FDA Akhirnya Setujui Obat Pertama yang Bisa Memperlambat Alzheimer

Kesehatan | Minggu, 09 Juli 2023 - 05:04 WIB

FDA Akhirnya Setujui Obat Pertama yang Bisa Memperlambat Alzheimer
Ilustrasi Alzheimer. (ORAWAN PATTARAWIMONCHAI/SHUTTERSTOCK)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Mudah lupa menjadi salah satu contoh gejala awal dari suatu penyakit yang disebut Demensia Alzheimer, atau orang awam menyebutnya kepikunan. Sayangnya gejala awal ini sering disepelekan sehingga Alzheimer menjadi makin berat dan terlambat ditangani.

Penyakit progresif ini menghancurkan memori dan fungsi mental penting lainnya. Koneksi sel otak dan sel-sel sendiri merosot dan mati, akhirnya menghancurkan memori dan fungsi mental penting lainnya.


Sejauh ini, Alzheimer sendiri belum ada obatnya. Namun kabar terbaru dari bidang medis modern melaporkan bahwa pembuat obat Jepang Eisai dan Biogen yang berbasis di Amerika Serikat (AS) telah bekerja sama dalam memajukan penelitian di bidang Alzheimer selama hampir satu dekade.

Atas upaya selama bertahun-tahun ini, Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan AS akhirnya menganugerahi hasil kerja keras tersebut. Leqembi, obat yang diyakini bisa memperlambat Alzheimer mendapatkan restu untuk penggunaan intravena.

Hal ini jelas akan menandai pengobatan pertama yang disetujui yang dapat memperlambat perkembangan Alzheimer. Leqembi menerima persetujuan awal pada bulan Januari yang memungkinkannya digunakan dalam kapasitas terbatas.

Dilansir dari Engadget, persetujuan itu disyaratkan pada dua pembuat obat yang melakukan studi konfirmasi untuk memverifikasi manfaat klinis obat tersebut. Namun perlu dicatat, meskipun Leqembi diklaim dapat memperlambat perkembangan Alzihmer, itu bukanlah obatnya.

Sebaliknya, ini membahas biologi mendasar yang memacu kemajuan Alzheimer. Obat tersebut bekerja dengan mengurangi plak amiloid, atau protein yang salah lipatan yang terbentuk di otak penderita Alzheimer.

Leqembi bukan satu-satunya obat yang menargetkan penumpukan plak beta-amiloid untuk mengobati Alzheimer. Aduhelm, obat lainnya menerima persetujuan di bawah jalur akselerasi yang sama pada tahun 2021 lalu tetapi masih belum sepenuhnya disetujui FDA.

Tapi yang membedakan Leqembi dari pendahulunya adalah bahwa obat tersebut menunjukkan manfaat klinis yang nyata selain hanya mengurangi penumpukan protein yang disebutkan di atas tadi.

Selain memerlukan resep medis, mengonsumsi obat tersebut akan memerlukan administrasi profesional di rumah sakit atau pusat anestesi setiap dua minggu sekali. Perusahaan, meskipun mungkin bukan satu-satunya tanggung jawabnya, menyadari kebutuhannya untuk meningkatkan aksesibilitas.

Dalam pernyataan publik, Christopher Viehbacher, CEO Biogen, mengatakan fokus utama perusahaan sekarang adalah bekerja sama dengan Eisai untuk membuat Leqembi "dapat diakses oleh pasien yang memenuhi syarat sesegera mungkin."

 

Label harga obat yang lumayan USD 26.500 atau berkisar Rp400 jutaan. Banderol tersebut jelas akan membuatnya tidak dapat diakses oleh kebanyakan orang dan tampaknya tidak akan ditanggung oleh fasilitas kesehatan.

Program perawatan yang mahal adalah sesuatu yang perlu dipertimbangkan untuk satu dari sembilan orang Amerika yang berusia di atas 65 tahun yang menderita demensia Alzheimer. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah karena populasi lansia di negara ini terus bertambah.

Mengutip data terakhir pada 2022 lalu dari Alzheimer's Disease International, jumlah penderita alzheimer terus meningkat setiap tahunnya. Di Indonesia saat ini total orang yang didiagnosis mengalami alzheimer sebanyak 1,2 juta orang dan jumlahnya diprediksi akan terus meningkat sampai 2050 mendatang.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook