Riau Pos Online - Menjaga sanitasi lingkungan dan berperilaku hidup sehat itu sangat penting, terutama ketika perubahan iklim global terjadi seperti saat ini. Bila tidak dicegah sejak dini, bisa picu penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) meningkat.
Penyakit pernapasan ini bisa menimpa siapapun. Faktor polusi udara dalam ruangan, polusi luar ruangan, peningkatan suhu bumi dan kelembaban menjadi pemicu penyakit tersebut. Penyakit ini ditandai dengan batuk-batuk, kesulitan bernapas yang berujung pada kematian.
Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung (PPML) H M Subuh mengatakan, perubahan iklim saat ini perlu diwaspadai. Pencegahan harus dilakukan karena sangat rentan terkena penyakit pernapasan. Penyakit ini pun bisa menyerang siapa saja, mulai dari anak-anak hingga dewasa dan terjadi pada bagian alveoli, yang mengakibatkan panas tinggi, batuk-batuk dan sulit bernapas.
“Jika sudah masuk ke bawah paru-paru (pneumonia), penyakit ini sulit ditangani. Gejala sesak dan susah napas, demam tinggi, dan kejang salah satu gejala terkena ISPA,” jelas Subuh dalam acara temu media mengenai Perubahan Iklim di Gedung Kemenkes, Jakarta, Jumat (28/9).
Menurut Subuh, penyakit ini akan terus menjadi trend sampai 30 tahun ke depan. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007-2011, sekitar 18 juta penduduk dilaporkan memiliki prevalensi penyakit ini. ”Penyakit ini akan cenderung meningkat saat pancaroba datang,” katanya.
Dia menjelaskan, penyakit ISPA dibedakan menjadi dua. Yaitu, common cold (pemicunya adalah virus rhinovirus, respiratory syncytial virus, adenovirus dan influenza yang dipicu oleh virus dengan berbagai tipe.
“Virus penyebab ISPA sangat menular. Jangan sampai diabaikan. Masyarakat perlu melakukan perilaku hidup sehat sejak dini dengan menjaga lingkungan, menjaga diri dan jangan pernah menganggap enteng penyakit ini,” imbau Subuh.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Wilfreid H Purba mengimbau masyarakat agar waspada terhadap perubahan cuaca, terutama untuk penyakit diare, ISPA, malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD) dan lainnya.
“Menjaga pola hidup dan sanitasi di lingkungan perlu dilakukan. Sebab, kerugian ekonomi akibat buruknya sanitasi, diperkirakan mencapai Rp 33 triliun per tahun dan kerugian ekonomi diperkirakan sebesar 2,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),” jelas Wilfreid.
Menurut Wilfreid, Kemenkes sudah menggerakkan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang memfokuskan pengelolaan hidup yang sehat. “Jika sanitasi baik, orang yang sakit tak perlu berobat lagi,” ujarnya.(rmol/jpnn)