DRONE, PESAWAT TANPA AWAK YANG KONTROVERSIAL

Kini Jadi Pencabut Nyawa Warga Sipil

Internasional | Senin, 28 Oktober 2013 - 10:29 WIB

WASHINGTON (RP) - Bagi banyak negara, teknologi pesawat tanpa awak (drone) adalah pilihan manis dalam perang masa depan. Biayanya ringan, tingkat kematian angkatan udara pun menjadi turun drastis.

Sayang, serangan drone dicap terlalu membabi buta. Pesawat mirip mainan aeromodeling itu benar-benar seperti babi buta, tabrak sana dan tabrak sini. Tak bisa membedakan mana musuh bersenjata (combatan) atau warga sipil (non-combatan).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Nabila Ur Rehman saat ini berumur sembilan tahun. Pada 24 Oktober 2012, setahun lalu, dia sedang bermain di luar rumahnya di Ghundi Kala, sebuah desa di Waziristan Utara, Pakistan. Di tengah keriangannya itulah, rudal menghantam sawah milik keluarganya.

Rudal yang ditembakkan dari pesawat tanpa awak atau drone tersebut menewaskan nenek Nabila, Mamana Bibi (60). Lebih menyesakkan lagi, sang nenek adalah satu-satunya dukun bayi di desa itu.

Meski panik, Nabila tetap berusaha berlari. Tapi, luka bakar di tubuhnya terlalu parah. Dia kemudian dilarikan ke rumah sakit karena luka terkena pecahan bom.

Kakaknya, Zubair (13), juga harus diterbangkan ke Islamabad karena harus menjalani operasi pengangkatan pecahan bom di kakinya. Tak berhenti di situ, adiknya, Asma (7), menderita masalah pendengaran sejak saat itu.

Waziristan Utara, salah satu pusat aktivitas Taliban, menjadi target serangan drone lebih sering daripada wilayah lain di Pakistan. Sebuah studi yang dirilis Amnesti Internasional pada 22 Oktober menyebutkan, sedikitnya 19 warga sipil tewas gara-gara serangan drone. Menurut catatan mereka, 45 serangan drone menghajar wilayah tersebut sejak Januari 2012.

Ayah Nabila, Rafiq, seorang guru SD, baru pulang Salat Isya saat serangan itu terjadi. Pekan ini, bersama Zubair dan Nabila, dia terbang dari Pakistan menuju Washington DC untuk hadir dalam sidang umum Kongres AS, 29 Oktober. Untuk kali pertama, para wakil rakyat Paman Sam mendengarkan kesaksian korban serangan drone secara langsung.

Keluarga Rehman dijadwalkan berangkat bersama Shahzad Akbar, seorang pengacara yang mewakili lebih dari 150 korban selamat serangan pesawat tanpa awak CIA dalam kampanye antiterorisme di Pakistan.

Penggunaan drone untuk membunuh mereka yang diduga teroris sudah menuai kontroversi sejak lama. Amnesti Internasional menyatakan, serangan drone bisa membawa AS melakukan kejahatan perang.

Setelah mempelajari sekitar sembilan serangan drone sepanjang 2012 di Waziristan Utara, organisasi pembela HAM tersebut menemukan bahwa pesawat yang dikendalikan dari jarak jauh itu sering salah target.

Naureen Shah, penasihat hukum Amnesti Internasional, mengakui sulit memastikan apakah korban serangan tersebut militan atau sipil. Shah memastikan, pihaknya punya data bahwa sejumlah korban adalah warga sipil yang sama sekali tidak terkait dengan terorisme.

”Mainan” yang Maut

Sebenarnya bagaimana drone tersebut bekerja? Prinsip utama dari pengembangan pesawat RQ-1 dan MQ-1 Predator Unmanned Aerial Vehicle (Pesawat tanpa Awak Predator) adalah menghancurkan sebanyak-banyaknya musuh dengan mengambil risiko sekecil-kecilnya pada personel.

Bentuknya ramping, mirip mainan pesawat aeromodeling yang membuat geraknya efektif. Rudal disematkan di bawah sayapnya.

Pesawat berteknologi tinggi itu dikontrol seorang kru ribuan kilometer dari medan perang sesungguhnya. Kemampuannya, antara lain, adalah berfungsi sebagai mata-mata, menyerang, dan mendukung peran unit tempur di darat.

Pada skenario terburuk, jika Predator hilang dalam peperangan, personel militer bisa dengan mudah mengirimkan pesawat serupa dan kembali melancarkan serangan. Tidak ada trauma korban atau tawanan perang yang biasanya terjadi ketika sebuah pesawat jatuh.

Predator terbang dan mendarat secara lokal. Ia juga bisa ditempatkan di dekat lokasi operasi militer. Namun, ruang kontrolnya berada di Pangkalan Militer Udara Creech di Nevada. Seperti layaknya permainan aeromodeling, sang pilot hanya menggunakan semacam remote control dan menggunakan gambar satelit untuk menentukan target di lapangan.

Gambar tersebut kemudian dikirim ke personel di lapangan untuk memudahkan mereka bergerak dalam peperangan. Personel di lapangan menyerang, drone mendukung dari udara.

Kabarnya, Pakistan telah berkali-kali melayangkan protes ke Washington terkait dengan serangan yang dilancarkan pesawat tanpa awak tersebut.

Dalam nota protesnya, Pakistan menegaskan bahwa misi antiteror itu sama sekali tidak efektif. Selain tak terbukti bisa meredam aksi militan Al Qaeda dan Taliban, serangan udara tersebut justru menimbulkan banyak kerugian bagi rakyat. Baik harta maupun nyawa.

Namun, dokumen rahasia CIA yang didapat Washington Post menunjukkan bahwa sebenarnya sejumlah petinggi pemerintah Pakistan justru mendorong serangan drone dan memberikan data lapangan terkait dengan posisi militan.

Dokumen yang didapat koran tersebut fokus pada sedikitnya 65 serangan drone di Pakistan dalam beberapa tahun terakhir. Meski berlabel sangat rahasia, dokumen tersebut jelas dikeluarkan untuk pemerintah Pakistan.

Washington Post menyatakan, dokumen itu memperlihatkan detail program drone CIA yang bertujuan memperluas target operasi dari mengeliminasi sejumlah petinggi Al Qaeda menjadi sebuah serangan udara terhadap kelompok militan yang tidak ada kaitannya dengan serangan 11 September 2011.(cak/c10/dos/fia)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook