NIKMATNYA RAMADAN DI TANAH SUCI (2-HABIS)

Setiap Qunut Imam Doakan Pemimpinnya

Internasional | Rabu, 29 Agustus 2012 - 09:05 WIB

 Setiap Qunut Imam Doakan Pemimpinnya
SALAT DI JALAN: Mereka terpaksa salat di jalan raya, karena Masjidil Haram sudah penuh sesak. Kondisi ini terjadi pada malam 27 Ramadan 1433 Hijriyah.foto: syamsul bahri samin/riaupos

Catatan SYAMSUL BAHRI SAMIN, Arab Saudi

Semakin mendekati akhir Ramadan, jumlah jamaah yang terkonsentrasi di Masjidil Haram, terus bertambah.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Berbeda jauh dengan kondisi di Tanah Air, semakin ke ujung Ramadan, jamaah ke masjid semakin menyusut. Mengapa?

Rombongan kami yang tergabung dalam Muhibbah Mulia Wisata Travel memasuki Kota Madinah tepat pada hari ke 20 Ramadan atau persis memasuki malam 21 Ramadan. Malam itu merupakan malam pertama sepuluh malam terakhir.

Dari layar televisi hotel yang menyiarkan langsung kondisi di Masjidil Haram, terlihat kepadatan jamaah di semua bagian masjid.

Hampir tak ada tempat yang lowong. Lokasi tempat tawaf terlihat penuh, meski saat itu panas terik dan suhu Kota Makkah 45 derajat.

Beruntung kami berangkat dengan pimpinan Muhibbah Mulia Wisata Travel bapak Ibnu Mas置d yang sudah sarat pengalaman di Tanah Suci membimbing jamaah haji dan umrah.

Pak Ibnu memutuskan rombongan melaksanakan tawaf dan sa段 pada saat Salat Tarawih untuk menghindari puncak kepadatan. Ia juga membimbing rombongan untuk melaksanakan sa段 di basement. Pertimbangannya, selain tidak terlalu padat, lebih datar, lokasi sa段 di basement ini ada AC-nya.

Ternyata, walaupun bersamaan dengan Tarawih, jamaah tetap saja memadati lokasi seputar Kakbah untuk melaksanakan tawaf. Mereka umumnya tengah menunaikan ibadah umrah. Sehingga, kami harus berjuang keras untuk menyelesaikan tujuh putaran tawaf dan menjaga rombongan agar tidak terpisah.

Alhamdulillah, sejalan dengan lantunan Surah Yasin yang dibacakan imam Salat Tarawih, kami berhasil menyelesaikan rangkaian ibadah umrah, termasuk Tahallul (memotong rambut).   

Memang, padatnya jamaah yang memasuki Kota Makkah, khususnya di Masjidil Haram pada malam-malam sepuluh Ramadan, menjadi tantangan tersendiri.

Jutaan jamaah yang datang, benar-benar tidak tertampung di masjid empat lantai ini. Isyarat lampu di pintu masjid seringkali menunjukkan tanda garis berwarna merah yang mengisyaratkan bahwa di dalam masjid sudah penuh.

Keinginan jamaah untuk tetap masuk ke masjid karena suhu udara di luar cukup panas, seringkali tidak mengindahkan tanda lampu di pintu masjid. Para jamaah ini rela berdesak-desakan dan saling dorong dengan petugas yang berjaga di pintu masjid.

Sungguh, untuk bisa mendapatkan tempat salat di dalam masjid, walaupun hanya sekadar di basement, setiap jamaah harus datang sekitar dua jam sebelum waktu salat tiba.

Jika telat, jangan harap bisa masuk masjid, dan bersiaplah salat di pelataran masjid atau mungkin lebih parah lagi salat di jalan raya atau di halaman hotel.

Suasana seperti ini berlangsung di setiap waktu salat. Kondisi ini semakin padat ketika usai Salat Magrib. Jamaah yang sudah selesai berbuka di hotel, kembali ke masjid untuk menunaikan salat malam.

Bahkan, khusus pada malam 27 Ramadan yang sangat diyakini sebagai malam turunnya Lailatul Qadar, jumlah jamaah bisa dua kali lipat. Akibatnya, banyak jamaah yang memutuskan tidak ke luar dari masjid setelah Salat Ashar. Mereka bertahan hingga malam dengan bekal seadanya.

Pada malam 27 Ramadan itulah saya menyaksikan jamaah salat tumpah-ruah di mana-mana. Masjid penuh sesak, jalan-jalan pun menjadi tempat salat hingga dua kilometer dari halaman masjid.

Pada malam sepuluh terakhir Ramadan, ada dua salat malam; Salat Tarawih dan Qiyamul Lail. Salat Tarawih dilaksanakan usai Salat Isya dengan 20 rakaat dan setiap malam menyelesaikan satu juz Alquran.

Salat Tarawih ini berlangsung sekitar dua jam. Biasanya baru selesai pukul 23.30 Waktu Arab Saudi (WAS).

Usai Salat Tarawih, ada waktu jeda sekitar 1,5 jam. Waktu rehat itu dipergunakan jamaah untuk membaca Alquran, berbaring, dan ada juga yang memilih kembali ke hotel. Tidak semua jamaah mengikuti Salat Tarawih dan juga Qiyamul Lail.

Umumnya, jamaah memilih salah satunya. Namun, sebagian besar jamaah di rombongan kami, mengikuti keduanya.

Walaupun jamaah Tarawih banyak yang pulang, jangan dikira masjid akan lengang. Dalam waktu sekejap, masjid akan kembali penuh sesak oleh jamaah Qiyamul Lail.

Pada pukul 01.OO WAS, Qiyamul Lail pun dilaksanakan. Jumlah rakaatnya, hanya sepuluh plus tiga rakaat witir. Meski hanya sepuluh rakaat, ayat Alquran yang dibaca tetap saja satu juz setiap malamnya. Qiyamul Lail selesai pukul 02.45 WAS.

Para jamaah pun kembali ke hotel untuk santap sahur dan kembali lagi ke masjid melaksanakan Salat Subuh.

Perbedaan lain Tarawih dan Qiyamul Lail, ayat yang dibaca pada setiap rakaat lebih panjang, rukuk dan sujudnya lebih lama. Sebab, pada saat rukuk dan sujud itulah, para jamaah memanjatkan doa kepada Allah SWT.

Untuk setiap dua rakaat Qiyamul Lail, menghabiskan waktu sekitar 15 menit. Tapi, waktu seperempat jam itu tidak terasa karena indahnya lantunan suara imam yang hafiz Alquran itu.

Pada saat salat Qiyamul Lail, tidak jarang imam tiba-tiba menangis dan berkali-kali bacaanya terhenti menahan sebak. Kondisi ini pun menular ke jamaah. Umumnya jamaah yang mengerti dengan arti ayat yang dibaca imam, ikut larut dalam suasana itu.

Kondisi ini biasanya terjadi ketika imam tengah membaca ayat yang berbicara tentang azab-azab yang diancamkan Allah untuk hamba-Nya.

Tidak sampai di situ. Rasa haru akan kembali merasuki jamaah saat qunut di rakaat terakhir witir. Doa-doa yang disampaikan imam benar-benar menyentuh perasaan. Dalam setiap qunut di malam sepuluh Ramadan itu, ada beberapa doa yang tak pernah dilewatkan imam.

Imam setiap malam mendoakan agar Kota Makkah dan Madinah tetap dijaga Allah, mendoakan keselamatan Masjidil Aqsa dari perbuatan keji kaum Yahudi, keselamatan warga Palestina, dan keselamatan dan kedamaian untuk warga muslim Rohingya di Myanmar yang menjadi korban pembantaian.

Bagi saya, doa-doa itu sangat menyentuh. Namun, ada satu doa yang paling berkesan dan menggugah perasaan, yaitu doa imam untuk pemimpin mereka. Setiap malam imam mendoakan agar Allah menjaga pemimpin mereka dan memberi keselamatan atas mereka. Doa itu diulang hingga tiga kali.

Ini yang jarang kita dengar di Tanah Air. Kita di negeri ini lebih suka mencaci maki pemimpin yang kita pilih sendiri dibanding mendoakan mereka.

Kita lebih suka mencela dan mengumbar kejelekan mereka dibanding memberi doa agar Allah melindungi mereka dan senantiasa memberikan petunjuk agar tetap berada di jalan Allah.

Akibatnya, sampai hari ini negeri kita masih banyak dipimpin orang-orang yang salah yang mungkin juga karena kita yang memilihnya salah.

Untuk itu, sudah saatnya para imam masjid, para ulama, para da段 memulai memberi contoh, mendoakan pemimpin bangsa ini di setiap salat. Mudah-mudahan, doa kita diijabah (dikabulkan) dan negeri ini diberkahi Allah. Amin.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook