MANILA (RIAUPOS.CO) - Filipina bersumpah untuk mencari dalang pengeboman yang menewaskan setidaknya 20 orang saat kebaktian di gereja pada Ahad (27/1). Insiden itu terjadi enam hari setelah referendum otonomi untuk wilayah yang penduduknya mayoritas muslim.
Serangan itu melukai lebih dari 100 orang dan merupakan salah satu yang paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir di wilayah yang telah lama dilanda ketidakstabilan. Serangan ini juga datang di tengah harapan dan kegembiraan tentang rencana pembangunan, pemberian lapangan pekerjaan, dan perdamaian ke salah satu tempat termiskin dan paling bergejolak di Asia.
Ledakan pertama meledak di Katedral di Pulau Jolo, di Provinsi Sulu. Kemudian diikuti oleh ledakan kedua di luar, yang diledakkan ketika pasukan keamanan melaju ke tempat kejadian.
‘’Musuh-musuh negara telah dengan berani menantang kemampuan pemerintah untuk mengamankan keselamatan warga di wilayah itu,” kata Juru Bicara Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Salvador Panelo, dilansir dari Reuters pada Senin (28/1).
“Angkatan bersenjata Filipina akan bangkit menghadapi tantangan dan menghancurkan para penjahat tak bertuhan ini,” tambahnya.
ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu melalui kantor berita kelompok militan Amaq. Mereka menggambarkannya sebagai pengeboman bunuh diri yang menewaskan 120 orang.
Polisi sedang menyelidiki dalang pengeboman itu. Mereka menduga serangan itu didalangi Abu Sayyaf. Sebuah kelompok militan domestik yang telah berjanji setia kepada ISIS dan terkenal karena pengeboman dan kebrutalannya.
“Mereka ingin menunjukkan kekuatan dan menabur kekacauan,” kata Kepala Polisi Nasional Oscar Albayalde, menunjukkan bahwa Abu Sayyaf adalah tersangka utama.
Warga sipil menanggung beban terberat dari serangan itu, yang juga menewaskan lima tentara. Polisi menurunkan angka kematian dari 27 menjadi 20, setelah menemukan duplikasi dalam catatan awal.(jpg)