Penyebab: Traumatik > non traumatic
- Rata2 pada usia produktif
- Insidens traumatik: 26.5/1juta penduduk
Harapan untuk kembali bekerja
Faktor pendukung kembali bekerja, antara lain: usia saat cedera, tingkat edukasi, level cedera, kapasitas fungsional, riwayat bekerja sebelumnya, faktor lingkungan (transportasi, tempat kerja)
Gangguan Fungsi pada CMS ( Cedera Medula Spinalis) adalah
- Fungsi berjalan
- Fungsi pernafasan
- Fungsi jantung dan pembuluh darah
- Fungsi berkemih
- Fungsi pencernaan dan defekasi
- Fungsi seksual
- Gangguan perawatan diri dan kemandirian
- Prognosis Faktor
- Penyebab CMS
- Kecepatan penanganan awal
- Lama cedera
- Tingkat keparahan dan level cedera
- Pemulihan dalam 1-3 bulan pertama pasca cedera / penyebab teratasi
- Proses rehabilitasi
Peranan robotic dalam penanganan CMS
1. Mengurangi beban resiko cidera pada terapis
2. Memberikan pola jalan yang lebih baik, repetitive dan intensif
3. Melatih kekuatan dan daya tahan otot, jantung, paru dan neuroplastisitas (pertumbuhan saraf / kemampuan baru)
4. Lebih fun
Di atas adalah mekanisme tentang robotic dimana sensor akan bekerjasama dengan otak untuk membentuk suatu impuls ke robot kemudian akan menggerakkannya.
Robot cyberdyne yang akan digunakan di Awalbros akan menggunakan single joint tipe untuk awalnya yang akan di lanjutkan dengan double joint.
Kesimpulan
- Meningkatkan kemampuan fungsional pasien CMS akan meningkatkan kualitas hidupnya dan meningkatkan kemungkinan untuk kembali bekerja.
- Peranan tim rehabilitasi dalam proses return to work sangat penting
- Teknologi robotic membantu dalam berbagai tahap rehabilitasi, antara lain untuk kemampuan ambulasi, patient safety, penurunan beban tim rehabilitasi, meningkatkan endurans kardiorespirasi, dan kemampuan kontrol gerak.****
dr Kobal Sangaji Sp KFR, Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi RS Awal Bros Pekanbaru